Home KUPAS Menyeret Tuhan Ke Pengadilan

Menyeret Tuhan Ke Pengadilan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Memermak rumah ibadah dengan kemewahan, tapi membiarkan kelaparan mendera umat.

Film OMG: Oh My God! (2012) salah satu film yang mengkritik agama. Sebelumnya ada film PK (2014). OMG bercerita seorang penjual patung Hindu, Kanjibhai, yang tidak percaya keberadaan Tuhan.

Kisahnya bermula ketika Kanji sedang melayani pembeli bernama Bhanwar Lal. Namun, setelah Bhanwar berlalu, Kanji melihat acara janmashtami yang sedang ditayangkan di salah satu stasiun TV. Janmashtami adalah sebuah perayaan memperingati hari jadi Krishna.

Dalam tayangan itu, Kanji melihat anaknya, Chintu, sedang memerankan Govinda, karakter yang melindungi sapi-sapi, daratan, dan seluruh alam. Sontak, Kanji bersama Mahadev mendatangi lokasi janmashtami yang tidak jauh dari tokonya.

Setiba di sana, Kanji menyuruh Chintu turun. Tapi riuh peserta membuat Chintu tidak mendengar perintah Kanji. Namun, Kanji tak habis akal. Dengan cerdik, dia mengarahkan Mahadav berjaga di belakang panggung, kemudian dia naik ke panggung anggota band dan mengambil pengeras suara.

Melaui pengeras suara itu, Kanji memerintahkan para peserta menghentikan kegiatan janmashtami dan mengarahkannya ke kuil untuk memberi makan patung Krishna. Perintah Kanji tersebut didasarkan pada Siddeshwar Maharaj, selaku pemuka agama, meski Siddeshwar tidak mengatakan itu.

Siddeshwar juga ikut hadir di perayaan janmashatami, dan mendengar seruan Kanji yang mengatasnamakan dirinya. Refleks, Siddeshwar mendekati pengeras suara untuk mengklarifikasi perintah bohong Kanji tersebut. Tetapi, Mahadav lebih gesit mematikan aliran pengeras suara, Siddeshwar tidak dapat membatalakan perintah tersebut.

Kanji turun dari panggung dan mengajak Chintu pulang. Ucapannya untuk memberi makan patung Krishna menjadi berita dan menyebar hampir di seluruh negeri India.

Karena ulahnya, Kanji kemudian dihampiri oleh Siddeshwar dan para anggotanya. Kalimat-kalimat sumpah dan kutukan dilontarkan kepadanya. Tapi dengan lagat tak peduli, Kanji mengabaikannya.

Selang beberapa menit, gempa dan petir mengguncang. Kanji pun terkejut melihat hanya tokonya yang hancur, rata dengan tanah. Segera Kanji mendatagi tokonya dan mencari barang-barang yang bisa diselamatkan.

Tak sedikit orang berkata bahwa gempa dan kerusakan itu adalah murka Tuhan yang disebabkan oleh perbuatan Kanji. perbuatan Kanji merupakan murka dari Tuhan. Dengan kecuekannya, Kanji tetap tidak percaya hal-hal semacam itu. Dia malah semakin menantangnya.

Satu-satunya yang bisa diselamatkan Kanji adalah berkas-berkas asuransi dalam berangkas. Dengan asuransi itu, Kanji yakin perusahaan akan memberikannya ganti rugi.

Esokan harinya, dia mendatangi perusahaan asuransi tersebut. Sayangnya, Kanji tidak mendapatkan ganti rugi. Persyaratan yang ditandatangani Kanji di awal, tertulis bahwa perusahaan tidak bertanggungjawab atas kerugian yang disebabkan “act of God” atau perbuatan Tuhan.

Bagi perusahaan asuransi yang didatangi Kanji, tsunami, gempa, dan semacamnya merupakan itu “act of God”. Sehingga, dia tidak dapat menerima ganti rugi dari perusahaan.

Karena ditolak asuransi, Kanji lalu berinisiatif meminta ganti rugi langsung kepada Tuhan melalui pengadilan. Dia beranggapan bahwa seharusnya Tuhan bertanggungjawab.

Akan tetapi, Kanji kesulitan melayangkan surat panggilan kepada Tuhan untuk menghadiri sidang. Maka tidak ada jalan lain bagi Kanji, selain mengirimkan surat itu melalui lembaga yang paling dekat dengan Tuhan, yaitu agama.

Sidang pertama berlangsung. Ini penentuan apakah kasus Kanji bisa diterima atau tidak. Dalam pengaduannya, Kanji berkata kepada salah seorang pemuka agama, “Tuhan telah merobohkan toko saya. Untuk apa Tuhan merobohkan toko saya jika Dia punya pekerjaan lain selain merobohkan tokonya? Jadi katakan kepada perusahaan asuransi untuk membayar kerugianku. Habis perkara.”

