Home KUPAS ETGAR KERET: PENULIS YAHUDI YANG MENERTAWAKAN KETAKUTAN

ETGAR KERET: PENULIS YAHUDI YANG MENERTAWAKAN KETAKUTAN

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

I

“Aku benci serangan teroris,” perawat kurus itu berkata kepada sejawatnya yang lebih tua, “mau permen karet?” (hlm. 1)

Begitulah Etgar Keret membuka buku kumpulan memoarnya, The Seven Good Years. Keret mendengar percakapan itu ketika menunggu anaknya lahir di rumah sakit yang sedang ramai kedatangan korban teroris. Dari sekian banyak adegan dramatis yang bisa jadi pembuka, Keret lebih memilih bercerita tentang percakapan perawat yang begitu mudah teralih dari serangan teroris ke permen karet. Tampaknya, tak ada lagi yang bisa dibikin haru dari ledakan bom yang begitu sering.

Betul saja, beberapa saat setelahnya seorang wartawan mendatangi Keret dan bertanya di mana ia ketika bom meledak. Wartawan itu menebak Keret, yang ada di rumah sakit, adalah korban. Atau setidaknya ia menjenguk kerabat yang terluka akibat bom itu. Wartawan itu sudah bosan karena setiap narasumber yang diwawancara tak tahu menahu apa yang terjadi hingga terdengar suara ledakan dan semua orang mati.

Sayangnya ia harus kecewa karena Keret menunggu momen haru kelahiran anaknya. Seperti jurnalis kebanyakan, Si Wartawan butuh jawaban sensasional dan berharap Keret, yang terkenal sebagai penulis, dapat memberikan tanggapan unik.

Jika saat itu Keret menjadi korban bom, saya rasa ia akan tetap menjawab dengan cara yang biasa saja. Lev, anak Keret, juga tak kalah santai. Di bab terakhir memoar berjudul Pastrami, Lev kecewa karena sebuah rudal jatuh jauh dari tempatnya. Ia ingin mendapatkan kepingan rudal seperti temannya dan memamerkannya di sekolah. Satu-satunya kegembiraan yang dirasakan Lev adalah Keret mengajaknya bermain ‘pastrami’ ketika rudal itu jatuh.

Sebetulnya permainan Pastrami hanya akal-akalan Keret. Saat itu, Keret sekeluarga mengendarai mobil melalui jalan tol dan mereka menyaksikan rudal jatuh dan meledak di kejauhan. Keret dan istrinya lantas keluar dari mobil dan tiarap, tapi Lev tak mau ikut karena cemas.

“Kamu mau bermain game roti tangkup Pastrami?” ujar Keret pada Lev.

Dan, voila! Terciptalah, mungkin untuk pertama kalinya di dunia, roti tangkup suami-istri dengan isian bocah berumur tujuh tahun. Lev diapit ibunya yang tengkurap di atas tanah dan Keret yang juga tengkurap di atas Lev. Mereka tiarap bertindihan sambil bersorak, “Pastrami!”. Di tengah suara ledakan, Lev kegirangan seperti orang yang akalnya diliputi waham di bagian tertentu.

Keluarga itu bukan orang-orang yang percaya bahwa ada dunia yang lebih baik daripada yang mereka tempati. Mereka percaya hidup memang lebih sering menawarkan duka daripada bahagia. Dan langkah paling tepat untuk menghadapi duka itu adalah menerimanya dan menciptakan surga temporal berupa lelucon dan permainan.

Suatu hari, Keret bahkan pernah bersikap pasrah saja ketika ancaman nuklir Iran ia rasa begitu dekat dengan Israel. Hal tersebut ia ceritakan di tulisannya yang berjudul Bom dari Jauh. Pada mulanya. ia sangat waswas ketika Ahmadinejad, Presiden Iran yang begitu membenci Israel, berkata akan mengembangkan teknologi nuklir.

