Home SASTRACERPEN Dompet Filantropis

Dompet Filantropis

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh H.R Nawawi*

“Pembangunan jalan,” aku mendengar suara itu dari atas kendali sepeda motor, “merupakan kunci utama untuk menyongsong masa depan yang cerah saudara-saudara, jadi untuk kawula muda dan karang taruna diharapkan mengikuti bla..bla..bla.” Suara dari balik toa itu tegas, namun sirna kemudian diantara tebing-tebing gersang kecamatan P.

Hari mendung, dan laju rodaku semakin kencang setelah tahu isi jok tak ada pelindung hujan kupandang. Paling tidak dompetku tak basah kuyup, batinku.

Kalau boleh berkata jujur, sebetulnya aku lupa kalimat yang keluar dari toa itu, susunan info di atas hanya sekenanya, aku cuma edit sana-sini dari teks yang pernah kubuat bersama-sama saat Kuliah Kerja Nyata di kecamatan K. Keduanya nyaris persis kupikir, semacam kegiatan gotong royong bersama warga, kemudian foto-foto mbangun desa, dan sebagainya. Setidaknya nanti bisa masuk koran atau apalah. Tapi aku dan sekawananku tidak lebih jauh menginginkan itu, cukup program KKN terlaksana, unggah di media sosialita, masyarakat bahagia, lalu dapat nilai A. Jadi di sini kita hanya berbeda kata kunci: pembangunan jalan dan donor darah.

Aku pun tersenyum mengenang itu, sedikit malu-malu, senyum-senyum sendiri di bawah helm repro yang kukenakan. Namun, tak lama pudar juga seketika di kelokan kantor kecamatan P saat rinai hujan semakin deras dan membuatku menepi di kedai Mie Ayam Jagonya Pedas.

Hujan tak selalu melanggengkan senyum, pikirku. Kemudian kuparkir motor secepat mungkin. Setelah itu, kuambil sebatang rokok dari saku celana, menengadah lihat sekeliling pelataran kedai. Kuhampiri Ibu pemilik kedai meminjam korek api.

“Sekalian boleh minta kantong plastik buk?”

“Gimana mas?” sembari Ibu menerima koreknya kembali, ia menunjukkan sesuatu, “Adanya ini.”

Aku mengangguk, meski ragu dengan satu kantong plastik berukuran kecil permasalahanku akan beres. Namun akhirnya kupaksa, agak sangsi meski kurasa lebih aman setelah terikat serapat mungkin plastiknya. Satu hal yang belakangan kuketahui, jok motor bebek butut keluaran 2007 yang kupinjam itu tak muat menyimpan buku-buku. Dan hujan masih lebat kuamati, bahkan jarak pandangnya tak lebih dari tiga depa.

“Lebih baik aku pelan-pelan,” desisku dalam benak.

“Hujan adalah waktu yang tepat untuk menangis,” bisik Salma dari belakang punggungku.

Aku pergi sendirian, jadi itu bisikan yang datang menghapiri batinku dengan jelmaan perempuan yang kukasihi dulu. Kali sekian ia menghantuiku, baru kali ini ia berkunjung di saat-saat aku mengendarai motor, memutar lagu menggunakan alat bantu True Wireless Stereo dan nyanyi sekencang-kencangnya di jalan raya.

“Laki-laki sok kuat dan pengecut sepertimu bisa menyembunyikan air mata di sela-sela air hujan!”

Sebelum rampung bujukan itu kudengar, laju motorku kian gesit, meliuk-liuk di atas aspal basah dan bebunyian klakson kendaraan yang berlawanan arah. Tapi semakin kencang motorku, kendaraan yang berlawanan seperti melambat dan memperkenalkan diri.

“Sebagian besar pengendara motor itu pekerja sektor informal di kota, separuh lainnya pelajar atau mahasiswa unversitas, dan akhir pekan begini mereka pulang kampung.” Begitu penjelasan anak muda penjaga kios pulsa dekat kedai Mie Ayam yang kuhampiri tadi. Sejak hisapan pertama rokokku di depan kiosnya, pemuda itu seperti menerka-nerka penglihatanku.

“Tapi jalan ini jalur alternatif menuju pantai kan mas?” balasku.

“Iya, tapi semua orang akan ke kota pada waktunya kan?” Tambahnya lagi. Ia seperti kesal dengan urbanisasi. Tapi entah mengapa aku culas menggubrisnya saat itu, mungkin motor pinjaman tak pernah membuatmu tenang, tapi aku tak yakin itu, dan tanpa mengurangi kesopanan aku pamit, “permisi mas.”

Sebelum sampai tujuan, Aku sudah basah kuyup dan menggigil. Perjalananku berubah arah di perempatan batas kota, semoga Rey sedang dirumah. Aku pun belok kanan tanpa pertimbangan panjang. Kulihat ada ATM di supermarket dekat gang rumah Rey, aku lihat saldo belum berubah. Akhirnya aku pun keluar menuju parkiran, banyak orang berteduh, dan entah aku hanya tertuju melihat penjual kerupuk, apalagi perangainya memelas dan kurus. Aku jadi ingat sosok selibat yang punya keyakinan bahwa menikah dan apapun itu dapat mengaburkan esensi cinta. Pilihan itu mengandung resiko, dan oleh sebab itu banyak orang tak menyukainya. Berbeda dengan Rey yang dapat mengingat perkataan bijak orang itu.