Pengacara dari pihak asuransi dan agamawan membantah. Menurutnya, perusahaan asuransi tidak bisa mengganti rugi karena Kanji sendiri yang telah menandatangani persyaratan tersebut.

Kanji lalu berpaling ke pemuka agama dan mengatakan, “Benar. Jadi Tuhan yang menggantinya yang dipanggil dengan nama Dewa Rama, Shiwa, Ganpati atau siapapun yang cocok dengan nama Anda, lalu bacakan mantra-mantra atau…”

Belum lepas kalimat diucapkaan, Kanji langsung dicecar pertanyaan oleh pengacara: jika kamu [Kanji] membayar premi kepada perusahaan asuransi, kenapa harus meminta ganti rugi kepada agama?

“Karena saya juga membayar premi di kuil mereka,” jawab Kanji. Semua peserta sidang terkejut, begitu pun hakim. Membayar premi yang dimaksud Kanji adalah menyumbang.

Kanji menyamakan menyumbang kepada kuil dengan membayar premi kepada perusahaan asuransi. Jika suatu hari nanti terjadi masalah, si penyumbang dapat meminta ganti rugi kepada kuil.

Kanji juga mengibaratkan agama sebagai perusahaan listrik. Apabila terjadi gangguan listrik, yang dihubungi bukanlah tukangnya, melainkan penyedia layanan listrik, supaya menyuruh tukang yang membenarkan listriknya.

Dengan logika itu Kanji menjawab pertanyaan pengacara di atas. Logika ini juga yang digunakan kenapa pihak kuil yang dihubungi Kanji, bukan langsung kepada Tuhan.

Alhasil, kasus Kanji diterima dan menjalani beberapa kali persidangan. Meskipun dalam film ini sosok Krisna ditampilkan sebagai manusia yang sedang menyamar untuk membantu Kanji, namun bukan irrational itu yang perlu dibahas. Anggap saja Dewa Krisna yang menjelma sebagai manusia tersebut adalah seseorang yang ingin membantu persoalan Kanji.

Beberapa pesidangan dilalui, Kanji pada akhirnya memiliki pendukung dari orang-orang bernasib sama dengannya; korban dari perusahaan yang tidak memberinya ganti rugi karena musibah yang disebabkan oleh perbuatan Tuhan. Mereka menyerahkan berkas-berkasnya, lalu dibawa ke pengadilan sebagai bukti.

Selangkah lagi Kanji memenangkan persidangan. Tapi tercekal oleh pernyataan pengacara bahwa Kanji selama ini hanya memainkan logika kita. Kata pengacara, Kanji tidak mampu membuktikan ‘secara tertulis’ bahwa Tuhanla penyebab semua bencana alam ini. Hakim kemudian memberi Kanji waktu sebulan untuk membuktikan keterlibatan Tuhan secara tertulis.

Kanji hampir menyerah. Melihat itu, temannya, Krisna, menyarankan Kanji untuk membaca beberapa kitab suci. Kanji pun mengikuti saran tersebut dan menemukan pernyataan Tuhan secara tertulis.

Sidang kembali dilangsungkan, Kanji membawa bukti tertulis dari berbagai ayat kitab suci. Sayangnya, pendirian awal Kanji yang tidak percaya adanya Tuhan membuat dirinya mendadak lumpuh separuh badan saat persidangan.

Sekitar satu bulan Kanji mengalami koma. Dia dibangunkan oleh temannya, kemudian menyembuhkan penyakitnya. Temannya itu berubah menjadi sosok Krisna yang dikenal masyarakat pada umumnya. Gegara kejadian itu, Kanji akhirnya percaya kepada Tuhan karena ia telah melihatnya langsung.

Selama masa komanya, banyak hal yang terjadi. Yang menarik, beberapa orang memberi kesaksian tidak benar, karena dibayar untuk mengatakan telah bermimpi dan melihat sosok Kanji sebagai penjelmaan dewa.

Pihak kuil akhirnya membayar kerugian para pengikut Kanji yang telah menjadi korban. Kuil juga menjadikan Kanji sebagai dewa baru yang menurut mereka akan menghasilkan banyak keuntungan. Melebihi biaya ganti rugi yang telah dikeluarkannya.

Selain kesaksian dari orang-orang yang bermimpi tadi, Kanji dianggap sebagai dewa baru karena hanya dia satu-satunya manusia yang mengetahui kapan dia akan mati. Padahal, hari penentuanya untuk mati tersebut adalah hari di mana ia juga akan dibunuh.

