Home CATATAN KAKI Ambyarisme dan Individu Rasional: Balasan untuk Odent

Ambyarisme dan Individu Rasional: Balasan untuk Odent

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Kita ketemu lagi, Odent. Terakhir kita bertemu dalam forum setelah aksi besar Gejayan, dan saya menginginkan pertemuan-pertemuan selanjutnya. Semoga ini bukan pertemuan terakhir. Kita bisa berdiskusi tentang quo vadis gerakan mahasiswa, atau “quo vadis” yang lainnya, hingga menemukanya kembali.

Bagi saya perdebatan ini penting, setidaknya terdapat dua kritik untuk tulisan berjudul “Zona Ambyar: Tanggapan atas Tulisan Ajid F.M.”. Pertama, soal ketidakpedulian mahasiswa yang Odent sebut ambyarisme. Menurut artikel itu, golongan tersebut tak bisa diharapkan. Mereka hanya sibuk menyeka air mata, sebab perpisahan, pengkhianatan, dan hal melankolis lainya.

Kedua, Student Goverment merupakan posisi penting dalam kampus, sebuah kezaliman jika diam dan membiarkannya disesaki orang-orang lalim. “Yang dibutuhkan adalah Komune Progresif!” tulis Odent sebelum menyinggung perihal jalan sunyi.

Saya tak menyesal meski pertemuan-pertemuan kita sangat dekat dengan ad hominem. Sebab, sebenarnya tak ada cinta yang hilang di dalam kebencian.

***

Teman saya tidaklah banyak, saya akui itu. Tapi dengan teman yang sedikit itu, saya jadi mudah mengetahui bermacam keanehannya. Misalnya, kecendrungan teman saya ketika lapar, ada yang dengan sangat mudah membuat sajak. Lalu, membuat coretan-coretan di dinding, sampai dia merasakan indikasi kelaparan, dan segera mencari bantal, kemudian tidur dengan memutar rekaman suara ocehan burung dan angin.

Tapi tak ada yang lebih aneh dibanding teman yang mempunyai hobi sakit. Semua orang menghindarinya, tapi teman saya tidak. Dia sering sekali sakit. Barangkali, rasa sakitnya sudah terasa sampai sekujur tubuh: persendian ngilu, jari-jari sakit, dada sesak, lambung nyeri, dan kepala seperti terserempet peluru.

Ketika lara sekujur tubuh terjadi dalam konteks kampus, mungkin kita jadi tak tahu apa yang harus disembuhkan terlebih dahulu. Dan lambat laun kita juga tak tahu lagi akar masalahnya.

Jika kawan Odent mengatakan masalah utamnya adalah ambyarisme, tentu Anda akan putus asa memikirkan bagaimana meneyembuhkan ambyarisme yang terus disakiti oleh sistem, baik birokrasi, pemerintahan kampus, maupun dosen sentimentil. Karena mereka semua memang menyebalkan dan layak ditendang bokongnya.

Ambyarisme adalah korban mereka, yang menyebabkan kehidupan terlihat begitu menyedihkan. Seperti cucian kotor diaduk bersama sekeranjang telur busuk, ditambahkan sedikit sayur busuk.

Tentu kita bisa membayangkan ketika salah satu dari mereka datang, matamu melihat dia melompat sambil teriak “hiyaaak” dari mulutnya. Gerakannya lebih cepat dari petir manapun yang pernah kau bayangkan. Ia menendangmu tepat di dada dan membuatmu terlempar ke jurang. Kau sebenarnya bisa memprotes dalam jatuhmu, “Kenapa? Kenapa aku harus mengalami ini?” tapi kau memilih untuk tak melakukanya. Kau jatuh dan membiarkan tubuhmu rileks seperti kapuk lepas dari ranting pohon.

