Home KUPAS The Danish Girl: Refleksi Seksualitas Kita

The Danish Girl: Refleksi Seksualitas Kita

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“I want my husband back!” said Gerda.

“No, you can’t!” – Lili.

***

Lpmarena.com- Pernikahan dapat mengubah seseorang menjadi pribadi lain. Pasanganmu tidak berubah, ia hanya kembali pada dirinya yang dulu. Dan bisa jadi dirinya yang sesungguhnya sedang bersembunyi di balik rekayasa romantika hubungan dengan lawan jenis.

Ketika itu Gerda Wegener meminta suaminya, Einar Wegener, untuk duduk di atas kursi mengenakan stocking berwarna cream sambil menunjukkan lekuk betisnya. Ditambah dengan gaun putih ballerina, Gerda hendak melukis suaminya dengan kostum tersebut. Harusnya Ulla Paulson si penari balet itulah yang menjadi model di atas kanvas. Namun, ia terlalu sibuk.

Pasangan suami istri tersebut adalah seniman (pelukis) dan ilustrator terkenal di Copenhagen, Denmark. Einar berhasil meluncurkan pameran lukisannya, tetapi Gerda belum. Gerda termasuk pelukis yang sedikit pemalu untuk memamerkan lukisannya sendiri. Ia pun berupaya sungguh-sungguh karena begitu banyak lukisannya yang tertolak. Sampai akhirnya, ia ingin membuat sesuatu yang fresh dan terbesitlah  “Portraits of Lili” (seorang penari balet yang ia beri nama Lili).  Karya erotis Gerda itu mendapat respon positif dari masyarakat Copenhagen pada tahun 1920-an.

Lukisan tersebut dinilai mampu berbicara melalui sosok ballerina bernama Lili. Perempuan yang terlihat feminim dengan gelak tubuh tampak lugu dan malu-malu, tetapi bersorot mata centil dan kemayu.

Gerda tidak menyadari bahwa di dalam jiwa suaminya terdapat jiwa lain – Lili. Ia pun tidak menyadari bahwa ia telah menghidupkan kembali sosok Lili yang sudah bersembunyi selama belasan tahun di tubuh Einar. Sosok yang berusaha untuk keluar dan bebas, namun terkungkung di dalam tubuh seorang pria yang sudah beristri.

Ketika Gerda secara tidak sengaja membangunkan sosok Lili, Einar berusaha membuat Lili semakin hidup. Ia mulai bergaun Flapper dengan syal bermotif yang ia selendangkan di leher jenjangnya. Tak lupa gincu merah selalu ia oleskan di bibir pucatnya. Ia pun mulai mengenakan high heels dan berjalan berlenggak lenggok layaknya peragawati. Ia juga mengurangi asupan makannya untuk berpinggul ramping dan tidak lupa ia apitkan batang penisnya diantara selangkangan hingga membentuk lekuk V.

Keadaan semakin rumit tatkala Lili menjalin hubungan asmara dengan pria bernama Henrik. Krisis identitas yang ia alami membuat bahtera rumah tangganya goyah. Di satu sisi ia mencintai Gerda sebagai Einar. Namun, di sisi lain ia mencintai Henrik sebagai Lili.

Ada rasa haru ketika Gerda membiarkan Einar menjadi Lili dan pergi menghirup udara bebas kota Denmark. Meskipun di lubuk hatinya ia merasa kecewa karena sosok suaminya semakin tenggelam dalam penjiwaan Lili.

Keadaan kian pelik ketika Gerda merasa semakin tidak kuat lagi. Ia membutuhkan Einar, suaminya dan memohon kepada Lili untuk memanggil jiwa Einar. Namun, Lili menolak dan mengatakan “Inilah aku, aku tidak bisa!”. Gerda terus menerus memohon dengan isakan airmata tak berkesudahan meminta agar suaminya kembali padanya. Ia ingin dan butuh suaminya. Namun, Lili menolak dengan memalingkan wajah dan pergi.

Einar menetapkan untuk membuat Lili sebagai perempuan seutuhnya. Ia akan menjadi perempuan. Titik!

Sampai pada akhirnya ia bertemu dengan Professor Warnerkros spesialis yang menangani soal seksulitas. Ia mengatakan mampu membuat Lili benar-benar hidup layaknya perempuan lainnya. Namun, dengan konsekuensi Einar akan pergi selamanya. Dimana Gerda harus kehilangan suami yang sudah menemaninya selama enam tahun masa pernikahan.