Namun, setelah berpikir matang, ia malah tak mau membersihkan rumah sampai nuklir menyapu negaranya. Bagi Keret, tak ada gunanya mengepel lantai atau memperbaiki atap bocor jika sebentar lagi dirimu mati. Keadaan rumah kacau selama berminggu-minggu hingga Keret bermimpi dipeluk Ahmadinejad. Seperti serangan jantung, ia mulai cemas menyadari rumahnya sudah sedemikian kotor dan harus dibersihkan.

Kepada istrinya ia berkata, “Jangan khawatir, Sayang. Kita berdua akan bertahan. Kita sudah berhasil melewati beberapa hal bersama—penyakit, perang, serangan teroris, dan jika kedamaian adalah takdir yang tersedia, kita juga akan menghadapinya.” (hlm. 81)

II

Saya pernah punya keyakinan bahwa Israel, Yahudi dan Zionis adalah bagian kejahatan kosmik dan satanik. Ada banyak alasan yang menyemut di benak saya untuk meyakini itu: Yahudi penipu, penjajah Palestina, kapitalis tai kucing. Sementara Imam Mahdi dan Nabi Isa akan turun ke bumi menjelang kiamat nanti, saya juga percaya bahwa Dajjal dan Zionis adalah musuh besarnya.

Holocaust memang sudah terjadi. Ia adalah bukti bahwa lebih banyak Yahudi yang menderita dan mati sia-sia daripada yang menjadi pebisnis besar dan elit politik global. Namun, paranoia terhadap Yahudi masih masih mengidap sebagian besar umat manusia. Seperti ketakutan pada Cina, Islam atau Imigran.

Bukan tanpa sebab, ketakutan tersebut seringkali dinormalisasi beberapa pihak. Penulis, misalnya. Profesor Middle East Technical University Ihsan Dagi pada tahun 2009 menulis artikel tentang normalisasi antisemitisme di Turki. Ia ditandai dengan meningkatnya popularitas buku-buku antisemit. Sebut saja The Roses of Moses dan The Children of Moses karangan jurnalis lepas Ergun Poyraz yang laku sebanyak 150.000 eksemplar di tahun 2007. Buku Soner Yalcin, jurnalis kiri harian Hurriyet, berjudul Efendi bahkan dicetak ulang 87 kali. Itu hanya sedikit dari banyaknya publikasi yang memupuk kebencian pada Yahudi.

Yang paling terkenal tentu saja Mein Kampf milik Adolf Hitler. Buku tersebut adalah salah satu urat nadi dari sejarah kebencian Jerman. Kebencian kolektif Jerman pada Yahudi kini memang sudah memudar. Namun keberadaan orang Jerman bisa menekan tombol ketakutan dalam alam bawah sadar Keret. Hal tersebut ia rasakan ketika pertama kali menginjakkan kaki di Jerman.

Saat itu ia diundang penerbit lokal untuk makan bersama di restoran Bavaria atau lebih dikenal sebagai Bayern. Namun, acara itu kacau ketika seorang Jerman membikin kegaduhan. Keret tak tahu jelas apa yang orang itu ucapkan, tapi ada dua kata yang ia kenal: Juden raus! Yahudi keluar!

Etgar tak terima dan langsung mendatangi orang Jerman itu. Mereka baku dorong dan adu mulut tanpa mengerti ucapan satu sama lain. Pihak penerbit menenangkan Keret, tapi ia tetap ngotot ingin berantem. Keret adalah generasi kedua yang selamat dari Holocaust dan ia merasa tahu pelajaran macam apa yang mesti diberikan pada orang Jerman itu.

Ternyata Keret salah sangka belaka. Belakangan penerbit itu memberi tahu Keret bahwa orang Jerman itu marah-marah karena ada mobil yang menghalangi kendaraannya. Ia pun sebetulnya berteriak jeden raus, ‘setiap yang keluar’, bukan juden raus seperti yang dikira Keret. Secara sadar, Keret tentu tak benci dengan Jerman. “Tapi apa yang bisa kulakukan? Bahkan hari ini, setiap kata dari bahasa Jerman membuatku selalu membela diri.”(hlm. 36)

III

Saya pikir wajar saja jika Keret begitu takut dengan orang Jerman dan nuklir Iran. Dalam sebuah obrolan, teman saya pernah bilang bahwa Israel “menjajah” Palestina mungkin saja karena mereka diliputi ketakutan semacam yang dialami Keret. Saya sepakat di satu sisi karena kecurigaan yang dibalas kecurigaan hanya akan melahirkan lingkaran setan.

