Home SASTRAPUISI Siluet Yang Tak Pernah Diusik

Siluet Yang Tak Pernah Diusik

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Siluet Yang Tak Pernah Diusik

Hari – hari yang diharap-harap, laporan keuangan akhir bulan. Nota pembelanjaan, voucher dan kupon gratis hidup bertahun – tahun, atas nama kemanusiaan.

Kota ini sedang pensiun, dan mulai bermalas – malasan.

Tidak cocok untuk beberapa pemuda dan pemudi. Atau mungkin semua yang muda dan mudi, terlalu bahaya!

Kaum duafa menangis di balik panggung.

Raja, Ratu, Pangeran, dan putri menyaksikan tangisan mereka dari lubang donat yang dibeli

dari sebuah toko roti langganan kerajaan.

Saat udara panas, beberapa seniman melukis matahari, bumi, dan seisinya,

para penyanyi bersuara merdu menirukan suara cericit burung, beberapa pemusik membuat

sebisa dan semirip mungkin bunyi angin, bunyi deburan ombak,

7 aktor dengan aksen aneh memaksakan dirinya untuk berbahasa indonesia yang baik dan benar.

Menirukan gerak daun gugur dari pohon, dan meniru tangisan orang kelaparan,

mereka berbaju rapi, dengan surat dan beberapa map.

Mereka mengantre santunan sembako

sangat rapi dan santun.

Beberapa dari mereka kebingungan, dan tampak lupa,

Salah satu dari mereka bertanya padaku;

 “dimana saya tadi menyimpan kejujuran.”

***

Najis Itu Aku

Pukul tiga dini hari di sebuah kedai tempatku istirahat, mandi, dan gosok gigi, tempatku membuat pagi dengan isian selai kacang kadang juga stroberi,

tempat di mana mentari muncul dari balik panci, melayang ke dalam cangkir kopi, berhenti di meja, tempat menata semangat, tempat di mana energi di balut dengan tisu.

Aku melihat seseorang memakan binatang, beberapa binatang sibuk menggunjing si binatang yang di makan oleh seseorang itu, seseorang yang memakan binatang itu lupa bahwa yang ia makan adalah binatang, binatang yang hidup, yang punya kehidupan.

Orang itu juga punya hidup yang harus dilanjutkan, dengan ia memakan binatang, berarti ia menyambung hidup, dan membunuh kehidupan yang lain, binatang itu juga punya kehidupan yang harus dilanjutkan, tapi ia tidak memakan majikannya, ia tahu ia binatang, peliharaan, dan aku majikannya, tapi kenapa aku sulit mengenali diri sendiri, dengan begitu si binatang berani masuk ke dalam masjid, tanpa dia tahu dia adalah najis.

Tapi dia tahu di dalam masjid ada harapan yang harus di rebut kembali, harapan yang sengaja disembunyikan oleh beberapa golongan, kenapa ada golongan yang menyembunyikan harapan, padahal harapan adalah sesuatu yang dekat dengan keberlanjutan hidup, seperti doa, seperti kelahiran, seperti, bayi yang menggenggam, seperti matahari, seperti tempat sampah, seperti lubang kakus, seperti pembalut di celana dalam kekasih dan ibumu.

Dan sungguh, aku tak tahu bagaimana caranya menjadi najis, kecuali dengan aku mengingat ibu darah dan bapak maniku. Aku adalah najis seperti binatang itu.

***

Orang Tua Membesarkan, Aku, Membesarkan, Rasa Takut, Membesarkan Kekerasan.

Menggunakan headset mendengar lagu melancholic bitch, sambil bernyanyi ; “Di dapur ibu, menjadi kupu-kupu, di dapur, adik kecil lahir prematur, di dapur, tetangga berubah imam, berubah polisi, di dapur mengecat rumah dengan warna ungu, darah kupu-kupu, di dapur, kota sudah dikepung tentara.”

Ketika kecil aku selalu takut tidur dengan lampu mati, aku takut tidur di kasur yang berambin, aku takut ada sesuatu yang mengerikan keluar dari kolong kasur tempat tidurku, aku takut mengenakan bantal, takut di bantal itu muncul suara-suara yang membisikiku.

Apapun itu yang kecil selalu taku dengant sesuatu, sesuatu yang kecil itu selalu takut, takut adalah sesuatu yang kecil, rasa takut adalah sesuatu yang kecil, rasa takut adalah orang tua, rasa takut adalah orang tua yang semakin kecil, rasa takut adalah pemerintah, rasa takut adalah pemerintahan, adalah lembaga, adalah sepasang orang tua kecil tapi punya anak 2, 2 anak kecil jadi orang tua, 2 anak punya orang tua kecil, orang tua kecil punya 2 anak, 2 anak cukup untuk orang kecil.

Mengatasi kamar tidur, mengatasi pembicaraan mengatasi pandangan, mengatasi pikiran, mengatasi pernikahan, mengatasi perkawinan, memagar lubang vagina ibu, membungkus penis ayah dengan karet. Membunuh mimpi, membunuh cita-cita, membunuh harapanku punya adik, membunuh produktifitas, padahal aku sudah menabung, aku sudah menyisihkan beberapa rupiah di dalam perut babi. Babi itu tidak bisa melompat, apalagi memanjat pagar, anjing juga, tapi anjing bisa lompat, anjing lucu, babi lucu juga.

Kemarin aku sekolah di dalam gedung bioskop, sekolahku belum punya gedung, sekolahku gedungnya ambruk, di negara berkembang sekolah punya seragam, negara berkembang itu negara miskin, kain di sana mahal, tapi tiap tahun pemerintah kami memberi bantuan bendera, ibu menjahit bendera menjadi seragam sekolah, teman-teman juga, bendera negara dijadikan seragam sekolah.

Di bioskop kami melihat beberapa orang diculik, mereka disiksa, bioskop juga menceritakan beberapa wanita telanjang sambil menari-nari, di depan para lelaki yang disiksa.

Aku dan teman-teman juga diculik dari rumah, wajib pergi ke sekolah, di sekolah diculik lagi dibawa ke bioskop, mereka menyiksa kami dengan cara menonton mereka yang disiksa,

“tenang saja,” sahut salah seorang guru, “ini hanya masalah waktu, sebentar lagi juga terbiasa,” terbiasa disiksa, disiksa terbiasa, terbiasa kekerasan, kekerasan terbiasa, kekerasan biasa, biasa kekerasan, nanti juga kerasan, kerasan dengan kekerasan, kekerasan kerasan dengan kekerasan.

***

Farid Merah, mahsiswa studi agama – agama UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, sekarang sedang aktif di Teater Eska.

Sumber gambar: theyoke.org/holy-saturday/Forrest Todd Parkinson