Beberapa hari yang lalu, aku mengirimkan hasil jepretanku ke Adli Dzil Ikram, fotografer LPM Sumberpost Aceh, melalui pesan untuk dia komentari.
“Kamu mau cerita apa dari foto-foto itu?” tanya Adli kepadaku.
Dia lalu mengirimkan foto hasil jepretannya: sebuah dermaga kecil dari papan, dengan pintu lapuk, tanpa dinding dan atap. “Kalau perahu di sekitar dermaga enggak kumanfaatkan, enggak kumasukkan frame, mungkin orang berpikir itu pintu toilet.”
Kalimat itu sanggup membikin aku terlihat bodoh dan membuatku ingin merendam potretanku ke kakus mampat. Ada perbedaan yang begitu kentara antara fotoku dan jepretan Adli. Fotoku tak mengandung cerita jenis apapun. Sementara pintu yang dipotret Adli, berikut perahu dan lautnya, membawaku pada perenungan subtil dan muram, tentang tsunami yang meluluhlantakkan Aceh 15 tahun lalu.
Bila pintu itu adalah salah satu yang tersisa dari pantai Ulee Lheue, Meuraxa, maka di sebagian wilayah Aceh tak ada lagi yang bertahan kecuali duka.
Azhari Aiyub, sastrawan Aceh, dalam esai bertajuk “Tsunami, 10 Tahun Kemudian” menulis, nyaris tidak ada yang tersisa di Aceh bagi sebagian orang. Rumah hanyut; kerabat menghilang; berhari tanpa makanan. Ramai-ramai orang membanggakan bagaimana Aceh bangkit setelah dihantam tsunami. Yang meninggal dikubur, yang hidup diberi makan. Dan tak banyak yang peduli apakah yang hidup telah diberi makan layak.
Orang-orang juga boleh senang karena tsunami, menurut beberapa peneliti, adalah titik balik rekonsiliasi Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah Indonesia. Farid Husain, anggota delegasi pemerintah Indonesia dengan GAM di perundingan Helsinki, berkata bahwa tsunami membikin petinggi GAM berpikir mereka sedang berjuang untuk siapa?
Aku tak tahu apa yang dirasakan Hasan di Tiro, pendiri GAM, ketika melihat Aceh yang ia perjuangkan hancur seketika. Sebelumnya ia telah melihat Aceh yang muram di bawah rezim pembangunan Soeharto yang tersentralisir di Jawa. Di era pemerintahan Soeharto pula, dalam kurun waktu 1989-1998, 10.000 warga Aceh terbunuh begitu saja.
Aku tak tahu apa yang dirasakan kombatan GAM ketika Aceh hancur. Baik mereka yang bergabung GAM untuk menjadi bandit, penjarah, penculik maupun yang betul-betul memperjuangkan nasionalisme Aceh sama-sama memiliki hal yang berharga.
Aku tak tahu, ketika Aceh hancur, apa yang dirasakan tentara yang bertugas melakukan operasi militer. Yang aku tahu, melalui laporan panjang “Kejarlah Daku, Kau Kusekolahkan” milik Alfian Hamzah, Rokhim, Prajurit Kepala Batalion Infanteri Dadaha Yodha, meninggalkan istri dan anak di Surabaya untuk memenuhi tugas negara. Tak lama setelah berlabuh di Aceh, ia disambut berondongan peluru dan entah bagaimana nasibnya kini.
Aku tak tahu apa yang dirasakan warga Aceh ketika ombak besar datang dan pergi, tak menyisakan apapun yang berharga dari hidupnya. Azhari Aiyub mengatakan tsunami adalah peristiwa yang begitu personal. Dan orang-orang, yang berkunjung ke Aceh untuk melihat bekas tsunami, seringkali gagal menemukan jejak-jejak kehancuran.
Dan foto pintu jepretan Adli, bagi saya, adalah daerah perbatasan. Ia batas antara rumah-rumah, warga, dengan laut yang menyimpan maut. Ia adalah daerah perbatasan antara kesedihan dan harapan.
Pintu yang dipotret Adli dan foto-foto berikut seperti “Daerah Perbatasan” dalam puisi Soebagio Sastrowordoyo:
Kita telah banyak kehilangan: / waktu dan harta, kenangan dan teman setia / selama perjuangan ini. Apa yang kita capai: / kemerdekaan buat bangsa, harga diri dan / hilangnya ketakutan kepada kesulitan. / Kita telah tahu apa artinya menderita / di tengah kelaparan dan putus asa. Kematian / hanya tantangan terakir yang sedia kita hadapi / demi kemenangan ini. Percayalah: / buat kebahagiaan bersama / tak ada korban yang cukup berharga. Tapi / dalam kebebasan ini masij tinggal keresahan / yang tak kunjung berhenti: apa yang menanti: / di hari esok. Kedamaian atau pembunuhan/ lagi.
Fotografer: Adli Dzil Ikram, redaktur foto LPM Sumberpost, UIN Ar Raniry Banda Aceh.
Penulis: Sidra Muntaha, redaktur LPM Arena, UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.