Demi memenuhi kebutuhan hidup, beberapa mahasiswa kerja sambilan di warung kopi. Mereka membanting tulang untuk mendapat gaji di bawah UMR dan, dalam beberapa kasus, meninggalkan kuliah.
Lpmarena.com-Kala itu, bulan Maret 2018, Bassar memutuskan untuk bekerja sambil kuliah karena tidak lagi mendapat kiriman uang dari orang tuanya. Ia bekerja di kedai kopi daerah Sorowajan, satu kilometer dari UIN Sunan Kalijaga, tempatnya berkuliah.
Sejak tahun 2000-an, warung kopi menjamur di Sorowajan. Warung kopi di sana pun memiliki ciri khas. Hampir semuanya menyajikan kopi dengan cangkir khas Jawa Timuran: terbuat dari keramik dan bermotif bunga pada salah satu bagiannya. Secangkir kopi itu dibanderol mulai 5-6 ribu rupiah.
Di warung kopi macam itulah Bassar bekerja penuh waktu selama sepuluh bulan. Selain untuk membiayai kebutuhannya setiap bulan, Bassar sebetulnya ingin mengetahui dunia perkopian. Namun, pengetahuan tentang kopi yang ia dapatkan tidak seberapa dibanding beban kerja yang melelahkan.
Warung kopi tersebut membagi waktu kerja menjadi tiga sif, masing-masing berdurasi delapan jam kerja. Dalam durasi kerja tersebut, menurut Bassar, tenaga yang harus dikeluarkan setara dengan beban kerja 16 jam.
ARENA lantas menemui beberapa orang pemilik warung kopi di daerah Sorowajan. Salah satunya Habib. Ia mengatakan warung miliknya melayani 240-280 tranksaksi per hari.
“Kalo daerah sini kan jam ramainya pasti malam, isya sampai jam 11 atau 12 malam. Transaksinya paling tinggi, ya, di waktu itu,” tuturnya saat ditemui ARENA di warungnya, Senin, (02/12).
Membludaknya jumlah tranksaksi itulah yang dikeluhkan Bassar. Pasalnya, Bassar mengaku di kedai tempat ia bekerja hanya ada 5-7 karyawan di tiap sif. Sementara dalam waktu tersebut, Bassar dan rekannya harus melayani puluhan hingga ratusan orang.
Beban kerjanya pun cukup banyak dan melelahkan. Sebut saja ketika membuat secangkir kopi, misalnya, Bassar butuh waktu sekitar 15 menit untuk mengaduk agar sesuai dengan standarisasi rasa. Jika kurang dari 15 menit, kopi yang dibuat rasanya menjadi kurang enak.
Selain membikin kopi, Bassar juga dibebani kerja lain seperti mengantar pesanan pada ruangan yang cukup luas. Ia juga rutin membersihkan meja, menyapu dan mengepel lantai, serta mencuci perkakas yang kotor. Apabila terdapat bahan yang habis, pegawai juga harus tahu di mana menambah stoknya.
Lebih lanjut, beban kerja tersebut bertambah jika karyawan mendapat sif dini hari. Pada sif tersebut, karyawan harus membersihkan seluruh tempat, mengepel lantai, mengelap meja, membersihkan perkakas dan dapur, serta mengecek barang-barang yang habis.
“Kerjamu delapan jam, tapi 12 jam istirahatmu nggak cukup,” tutur Bassar.
Dengan beban kerja tersebut, mau tak mau kuliah Bassar menjadi terganggu. Ia sering tidak masuk kuliah karena waktu dan tenaganya telah habis di kedai kopi.
“Otomatis pas jam kuliah, ya, kalo nggak ketiduran, ya, males. Males berangkat,” imbuhnya.
Badrun (bukan nama sebenarnya), mahasiswa Aqidah dan Filsafat Islam, mengalami hal serupa. Dia yang juga bekerja di salah satu warung kopi di daerah Sorowajan mengaku kewalahan menyesuaikan waktu kerja dan kuliah. Biasanya ia baru selesai bekerja pukul tiga pagi lantas berangkat kuliah pukul tujuh pagi.