Di sisi lain, obrolan dengan teman saya itu sudah tidak semestinya dipertahankan karena kepala kami masing-masing sekadar rumah curiga. Saya curiga kepada Yahudi dan teman saya curiga kepada kecurigaan yang lain.

Kita tahu Keret pada akhirnya menyesal karena begitu awas pada orang Jerman yang marah tak karuan itu. Dan beberapa tahun setelah ia makan asin garam kewaspadaan, ia jadi mengetahui, rasa khawatir tak merawat apapun. Setidaknya rasa khawatir tidak akan mengubah apa-apa yang akan datang dari depan, entah itu nuklir atau nota perdamaian.

Sedikit saya ceritakan kenapa saya pernah begitu takut dengan Yahudi. Ketika masih SMP, saya dan beberapa teman suka sekali menonton film seri tentang teori konspirasi. Film itu bercerita tentang Freemason, gerakan iluminati. Di film tersebut, Freemason tampak samar sekali. Tidak ada yang saya ketahui begitu terang dari gerakan itu kecuali ia erat dengan simbol-simbol segitiga, mata satu, tanduk dan penyembah setan. Dan sebagian selebritis dan elit politik Yahudi terlibat di dalamnya.

Film itu menghipnotis, membuat saya paranoid dengan segala simbol yang mirip dengan Freemason. Saya takut dengan bendera Israel karena lambang benderanya tersusun dari dua segitiga. Saya punya alasan untuk tidak suka Madonna. Selain karena kehadiran saya di dunia berjarak dengan kejayaannya di era 1980-an, ternyata ia adalah penyembah setan dan kerap menggunakan atribut satanistik.

Tetapi anjing, masa puber saya bersamaan dengan menaiknya popularitas Katy Perry.

Masa puber, seperti yang kita tahu, adalah saat ketika manusia begitu gandrung dengan kultur pop. Ketakutan pada segala bentuk iluminati membuat referensi kultur pop saya tertinggal, terutama ketika semua teman saya suka Katy Perry di masa SMA. Satu lagu yang paling saya benci adalah Dark Horse.

Di pembukaan video klipnya, simbol seperti mata satu dan piramid (tentu saja berbentuk segitiga) dipertontonkan begitu saja. Meski lagunya tidak buruk-buruk amat, saya tak pernah tahan menonton video klipnya lebih dari satu kali. Menonton video Dark Horse bagi saya adalah pengalaman menakutkan.

Kini saya tak lagi percaya dengan teori konspirasi. Tapi karena tidak pernah menonton video klip Dark Horse lebih dari sekali, tidak ada memori yang tertinggal kecuali segitiga dan mata satu yang menakutkan. Dan makhluk mirip kucing di bagian akhir video.

Beberapa hari yang lalu sebelum menulis resensi ini, saya coba-coba menonton video Dark Horse. Saya mencoba membuka kenangan menakutkan yang dipaksa tersimpan rapat bersama masa pubertas dulu. Di menit akhir video, rupa kucing itu kembali melekat di memori saya. Ia ternyata hanya Sphinx, kucing berwajah manusia yang lidahnya menjulur keluar.

Saya bukan pecinta kucing, tapi melihat kembali apa yang dulu saya takutkan ternyata bikin hati lega. Ketakutan pada Yahudi, atau apapun itu; xenofobia yang memanas belakangan, yang bikin dunia makin rapuh tak perlu diada-adakan. Sesekali kita hanya perlu seperti Keret: melihat bagian mana dari hidup yang bisa ditertawakan.

Judul The Seven Good Years | Penulis Etgar Keret |Penerbit Bentang | Cetakan Juni 2016 | Tebal x + 198 Halaman |Peresensi Sidra Muntaha