Berkolaborasi dengan masyarakat Ledok Code, RT 18/ RW 04, Kotabaru, Mahasiswa UIN Sunan Kalijga menghadirkan alternatif wisata menjelang libur tahun baru. Bertajuk Festival Kampung Lampion (FKL) Code, acara ini akan digelar tanggal 28 sampai 31 Desember 2019. Selanjutnya, Kampung Lampion akan dibuka sebagai destinasi wisata pada setiap Jumat dan Sabtu malam.
Diselenggarakannya FKL bukan tanpa alasan. Pada setiap harinya Jogja dipadati oleh kendaraan, terutama di kawasan wisata Malioboro, Jalan Mataram, dan Jalan Jendral Sudirman. Dilansir dari tribunnews.com, Yetti Martanti, Kepala Bidang Pengembangan dan Pemasaran Pariwisata, optimimis tahun ini wisatawan Jogja naik di antara 5-10 persen dari tahun 2018. Sedangkan, pada tahun 2018 jumlah wisatawan Jogja menyampai 4,1 juta.
Banyaknya wisatawan di Jogja akan mengakibatkan masalah serius, terutama dalam hal kemacetan. Bila pemerintah tak serius memikirkan alternatif wisata untuk memecahkan kemacetan di beberapa titik wisata, tak menutup kemungkinan terjadi risiko penurunan jumlah wisatawan ke Jogja pada tahun berikutnya. Karena akses jalan yang melelahkan julukan “Jogja Berhati Nyaman” akan bergeser menjadi “Jogja yang Menjenuhkan”.
Belum lagi, gedung bertingkat yang dibangun setiap tahunnya menyebabkan Jogja kehilangan kesakralannya. Jogja yang dikenal sebagai kota dengan ke-khasan karakter penduduk jawanya (andab asor) lambat laun semakin menghilang. Saat ini pun mulai terasa, Jogja yang dulu dikenal sebagai kota toleran, kota yang memiliki nilai gotong royong tinggi, kini menjadi kota yang keras dan kompetitif. Sudah jarang kita temukan penduduk Jogja yang bertegur sapa (paling hanya tersisa pada generasi tua).
Tumbuhnya gedung bertingkat yang menyesaki kota juga membuat ketimpangan di masyarakat makin tinggi. Tingginya jarak ketimpangan itulah yang memicu masalah baru dalam diri masyarakat, terutama masyarakat yang terpinggirkan. Keberadaan mereka seolah tak dianggap oleh pemerintah. Buktinya, pemerintah lebih terfokus pada pembangunan investasi dibanding pembinaan masyarakat yang terpinggirkan.
Merespon kompleksitas masalah tersebut, masyarakat Ledok Code dan mahasiswa UIN Sunan Kalijaga tidak tinggal diam. Mereka menunjukkan keseriusannya dalam memperbaiki kampung. Meraka bahu membahu menyelesaikan kebuntuan masalah sebagaimana dijelaskan di atas. Salah satu upaya untuk memecahkan masalah tersebut dengan membentuk Festival Kampung Lampion.
Selain itu, salah satu tujuan Festival Kampung Lampion (FKL) adalah menunjukkan eksistensi masyarakat bantaran kali.
“Kita cuma ingin dilihat, meskipun kita hidup di pinggiran kali kita juga bisa berkreasi. Kampung Lampion menunjukkan bahwa kami warga pinggir kali juga bisa berkarya. Semoga saja dengan keseriusan kita, pemerintah melihat, syukur-syukur memberikan bantuan untuk pembangunan biar kita mudah memperbaiki kampong,” kata Miskam, Ketua Kampung Lampion.
Dalam membangun kampung lampion tersebut masyarakat pun mandiri dan tidak bergantung pada pemerintah. Masyarakat mengumpulkan dana secara kolektif dari sponsor dan iuran warga. Harapan mereka sangatlah sederhana, mereka hanya ingin menunjukkan bahwa kampungnya layak huni bahkan layak visitasi.
Di Kampung Lampion, warga menyulap kampung menjadi lebih hidup dan menyala pada malam hari. Ditambah lagi, adanya lorong sayur membuat suasana alama di kampung ini kian terasa. Selain itu, mereka juga mengubah barang-barang bekas di sekitar seperti kaleng cat, botol aqua, dan sendok plastik menjadi barang lampion cantik yang menghiasi teras rumah dan sepanjang jalan kampung. Tembok rumah warga pun dipercantik dengan gambar mural serta di beberapa sudut disiapkan ikon yang instagramable yang cocok untuk ber-selfi.
Semua kegiatan itu dapat dinikmati mulai tanggal 28 sampai 31 Desember 2019. Ada pun beberapa agenda seperti diskusi tentang membangun kampong; pertunjukan Teater Kali Code (yang diperankan masyarakat); Musik Rembol, dan lain-lain.
Untuk informasi lebih lanjut kunjungi Instagram @kampunglampioncode18 atau menghubungi narahubung Akmal (085802729680) / Miskam (087 738 975 582).