Home BERITA QLC: Masalah Massal Kesehatan Mental yang Diabaikan

QLC: Masalah Massal Kesehatan Mental yang Diabaikan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com- Kegalauan akan masa depan yang umumnya dialami seseorang ketika berusia 20-an dikenal dengan Quarter Life Crisis (QLC). Krisis emosional itu terjadi karena masa transisi dari remaja ke dewasa, ditandai dengan rasa tidak aman (insecure) dan sendiri.

QLC merupakan persoalan kesehatan mental yang krusial dan perlu menjadi bahasan khusus. “Itu suatu permasalahan, kita mengajak teman-teman untuk peduli.” ungkap Khansa Nabilah di sela acara Festival Literasi Kesehatan Mental oleh Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) di Gedung Museum Pendidikan Indonesia, Kamis (30/01).

Quarter Life Crisis begitu penting untuk diangkat karena itu banyak dialami oleh kawan-kawan,” kata Khansa, Pimpinan Umum LPM Ekspresi.

QLC perlu dihadapi dengan meningkatkan pemahaman akan kesehatan mental. Apalagi pada masyarakat yang berada di tengah hiruk pikuk kota dengan banyak permasalahan pekerjaan. Kerena pemahaman tersebut, “Kita nggak merasa insecure, ayo jalani bareng-bareng.” harap Khansa.

Rahmatika Kurnia Romadhani, dalam satu rangkaian acara diskusi menyampaikan bahwa mengacu pada Robbins dan Wilher dalam buku berjudul Quarter Life Crisis: The Unique Challenges of Life in Your Twenties, QLC sendiri terjadi karena faktor karir, keuangan, kehidupan dan hubungan dengan orang lain.

Dosen psikologi UNY itu menyebut QLC sebagai masa krisis ketika seorang individu merasa tidak mampu menghadapinya. Perubahan besar dalam hidup itu menjadikan seseorang banyak cemas dan labil. Dalam masalah yang dialami pun, seorang individu yang terpapar QLC merasa tak memiliki teman hingga kesulitan di tempat kerja maupun perkuliahan.

Menurut Nina, sapaan akrabnya, krisis dipicu oleh beberapa faktor. Salah satunya yakni pola ajaran orangtua agar anak optimis dan merasa lebih pantas dari orang lain. Justru ekspektasi inilah yang membuat sang anak menjadi frustasi jika tidak mampu memenuhinya.

Faktor lain adalah adanya media sosial yang cenderung menampilkan hal-hal positif, seperti pencapaian, hubungan yang baik, lingkungan baik dan segala yang bercitra baik. Hal itu berdampak pula pada tingkat kepuasaan dan kebahagian, sehingga membuat seseorang berjarak dengan kebahagian dan semakin rentan terpapar QLC.

“Kita merasa paling menderita dan merasa sendiri menghadapi masalah, padahal itu sekadar posting dan kita nggak tahu yang ada di dalamnya” tuturnya.

Kerentanan Milenial Terpapar QLC

Sementara pembicara lain, Dian Mufitasari menjelaskan bahwa QLCrentan terpapar pada milineal, generasi kelahiran tahun 1990 – 2000. Mereka merupakan generasi dengan kecemasan tertinggi dibandingkan dengan generasi-generasi sebelumnya. “Menurut survei, kalian dua kali lipat lebih stres dari generasi sebelumnya.” kata Mufit pada peserta.

Generasi tua mengalami stres karena isu-isu kesehatan yang dapat memengaruhi keluarga dan dirinya, sedangkan generasi milineal lebih mengarah pada domain pekerjaan, keuangan, kehidupan dan stabilitas pekerjaan. Hal itu karena perfeksionisme yang jauh lebih tinggi. Ada tiga dimensi dari perfeksionis yakni orientasi sempurna terhadap diri sendiri, orientasi sempurna yang dipaksa orang lain terhadap diri kita, orientasi sempurna dengan mengikuti standar orang lain.

Mengutip pernyataan Amarican Management Association 2019, milineal adalah generasi dengan standar dan tingkat pendidikan paling baik dibandingkan generasi sebelumnya. Karenanya mereka bersikap optimis, memiliki rasa percaya diri yang tinggi, berorientasi pada prestasi, mampu melakukan tugas sekaligus serta mempunyai keterampilan teknologi yang sudah berkembang. Karena itulah kegalauan rentan terjadi.

Nina mengatakan bahwa kondisi mental tersebut tak selamanya buruk. Serorang individu, saranya, tak perlu sibuk mencemaskan masa depan dan lebih memikirkan masa sekarang. Krisis tersebut merupakan tanda individu mengarah pada kehidupan yang lebih baik. Menurutnya, QLC akan berlalu, sehingga seseorang perlu menikmati prosesnya dan meyakini bahwa mereka tidak sendiri.

“Ibarat ulat menjadi kupu-kupu, ia harus melepaskan diri dari kepompong yang sakit,” tuturnya.

Pada kesempatan yang sama, dosen psikologi Universitas Gadjah Mada itu menyarankan cara melindungi diri dengan mengonsumsi makanan sehat, mengurangi kebiasaan yang tidak bermanfaat, berolahraga dengan teratur, menikmati jeda, berpikir postif dan menjaga pola istirahat. Dalam rangkaian Festival Literasi Kesehatan Mental ini pun menyediakan konseling gratis guna lebih mengenal persoalan Quarter Life Crisis dan penyakit mental lainnya.

Reporter: Kristinawati

Redaktur: Dina Tri Wijayanti