Bagi saya, dalam hal Pemilwa atau parade kebodohan lainya, ambyarisme adalah sebuah sikap politis. Dalam Pemilwa, tak memilih adalah sikap menginginkan perubahan secara keseluruhan. Jika sikap politis ini dibiarkan, tentu semuanya akan menjadi runyam. Karena bisa jadi, seluruh akumulasi kekecewaan akan berujung seperti Mohamed Bouazizi. Dia membakar diri sebagai bentuk protes atas segala yang dilakukan pemerintahan Tunisia terhadapnya.

Sekali lagi, bukan ambyarisme tapi individu rasional.

***

Untuk Odent, maaf saya tak menonton Captain Amerika, bukan karena tak ada ajakan nonton, tapi memang saya tak suka film bergenre super hero. Bagi saya, itu bukan kisah manusia. Selain itu, saya sedang berusaha menghilangkan virus messiah complex yang ditanamkan sejak saya duduk di bangku sekolah.

Saya lebih suka menonton bola, karena bisa merasakan kesedihan dan kegembiraan yang aneh.

Untuk hal sepakbola, sepertinya Odent cocok menjadi fan Arsenal. Karena kebanyakan fan Arsenal yang saya temui mempunyai banyak kemiripan dengan Odent. Saya banyak belajar dari mereka, tentang ketabahan dan iman yang tak bisa goyah. Mungkin ada juga yang mengimani bahwa Arsenal adalah jalan satu-satunya menuju surga. Jalan menuju Roma boleh banyak, tapi tidak menuju surga.

Saya melihat ketabahan dan keimanan khas Arsenal ini dalam kritik Odent atas saya, dia menuliskan: “Bung! sebagaimana cinta, tidak ada perjuangan yang bisa dititipkan, tidak ada tiran yang tumbang dengan ketidakpedulian. Jika tidak sanggup bertarung dan berjuang untuk dirimu sendiri, lebih baik kau balik badan dan mengais kenangan busuk dengan mantanmu itu”.

Saya sepakat tentang komune progresif, setidaknya itu sama dengan apa yang di maksud Lenin dalam What is to be done? Bahwa perjuangan bersandar pada kekuatan massa dan organisasi.

Spontanitas. Lenin menyebutnya ekonomisme, perlawanan tanpa pengorganisiran dan lebih peduli dengan persoalan sekarang dibandingkan politik dan ideologi. Artinya, bergerak begitu saja, yang penting tujuan terdekat tercapai, persis seperti partai peserta Pemilwa di UIN Sunan kalijaga. Perjuangan macam itu, kata Lenin: …’Lebih banyak merupakan bentuk putus asa dan balas dendam daripada perjuangan’.

Dus, dalam konteks UIN Sunan Kalijaga, komune progresif tak akan benar-benar ada sebelum ambyarisme tersembuhkan.

Saran saya, dalam perjalanan menuju surga lewat jalan Arsenal, Bung Odent harus membisikkan kalimat kepada siapa pun yang Bung jumpai, “Mari kita perbaiki jalanan berlubang dan sediakan sanitasi yang bagus, sebelum berfikir memaksakan perempuan untuk  berkerudung, dan laki-laki untuk berjenggot.” Tidak ada salahnya meniru gerakan Tarbiyah. Hanya saja perlu menggantinya dengan kalimat:… sebelum berfikir memaksakan melawan terhadap penindasan.

Maaf jika saya baru membalas. Dunia ini kejam, terlalu kejam untuk manusia selucu kita. Mantan pacarku pasti setuju, dan kau pastilah juga setuju. Jadi, sesungguhnya saya tak peduli. Sebab dengan atau tanpa Pemilwa, kita tetap membanting tulang untuk melanjutkan hidup di Yogyakarta. Sekian.

Kopas, 18 Desember 2019

Ajid Fuad Muzaki, Kader Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI) Yogyakarta.

Sumber gambar: https://kumparan.com/kumparannews/golput-bikin-takut-1qRaWPQC7GJ