Jadi obrolan sore itu di depan teras rumah Rey bermula dengan obrolan mengenai Pak Basir, tokoh selibat di desa D yang pernah aku dan Rey singgahi. Rey suka berkelana ke pelosok-pelosok, blusukan, mencari yang selama ini aku sendiri tak mengerti artinya, sejenis makam bertuah. Selebihnya aku menikmati keseruan perjalanannya.

“Sekotor atau sebejat apapun Pak Basir,” kata Rey seperti pesan WhatsApp-nya minggu lalu, “setiap kalimat yang dikatakannya bukanlah sampah belaka. Pak Basir itu orang mulia, dia yang mengajariku jangan menggantungkan harapan melebihi kapasitas kemanusiaan. Analoginya itu keterangan seorang imam besar timur tengah yang mengatakan bahwa rumah, mobil, dan bahkan isi dalam dompetmu saat ini bukanlah kepemilikanku secara mutlak, semua akan sirna nak, coba kau pikir, rumahmu sekarang itu mungkin akan menjadi milik anakmu kelak, begitu pun mobil yang kau punya, terus seisi dompetmu itu mungkin petang nanti menjadi milik penjual sate atau pencuri.”

Saat Rey jeda bercerita perihal Pak Basir, aku mencoba mengetengahkan film Beutiful Mind sebagai topik pembicaraan. Bukan apa-apa, aku sudah tahu betul mengapa Pak Basir menua tanpa pasangan. Barangkali sosok Jhon Nash bisa menjadi kisah alternatif, pun juga layak sebagai rujukan bahwa mengobati rasa sakit psikis atau mental itu bisa ditangani secara non-medis.

“Jhon Nash sudah mendiang lima tahun lalu. Saranmu sudah tak berguna, apalagi menurut satu sumber cerita, Jhon Nash berhasil melawan penyakit gangguan mental Skizofrenia dengan pendekatan non-medis.” sahut Rey, “aku sudah banyak kali menontonnya.”

Mendengar jawaban Rey membuatku semakin ingin berlagak seperti Jhon Nash tua, abai dengan segala yang tampak meragukan, dan aku sadar ini bukan halusinasi dari irisan daun yang kusimpan dalam dompet. Aku hafal betul cara kerjanya barang itu dalam tubuhku. Biasanya bermula dari sesuatu yang merayap ke dua betis kaki, ringan, kemudian terbang. Bila kau lebih dulu merasai efeknya di bagian kepala dan berat lalu mengunci beberapa sendi tubuh, hati-hati, itu efek kimia menyebalkan—sebisa mungkin hindari jenis itu.

“Pak Basir memilih jalan kesunyiannya, ia mengabdikan seluruh umurnya untuk mencintai sesama dengan selibat,” ungkap Rey seperti meyudahi. Secuil rindunya semakin kentara di perkataan penutup ini. Aku yang sedang mencecap kudapan lantaran mengamini kesucian Pak Basir meski di permukaan ia pasti di dengar sebelah telinga.

Lambat laun Rey terdiam nanar menatap, seolah-olah terbius, foto Chairil beserta puisinya yang ia pajang dalam ruangannya sendiri:

“Nasib adalah kesunyian masing-masing”

Hari senin pun berkunjung, malam di rumah Rey sudah lewat, aku membuka dompet di kamar kostku yang lumayan sempit, tak sampai setengah altar makam orang China, dan tak kusangka menjelang siang itu isi dalam dompetku lenyap sudah di akhir pekan awal-awal bulan.

“Apa dengan kartu identitas lantas hari ini aku bisa makan?” dompet tak menjawab, mungkin kelak ia serupa istriku, “atau jangan-jangan kau memintaku menahan lapar hingga petang nanti?”

“Baiklah bila itu permintaanmu!”

“Tapi kalau kujual ini laku berapa ya?” sambil kupegang barang langka itu.

“Tidak-tidak,” kusimpan lagi barang itu dalam dompet. “Ini pemberian, pamali!”

“Tak ada awal bulan dan akhir bulan bagimu!” kulipat lagi dompetku.

“Kekasihku, mari belajar skala prioritas.” Ia kukembalikan ke saku celana bagian kiri belakang. Kurang lebih setengah jam aku berdialog dengan dompet, tak menghasilkan apa-apa. Lalu kubongkar segala benda yang kusimpan dalam dompet dengan sengaja atau tidak sengaja. Ketika sudah tak lagi kutemui leganya solusi, aku masukan kembali semuanya kecuali resi pembelian buku-buku beberapa hari silam dan bulan-bulan sebelumnya. Tiba-tiba sehelai sesal terungkai di batinku, dan semua terbeli begitu saja di toko buku.

***

H.R. Nawawi, mahasiswa yang sedang berupaya tuntas secara administratif di Fakultas Tarbiyah dan Keguruan. Bergiat di Teater Eska. Dan menulis hanyalah cara agar terus membaca.

Sumber gambar: https://si.wsj.net/public/resources/images/BN-WK185_120117_M_20171201144539.jpg