Demi menggelar karpet merah bagi investor, pemerintah menumbalkan alam dan pekerja dengan Omnibus Law
Lpmarena.com- “Kalau ditelaah lebih dalam, akan ditemukan momen baru yang meresahkan. Dan akan melahirkan rezimentasi ambyar,” begitu yang dikatakan AB. Widyanta kala membuka pembicaraannya pada diskusi Omnibus Law, Undang-Undang Ngaco atau Kacau? Jumat, (31/01) di kantor LBH Yogyakarta.
Potensi ambyar yang dimaksud sosiolog UGM itu adalah Omnibus Law. Bagaimana tidak, Omnibus Law, atau belakang disebut ‘Undang-Undang Sapu Jagat’ ini merancang beberapa peraturan dengan sekali ketukan palu.
Omnibus law, oleh AB. Widyanta, dianalogikan sebagai omnivora, jenis binatang pemakan segala: daging dan tumbuhan. Serupa dengan hal tersebut, “Omnibus Law ini akan memakan banyak undang-undang,” kata AB. Widyanta, sering disapa Bung AB.
Dikutip dari akun Instagram @lbhyogyakarta, ada tiga UU yang akan disahkan melalui konsep omnibus law: UU Cipta Lapangan Kerja (UU Cilaka), UU tentang Pajak, dan UU tentang UMKM.
Menyatukan kompleksitas kehidupan dalam satu draf inilah yang disebut Bung AB sebagai rezimentasi ambyar. “Tentu ada modus di dalamnya,” ungkap Bung AB.
Modus yang dikata Bung AB merujuk pada kepentingan investasi. Ini erat kaitannya dengan logika pasar bebas, Bung AB memakai istilah ‘fundamentalisme pasar’ dan politik perburuhan.
Selain modus, Bung AB sebut Omnibus Law bukti pemerintah malas berpikir. “Kalau sudah begini bukan Cipta Lapangan Kerja (Cilaka), tapi memang ‘Cilaka’ dalam arti petaka,” tutur Bung AB.
Senada dengan itu, Lutfy Mubarok, LBH Yogyakarta, menilai omnibus law sebagai lampu hijau para investor. Investasi diberi keleluasaan mengeruk sumber daya alam Indonesia tanpa administrasi yang rumit.
”Omnibus law ini menjadi karpet merah investasi,” jelas Lutfy.
Keleluasaan investasi ke depan bisa dilihat dari penyederhanaan jumlah izin dan penyederhanaan teknis pelaksanaan.
Kemudahan perizinan yang dimaksud Lutfy sesuai dengan 11 klaster omnibus law yang tertulis di Tirto.id: “Omnibus Law akan merevisi 1.244 pasal pada 79 undang-undang yang mencakup 11 klaster mencakup penyederhanaan perizinan; persyaratan investasi; ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan dan perlindungan UMKM; kemudahan berusaha; dukungan riset dan inovasi; administrasi pemerintahan; pengenaan sanksi; pengadaan lahan; investasi dan proyek pemerintah; kawasan ekonomi, baik itu kawasan industri.”
Usaha mempermudah izin investasi, kata Lutfy, tampak pada penghapusan komisi penilai Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) dalam proses perizinan investasi. Lebih lanjut, Amdal akan akan diganti dengan sekumpulan orang yang bersertifikasi. Akibatnya, demi investasi, ekosistem alam terancam. “Sekarang aja masih ada Amdal, lingkungan terancam. Apalagi kalau perizinan dipermudah,” terang Lutfy.
Adapun, sistem Omnibus Law yang mengklaster beberapa isu menjadi satu, bagi Sukiratnasari, merupakan sesat pikir. Aktivis perempuan dan Ombudsman Yogyakarta itu mengatakan Omnibus Law menyatukan dua hal yang bertentangan: investasi dan isu lingkungan. Baginya, investasi akan selalu menjadi momok bagi keberlangsungan lingkungan.
Sebut saja salah satu poin dalam 11 klaster Omnibus law yang secara terang mengancam lingkungan adalah penyediaan lahan dengan mudah. Poin tersebut berimbas pada hilangnya kontrol sosial lewat peniadaan Amdal. Padahal, Amdal adalah bentuk keterlibatan publik dalam proses pembangunan
Pada sisi lain, sistem Omnibus Law ini akan semakin menjepit buruh. Dengan RUU Cilaka, pekerja semakin rentan akan kesehatan kerja, jaminan, pengupahan, beban kerja, dan outsourcing. Terlebih, rancangan UU ini tidak mengakomodir buruh. Para buruh hanya kebagian peran di sosialisasi.
Bung AB menganggap Omnibus Law lahir sebagai jalan bagi pemilik modal menjarah kapital sebanyak mungkin. Jika sudah demikian, kata Bung AB, manusia dan negara telah menuju pada kematian. “Apokaliptik Law,” katanya.
“Bangsa ini hanya akan menjadi jongos,” tegas AB menutup.
Istilah ‘apokaliptik’ Bung AB itu merujuk pada gambaran atau bayangan kehancuran kosmis yang diakibatkan sistem pasar yang sangat kapital. Dalam kondisi macam ini, manusia hanya dihadapkan pada ‘cilaka’ dan ambyarisme.
Reporter: Hedi
Redaktur: Sidratul Muntaha