Namun, kematian tidak juga menjemputnya. Kanji telah dibangunkan oleh Krisna, kemudian dibawa ke acara pendeklarasian Kanji sebagai Tuhan. Orang-orang yang melihatnya terkejut karena dianggap Kanji telah mati. Dia berjalan melewati kerumunan dan naik di atas panggung, kemudia berkata: “Apa yang kalian lihat? Aku adalah Kanji yang sama yang telah kalian ubah menjadi Tuhan. Aku tidak tahu apakah kalian itu hebat atau bodoh. Aku selalu mengatakan, kalian jangan menjadikan agama sebagai bisnis”.

Melaui bisnis, kata Kanji, kalian membeli patung, mempermewah kuil kemudian menjadikannya sebagai tuhan.

“Dunia begitu indah, mengapa Tuhan hanya harus berada di dalam kuil? Aku bilang, berimanlah kepada-Nya. Berimanlah kepada-Nya tulus dari hati kalian dan kalian akan menemukan Tuhan. Cobalah untuk menemukan Tuhan di setiap manusia, dan kalian akan menemukan-Nya pada setiap manusia, tidak di dalam patung ini,” Kanji memperingati.

Kenapa Tuhan diadili?

Jika mengikuti logika Kanji, maka Tuhan telah melakukan banyak kesalahan pada manusia, bahkan sebelum adanya hukum yang dibuat oleh manusia. Jika dihitung dari berbagai bencana alam, Tuhan telah menjadi aktor antagonis dalam skenario kehidupan manusia. Namun, manusia tetap menjadikan-Nya nomor satu, terbaik, bahkan masih banyak penyembah-Nya.

Sayangnya, dalam film ini bukan tentang mengapa Tuhan harus diadili, melainkan bagaimana manusia mengatasnamakan agama dan Tuhan sebagai alat untuk memperkaya diri.

Film ini merupakan representasi orang-orang yang mengkritik praktik-praktik kapitalisme yang dibungkus agama. Agama merupakan satu-satunya lembaga yang paling harum. Bisa menyamarkan bau busuk dari lembaga mana pun di dunia.

Kanji sejak awal sebenarnya pecaya kepada Tuhan. Dalam penggambarannya dia seolah-olah tidak percaya dengan itu. Yang dia tidak senangi adalah berbagai macam praktik keagamaan yang menyimpang dari bagaimana seharusnya agama itu.

Film OMG ditampilkan beberapa adegan yang memperlihatkan nilai-nilai kemanusiaan yang telah diabaikan oleh sebagaian penganut agama. Misalnya, ketika Kanji menceritakan bagaimana dia mengantri membeli susu untuk menuangkannya ke sebuah batu di dalam kuil sebagai bentuk pemujaan kepada Tuhan. Dia melihat batu tersebut berlubang, dan air susunya mengalir ke selokan.

Kemewahan kuil itu berbanding terbalik dengan orang-orang miskin yang sedang kelaparan bertebaran di depan kuil. Tubuhnya gemetaran karena tidak makan berhari-hari. Kanji memberikan susunya kepada seseorang yang sedang kelaparan tersebut. Orang tersebut pun mengatakan, “Semoga Tuhan memberkatimu.”

Tidak hanya agama Hindu yang dikritik, namun juga agama-agama lain seperti Kristen dan Islam. Kritik kepada umat Kristen adalah bahwa mereka terlalu banyak menyalakan lilin di dalam gereja. Kenapa tidak dinyalakan di pondok-pondok orang miskin agar malamnya tidak kegelapan.

Islam yang menyimpan banyak selimut, tapi tidak sebagian dibagi-bagikan kepada tunawiswa agar tidurnya tidak kedinginan. Itu salah satu contoh kritik yang dipaparkan Kanji dalam film ini.

Dari petualangan Kanji kita bisa melihat bagaimana seharusnya agama berperan untuk menjaga kestabilan sosial dan ekonomi. Jika pada abad pertengahan orang-orang banyak yang mati kelaparan, maka zaman ini kita bisa melihat bagaimana orang-orang mati karena obesitas. Sedang, manusia lebih banyak sibuk mengurus Tuhan yang pada akhirnya akan bertanggungjawab atas terjadinya gempa, tsunami, dan berbagai bencana alam lainnya.

Barangkali Tuhan menurunkan bencana alam di suatu daerah, misalnya, agar kita peka berbagai dan peduli sesama. Itu bisa dilihat dari banyakanya layanan donasi untuk korban bencana alam yang bertebaran di jalan raya, sepanduk, dan lain-lain.

Judul Film: OMG: Oh My God! | Tahun Rilis: 28 September 2012 | Durasi: 130 Menit | Sutradara: Umesh Shukla | Produser: Akshay Kumar, Paresh Rawal, Ashvini Yardi | Penulis: Bhavesh Mandalia, Umesh Shukla | Negara: India | Bahasa: Hindi | Pemain: Akshay Kumar, Paresh Rawal, Mithun Chakraborty | Peresensi: Khaerul Muawan

Sumber foto: sbs.com.au