Home BERITA Omnibus Law: Degradasi Perlindungan Buruh

Omnibus Law: Degradasi Perlindungan Buruh

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Perlindungan pendapatan buruh jadi lemah. Upaya perlindungan menurun. Akibatnya, akan ada degradasi pelindungan buruh.

Lpmarena.com- Sejak pelantikan tahun 2014, Presiden Joko Widodo mencanangkan revisi peraturan yang dikalim menghambat investasi. Pencanangan itu kian nyata ketika draf Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja (Cilaka) muncul ke publik. Ia menuai kontroversi hingga namanya diganti menjadi RUU Cipta Kerja karena menuai polemik.

Naskah akademik tersebut diserahkan kepada DPR RI pada tanggal 12 Februari 2020 tanpa melibatkan masyarakat sebagai subyek hukum.

Pengurus Nasional Sentral Gerakan Buruh, Akbar Rewako, menyebut Omnibus Law bentuk sesat pikir pemerintah. Menurutnya, penghambat investasi adalah korupsi dan birokrasi yang berbelit, bukan pada persoalan ketenagakerjaannya.

“Penghambat utamanya investasi itu korupsi. Yang kedua birokrasi. Keduanya sama-sama berbelit-belit,” papar Akbar pada diskusi yang diadakan Magister Administrasi Publik (MAP) Corner-Klub MKP UGM, Selasa (18/02).

Rencananya, Omnimbus Law akan merevisi 79 Undang-Undang dengan 1224 pasal. Tujuannya memperluas izin investasi. Ada lima aturan yang hendak direvisi: RUU Cilaka, Perpajakan, UMKM, Perpindahan Ibu Kota dan Keamanan Laut. Namun saat ini, baru RUU Cilaka yang diserahkan pada DPR RI, yang belakang diganti jadi RUU Cipta Kerja.

Akbar mengatakan kita patut curiga pada politik hukum yang sedang dimainkan negara. Pasalnya, politik yang digunakan tidak berpihak pada buruh, melainkan investor.  Itu terlihat dalam perancangan RUU Cilaka yang kebanyakan melibatkan pengusaha dibanding kaum buruh.

“Hampir semua (yang terlibat-red) adalah pengusaha, sedangkan kaum buruh tidak ada. Sementara itu, enggak mungkin pengusaha membuat aturan yang merugikan dirinya sendiri,” ungkap Akbar.

Di sisi lain, Ari Hernawan, pakar perburuhan, juga menyebut Omnimbus Law kurang tepat diterapkan di Indonesia yang menganut sistem hukum kontinental. Sistem hukum ini biasa diterapkan di negara yang menganut anglosaxon atau hukum kebiasaan.

“Omnibus Law ini biasa di negara yang menganut anglosaxon atau hukum berdasarkan kebiasaan. Beda dengan Indoensia yang butuh perundang-undangan dan kodifikasi,” jelas Ari.

Senada dengan Akbar, Ari juga menjelaskan beberapa kejanggalan. Pertama, tidak adanya keterlibatan pekerja untuk andil dalam suara. RUU Cilaka belum dapat dikatakan demokratis karena hanya terbuka bagi pihak tertentu saja.

Sebelum rencana tersebut diserahkan pada DPR RI, pemerintah harusnya membuka ruang sosialisasi yang menyentuh seluruh elemen masyarakat. Substansi yang dibangun mestinya bukan simbiosis mutualisme antara negara dengan pengusaha. Melainkan negara dengan rakyatnya.

“RUU Cilaka ini masih belum bisa dikatakan demokratis. Karena harusnya memberi kesempatan bagi masyarakat untuk terlibat. Pemerintah tidak boleh otoriter,” tegas Ari.

Kedua, adanya degradasi perlindungan dan pendapatan pekerja. Hal ini terlihat dari sistem kerja outsourcing (alih daya). Sistem ini memperkerjakan karyawan dengan kontrak dalam batas waktu antara enam bulan sampai satu tahun.

Jika perusahaan ingin menekan biaya produksi, ia juga bisa melakukan Pemecatan Hubungan Kerja (PHK) sepihak, tanpa memberi pesangon. Ini bisa saja berlaku jika pekerja dikenai sistem kontrak. Belum lagi dicanangkannya upah sistem per-jam, di mana pendapatan akan semakin ditekan.

“Perlindungan pendapatan buruh menjadi lemah. Upaya perlindungan justru menurun, padahal itu tidak boleh. Akan ada degradasi pelindungan buruh,” terang Ari.

Ketiga, perusahaan asing yang masuk akan membawa pekerja asingnya sendiri. Sehingga daya serap pekerja lokal akan menjadi rendah dan sulit bersaing. Kendala lain, kurangnya edukasi dari pemerintah menyebabkan pekerja lokal gagap informasi dan teknologi.

Pada saat yang sama, kata Ari, kita harus mampu membaca politik hukum yang dibawa negara. Pembentuk UU tidak hanya meliputi unsur politis, melainkan juga filosofis dan sosiologis. Sehingga dibutuhkan upaya baik dari akademisi maupun serikat pekerja untuk melawan bersama-sama.

“Ada satu kebutuhan dan satu jawaban dari ini semua. Kalau buruh tidak bersatu, tidak akan kuat,” pungkas Ari.

Reporter: Sekar Jatiningrum

Redaktur: Sidratul Muntaha