Badrun tidak hanya berkuliah di satu tempat. Selain di UIN Sunan Kalijaga, ia juga kuliah di salah satu perguruan tinggi swasta di Yogyakarta. Jika terdapat jam kuliah yang bertabrakan, Badrun harus merelakan salah satu kelasnya untuk absen.
Lebih lanjut, Bassar menyatakan warung kopi di daerah Sorowajan tidak bersahabat untuk pekerja mahasiswa. Bahkan banyak mahasiswa UIN Sunan Kalijaga yang kuliahnya gagal karena bekerja di warung kopi.
“Kalaupun ada yang berhasil, berarti di kerjaan mereka itu nggak serius,” ujarnya.
Pada sisi lain, Habib, salah satu pemilik warung kopi, juga memberitahu karyawannya agar pantang mengerjakan tugas ketika bekerja.
“Kalo kamu banyak tugas, kenapa kok kerja? Kamu kalau ngerjakan tugas itu ya di waktu istirahatmu,” tegas Habib
Habib berulang kali telah memberi tahu karyawannya mengenai hal tersebut. Para karyawan pun akhirnya hanya bisa menerima. Bila karyawan tidak siap dengan ketentuan tersebut, lebih baik mengajukan surat pengunduran diri.
Berbeda dengan Kiki, salah seorang tim manajerial warung kopi daerah Sorowajan yang juga ditemui ARENA. Dia mengatakan bahwa setiap semester, karyawannya yang mahasiswa harus menyerahkan Kartu Rencana Studi (KRS), jadwal kuliah.
“Kenapa kami meminta itu? Biar kami bisa menyesuaikan jadwalnya mereka. Kami bikin jadwal sedemikian rupa supaya mahasiswa yang bekerja tidak berbenturan dengan kuliahnya,” ucap Kiki saat ditemui di kedai kopi tempatnya bekerja, Senin (02/12).
Di kasus berbeda, Habib pernah menegur pekerja mahasiswa yang kedapatan membaca buku ketika jam kerja. Karyawan dilarang membaca buku karena mereka tidak bekerja sendirian. Ketika ada salah satu orang yang tidak serius bekerja, hal tersebut akan berdampak penambahan beban kerja pada rekan yang lain.
“Ya tak bilangin, nggak papa, baca buku itu baik. Cuma tau tempat, dong. Kalau kamu kerja, ya, kerja, kalau belajar, ya, belajar. Kalau baca buku, jangan di waktu kerja,” ujarnya mencontohkan.
Habib juga mengatakan jika ada yang tidak serius dalam bekerja, hal tersebut akan berdampak pada rekan sesama karyawannya. Sebab, beban kerja yang harusnya dia tanggung kemudian dilimpahkan ke rekan kerja yang lain.
“Jadi gini, iklim kerja di warung kopi Sorowajan itu dibikin supaya kamu menomorduakan kuliah. Orientasimu di Yogya itu cuma disuruh fokus ke situ (warung kopi-red),” jelas Bassar.
Bassar bercerita salah dua rekan kerjanya pernah berakhir drop out dari kuliah. Kedua teman tersebut adalah mahasisiwa Sosiologi angkatan pertama dan mahasiswa Manajemen Dakwah di UIN Sunan Kalijaga. Seorang di antaranya telah pulang ke Madura, sementara yang lain masih tetap bekerja di sana dan telah berkeluarga.
Namun, Kiki menyangkal ada mahasiswa kuliahnya terganggu karena bekerja di kedai kopi. Bagi Kiki, mahasiswa yang bekerja di tempatnya rata-rata berasal dari luar Yogya dan seharusnya mengutamakan kuliah. Karena itu, kedai kopi tempatnya yang menyesuaikan jadwal kuliah para karyawan.
“Dari situ, kami tidak mau mendengar teman-teman cuti kuliah gara-gara kerja. Tapi, teman-teman kuliah sambil bekerja, gitu. Jangan sampai putus kuliah gara-gara kerja,” ujar Kiki.
Lebih lanjut, Kiki juga menyatakan pihaknya tidak merasa keberatan ketika karyawannya ada kelas kuliah tambahan karena bisa digantikan dengan rekan lainnya. Rekan yang menggantikan pun jadwalnya dihitung lembur.
“Kami sangat fleksibel dengan waktu teman-teman yang kuliah.”
