Home BERITA Penghayat Kepercayaan Dalam Pusaran Diskriminasi Agama

Penghayat Kepercayaan Dalam Pusaran Diskriminasi Agama

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com- Sabtu (23/11) malam, Watchdoc, The Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) UGM dan Pasar SepaHAM mengadakan diskusi di selasar barat Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Diskusi tersebut membincangkan persoalan HAM di Indonesia dan menggalang dana untuk penyintas pelanggaran HAM.

Sebelum diskusi dimulai, juga diadakan peluncuran dan nonton bareng film dokumenter Atas Nama Percaya. Film tersebut bercerita tentang penghayat kepercayaan yang mengalami diskriminasi di Indonesia.

Imam Aziz selaku pembicara menjelaskan bahwa agama resmi di Indonesia mengacu teori Winter: agama yang mengalami sistematisasi. Sistematisasi yang dimaksud adalah adanya konsep Tuhan, nabi, kitab suci, dan hari akhir.

Namun, konsep agama yang tersistematisasi tidak menjangkau realitas kehidupan sosial maupun spiritual penghayat kepercayaan. Akibatnya, mereka tidak dianggap penganut agama. Identitas mereka lantas tidak dikenal dan dianggap tidak ada.

“Upaya untuk memulihkan stigma masyarakat pada penghayat kepercayaan berjalan cukup alot. Menyakinkan agamawan yang mapan cukup susah,” tutur Aziz.

Menurut Imam Aziz, pemerintahan saat ini sudah mau mengakui kesetaraan agama. Hal ini merupakan titik balik yang cukup berharga karena penghayat kepercayaan dapat berkontibusi terhadap perkembangan bangsa kedepan.

Senada dengan Imam Aziz, Ketua Umum Perempuan Penghayat Indonesia Dian Jennie Tjahjawati menjelaskan bahwa negara telah melangkah maju terkait kesetaraan hak atas penghayat kepercayaan di Indonesia.

Namun, puluhan tahun peminggiran penghayat kepercayaan penghayat selama bertahun-tahun masih menyisakan bekas. Di Purwodadi, misalnya, masih terjadi diskriminasi terhadap penganut kepercayaan penghayat. Alat ritual mereka dibuang ke sungai.

Menurut Dian, diskriminasi itu terjadi karena kurangnya pemahaman masyarakat atas nilai-nilai keberagaman di Indonesia.

Dian juga berpendapat bahwa butuh keberanian bagi seseorang untuk mengubah kolom agama KTP-nya menjadi penghayat kepercayaan. Karena orang tersebut harus menerima dampak dari seluruh pengakuan atas jati dirinya. Maka dari itu, penghayat kepercayaan mengisi kolom agama di KTP-nya dengan agama lain.

“Negara menyuruh saya untuk menjadi manusia yang tidak jujur terhadap keyakinan saya,” tutur Dian.

Samsul Maarif, dosen CRCS UGM, menjelaskan stigma sosial di Indonesia seringkali menjadi norma sosial bahkan norma hukum. Stigma sosial juga kerap dipakai sebagai alat justifikasi untuk mempersekusi.

Menurut Samsul, menyemai pluralisme adalah target negara dan masyarakat Indonesia kini. Kerja sama antar masyarakat sipil, komunitas, dan pemerintah harus dilakukan secara intens. Samsul juga berkata bahwa kampus adalah salah satu komponen penting karena kampus adalah produsen pengetahuan.

Dian menambahkan, negara dan masyarakat adalah kesatuan yang utuh dalam membangun Indonesia yang toleran. Ia juga berharap kedepannya masyarakat dapat mencetak generasi lebih toleran dan menghargai keragaman.

Reporter: Aditya Kurnia Putri (Magang)

Redaktur: Sidra