Melihat sosok Einar dibalik Lili meruntuhkan egoisme Gerda. Ia tetap mencintai Einar yang entah berada dimana sekarang. Ketetapan hati yang selama ini ia bangun hancur begitu saja ketika ia ingin melihat Einar bahagia. Operasi pergantian kelamin pertama kali di dunia pun dilakukan.

Film Garapan Tom Hooper yang rilis pada 27 September 2015 ini berangkat dari kisah nyata hasil adaptasi novel buku harian Lili Elbe yang kemudian terbit dengan judul Man Into Woman tahun 1993. Novel ini menceritakan tentang perempuan transgender yaitu Lili yang berusaha memperjuangkan identitasnya. Spirit dari pengalaman basah yang ia lalui menjadi inspirasi bagi gerakan transgender sampai pada hari ini.

Saya jadi teringat dengan salah satu narasumber yang pernah saya wawancari. Saya memanggilnya Mami Vin. Ia adalah transgender sekaligus pendiri LSM Keluarga Besar Waria Yogyakarta (LSM Kebaya) yang sudah berdiri sejak tahun 2005.

Ia duduk di depan saya dengan balutan jilbab panjangnya dan bercerita bahwa tidak mudah menghidupi rumah singgah ini. Berangkat dari rasa prihatin yang dialami teman-teman waria yang mengidap HIV/AIDS, ia berupaya untuk menampung orang-orang yang termarginalkan dari masyarakat.

Pelabelan seseorang berdasarkan pada gender dan orientasi seksual masih kuat di masyarakat kita. Keberadaan mereka dianggap sebagai virus yang patut dihindari dan bisa menginfeksi layaknya HIV/AIDS. Akan lebih berat lagi ketika seseorang sebagai pengidap dan waria. Double pressure akan lebih terasa.

Senada dengan Mami Vin, Mami Rully salah satu dari pegiat memaparkan bahwa LSM Kebaya adalah tempat untuk bertahan dan melawan HIV/AIDS sekaligus stigma masyarakat yang masih memandang sebelah mata waria. Ia beranggapan bahwa waria juga manusia. Kami tidak menyusahkan orang lain. Kami mau bekerja dengan cara mengamen.

Selain itu ia mengungkapkan pula bahwa apa yang sekarang ia alami yaitu menjadi transgender bukanlah sesuatu yang menyimpang. Ia merasa ini adalah gift dari Tuhan dan patut untuk disyukuri.

“Saya rasa ini adalah gift yang patut disyukuri. Saya tidak meminta untuk menjadi seperti ini. Temen-temen yang lain tidak meminta untuk menjadi waria seperti mereka sekarang. Namun, itu semua pemberian Tuhan,” tuturnya kepada saya kala itu.

Keberadaan Lili, Mami Vin dan Mami Rully, ketiganya sama-sama mengakui bahwa apa yang mereka alami bukanlah suatu penyimpangan sosial. Melainkan bentuk ekspresi diri untuk menujukkan identitas yang sesungguhnya. Jika menilik pendapat Judith Butler melalui kacamata Teori Queer ia mengungkapkan bahwa seks, gender bahkan orientasi seksual semuanya bersifat cair (fluid), dapat berubah-ubah dan tidak alamiah.

Sederhananya adalah menjadi laki-laki tidak harus melulu maskulin dan menjadi perempuan tidak melulu harus menjadi feminim. Keduanya dapat saling bertukar tergantung pada pengalaman seksualitas individu masing-masing.

Saya rasa kepedulian perempuan Yogyakarta yang direpresentasikan oleh Mami-mami diatas patut diteladani. Meskipun pada akhirnya infeksi operasi pengangkatan kelamin mengakhiri durasi film Lili sebagai The Danish Girl (Perempuan Denmark). Namun, keteguhannya seolah-olah tidak pernah berakhir dan menjalar sampai pada perempuan lainnya.

Judul Film: The Danish Girl|Tahun Rilis: 27 September 2015|Durasi: 120 Menit|Sutradara: Tom Hooper|Produser: Tim Bevan|Penulis: Lucinda Coxon|Negara: Britania Raya|Bahasa: Inggris|Aktor: Eddie Redmayne, Alicia Vikander, Matthias Schoenaerts, Ben Whishaw, Sebastian Koch, Amber Heard|Peresensi: Sekar Jatiningrum.

Sumber gambar: Alamy Stock Photo by Focus Features.