Gaji di Bawah UMR
28 Oktober 2019, Bassar mendapat giliran sif dini hari. Ia mulai bekerja pada pukul 12 malam hingga pukul delapan pagi. Hari itu warung begitu ramai. Sekitar pukul satu dini hari, banyak rombongan datang. Setiap rombongan itu menjajakan uangnya sekitar Rp 250.000 hingga Rp 300.000.
Hari yang ramai itu menjadi terakhir kalinya Bassar bekerja di warung kopi. Bassar sebetulnya sudah mengundurkan diri sejak 1 Januari, tapi tak lama ia diminta kembali bekerja secara freelance. Ia kelelahan. Gaji yang ia dapat pun tak lebih dari Upah Minimum Regional (UMR).
“Gaji di warung itu paling tinggi 1 juta, sementara beban kerjanya sama dengan karyawan-karyawan lain yang gajinya UMR,” ujar Bassar.
Menurutnya, penetapan gaji di bawah standar UMR sangat tidak sesuai dengan beban kerja yang ditanggungnya. Seharusnya dengan tingkat keramaian warung yang tinggi dan buka selama 24 jam, karyawan warung kopi di Sorowajan minimal mendapat gaji pokok Rp 1.500.000. Lalu ketika dikalkulasi dengan bonus dan tunjangan, ideal upah pekerja bisa mencapai sekitar Rp 2.000.000 hingga Rp 2.500.000.
Penghitungan Bassar bukan asal-asalan. Mengacu pada SK Gubernur DIY Nomor 320/KEP/2018 Tentang Penetapan UMK 2019, UMR Bantul berjumlah Rp 1.649.800. Sementara itu, Upah Minimum Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta pada tahun yang sama sebesar Rp 1.570.922.73.
Namun, baik Kiki maupun Habib mengatakan bahwa gaji di tempatnya sudah sesuai dengan UMR. Habib, misalnya, mengatakan penetapan gaji di kedainya jika diakumulasi seluruhnya sudah mencapai UMR. Hal tersebut karena warungnya juga menyediakan makan dan minum sepuasnya untuk para pekerja. Mereka dipersilakan makan, meski saat itu bukan jadwal makan.
“Semisal itu dihitung, ya, sudah UMR,” ucapnya.
Demikian Kiki berpendapat. Di kedainya, pekerja mendapatkan gaji pokok, bonus, makan dan minum sepuasnya, juga tersedia mess. Akan tetapi, bagi karyawan baru, gajinya tidak langsung sesuai UMR. Perlu dilihat terlebih dahulu kinerja karyawan tersebut.
“Kalau kinerjanya bagus, naik gajinya ya cepet, bonusnya pun bisa gede. Tapi kalau (kinerjanya) biasa-biasa aja ya mau gimana lagi.”
Ketika masih bekerja penuh waktu, Bassar pernah menghitung sendiri pendapatan kedai melalui catatan aplikasi yang digunakan di tablet kasir. Pendapatan setiap bulan bisa mencapai Rp 140.000.000. Dengan jumlah karyawan 18 hingga 20 orang, jika rata-rata gaji karyawan Rp 2.000.000, maka pengeluaran gaji setiap bulan adalah Rp. 40.000.000. Sisa pendapatan warung selama satu bulan masih Rp 100.000.000.
Sementara itu, Habib menyatakan pendapatan di warung kopi miliknya dalam satu hari rata-rata mencapai 4,6 – 5,7 juta. Berdasarkan omset per hari tersebut, pendapatan warung kopi milik Habib mencapai Rp 138.000.000 – Rp 171.000.000 per bulan.
“Ya, jelek-jeleknya gaji Rp 1.500.000-lah. Setiap bulan keluar Rp 30.000.000 buat pegawai. Sebenernya enggak banyak juga, sih,” tutur Bassar sambil menghitung-hitung.
Kendati demikian, pada hari H pembagian gaji, pekerja hanya mendapat gaji pokok serta lebihan uang transport sebesar Rp 2.500 per hari. Padahal, uang bonus seharusnya bisa mencapai sekitar Rp 200.000 per karyawan.
“Lha aku diem ae, nggak pernah komen gimana-gimana. Cuma ya, oh … ternyata caranya kayak gini,” ucapnya sambil mengingat kejadian tersebut.
Lebih lanjut, Bassar mengatakan gaji pegawai yang sudah di bawah UMR itu pun terkadang masih dicurangi oleh pemilik kedai. Potongan gaji karena telat, misalnya. Jika karyawan telat masuk kerja 15 menit, gajinya akan dipotong Rp 2.500. Kemudian potongan itu akan bertambah Rp 2.500 setiap keterlambatannya bertambah lima menit.
Bassar mengatakan bahwa aturan semacam itu bukan hanya berlaku di warung kopi tempatnya bekerja. Melainkan sederetan warung kopi di daerah Sorowajan umumnya memiliki pola manajemen yang mirip.
Sederetan warung kopi Sorowajan terkesan ramah untuk mahasiswa dengan harganya yang tidak terlalu mahal. Akan tetapi, kedai tersebut memiliki pola manajemen yang sangat membebani pekerjanya. Padahal, sebagian karyawan yang bekerja di kedai kopi Sorowajan merupakan mahasiswa.
“Ya soalnya mahasiswa itu kadang serba kepepet. Apa ae dilakoni asal dia dapet duit, asal dia bisa bertahan hidup.”
Bassar dan kawan-kawannya bukan tak pernah protes masalah gaji. Namun, jawaban pemilik warung selalu sama, seperti bulan ini belum terpenuhi targetnya, pengeluaran banyak, untuk beli gelas dan cangkir, memperbaiki kursi dan lain sebagainya.
“Alasan klasik sebenarnya, cuma itu udah enggak bisa dibantah.”
Gaji di bawah UMR juga dialami Badrun. Belum genap satu bulan ia bekerja di warung kopi. Sebelumnya ia bekerja di sebuah tempat permainan biliar. Karena lokasi permainan tersebut pindah ke daerah Seturan dan terlalu jauh untuk dijangkau tanpa kendaraan, maka Badrun lebih memilih untuk resign.
Masa kerjanya di warung kopi yang belum lama, membuat gajinya juga belum menentu. Badrun mengatakan, jika dalam satu bulan ini dirinya masuk 27 hari dengan masa libur tiga hari per bulan, maka ia akan mendapat gaji Rp 35.000 per hari. Jika ditotal, gajinya dalam satu bulan adalah Rp 945.000. Akan tetapi jika masa kerjanya kurang dari 27 hari, gajinya akan berubah menjadi gaji harian yang besarannya adalah Rp 25.000.
“Iya kalau nanti nggak pindah. Itu kan masih belum nentu,” ujar Badrun ketika ditanya perihal gaji.
Dengan asumsi pendapatan yang akan diperoleh Badrun bulan ini, ia harus memanajemen pengeluarannya agar cukup dengan gajinya.
“Cukup-cukupin aja gitu. Ya, kalau nggak cukup, ngutang. Yang penting jangan nyuri.”
Sementara itu, bagi Bassar, gaji yang diperolehnya dari warung kopi tidak bisa menutup kebutuhannya. Untuk bisa memenuhi kebutuhan, kadangkala ia harus mencari pinjaman utang atau minta kiriman uang dari rumah.
“Kalau dipikir-pikir juga enggak cukup. Satu juta untuk bayar sewa indekos, makan, wara-wiri, belum lagi ngeprint tugas, beli paketan, bensin, rokok, dan lain-lain. Jadi banyak anak yang kerja di warung kopi itu harus menahan keinginannya buat nggak diturutin dulu. Kudu pinter-pinter mengatur duit,” pungkasnya.
Di beberapa kalimat, tulisan ini mengalami revisi.
Pada paragraf 18, berbunyi: “Beberapa kedai tidak mau menerima kompromi. Habib sebagai pemilik warung kopi sering menolak karyawan yang meminta izin tidak masuk kerja dengan alasan kuliah. Pemilik kedai kopi itu baru bisa memberikan izin ketika karyawannya ada kelas tambahan,” dihapus karena paragraf ini tidak terverifikasi. Kekeliruan terjadi dalam proses penyuntingan. Dan kami meminta maaf.
Reporter: Nur Hidayah
Redaktur: Sidratul Muntaha
Ilustrator: M. Dzaky S. A