Oleh: Ryan Mohamed*
Ada luka-luka / Tak terjangkau sesal / Ku menyelam membawanya / Sesak.
Nikki Sixx hanya bisa menikmati heroin kemudian pingsan di kamarnya setelah berhasil pulang dengan mazda imut bersama dua remaja perempuan, mendengar obituarinya dibacakan di radio sepanjang jalan, memaki seorang polisi, dan bikin Vince Neil sang vokalis sangar menangis dan kebingungan. Barangkali Sixx merasa tak ada kegiatan terbaik untuk merayakan kebangkitan diri dari kematian yang keenam, selain menyuntikan ampul adrenalin di dalam tubuh.
Sixx hanya perlu sabar dan membiarkan dirinya pingsan di ranjang sampai Kickstart My Heart beserta album dr. Feelgood (1989) terbesit dibenaknya. Dan menikmati capaian album tersebut dan dirinya yang panjang umur.
Sementara itu, saya hanya telentang di ranjang dan menghadap langit-langit kamar hampir tiga dekade setelahnya. Saya bukan pengguna heroin seperti Sixx. Tapi urat saraf saya tenang sekali kala mendengar lantunan lirik dr. Feelgod dari Motley Crue sembari menyibukan diri melihat-lihat timeline Instagram.
Di luar jendela, langit yang tadi terang mulai meredup. Di depan layar ponsel, pandangan semakin kabur, hanya melihat foto-foto membosankan yang haus perhatian berseliweran. Lalu postingan dari akun resmi salah satu grup musik mencuri perhatian saya: pariwara perilisan mini album terbaru mereka. Diikuti Suara Vince Neil yang sangau terdengar lebih keras dan cepat, seketika semuanya menjadi terang.
Postingan tersebut berasal dari akun grup band yang namanya sering keluar dari mulut aktivis lingkungan, Efek Rumah Kaca (ERK). Nama mereka sama sekali tidak asing di telinga saya dan mungkin sebagian besar pemuda lainya. Berkisar dari postingan tersebut, saya merasa senang sebab rilis mini album terbaru ERK ini adalah kabar yang menyegarkan. Ia menjadi markah bahwa band yang memliki karya-karya berkualitas dan bernada kritis ini masih hidup dan berumur panjang.
Mini album baru ini diberi nama Jalan Enam Tiga, resmi dirilis 28 Januari 2020 pada konser di M Bloc, Jakarta. Ia berisi empat lagu: Tiba-Tiba Batu, Normal yang Baru, Jalan Enam Tiga, dan terakhir Palung Mariana. Desain sampulnya kental akan nuansa vintage.
Lagu pertama sudah lebih dulu diperkenalkan ke publik pada 5 September 2019. Tanggal itu kelak akan saya rayakan sebagai hari rilisnya lagu berjudul Tiba-Tiba Batu. Meski agak berlebihan, ia lebih baik ketimbang merayakan kelahiran Ann Marie Riot, artis porno asal Amerika Serikat, yang berulang tahun di tanggal dan bulan yang sama.
Tiba-Tiba Batu adalah pembaptisan hidup-mati mini album Jalan Enam Tiga, dan memperkenalkan musik yang baru dari vokalis Cholil Mahmud dan kawan-kawan. Kesan riang mengiringi para pendengar Tiba-Tiba Batu. Aransemen gitar yang sederhana, namun terdengar sinis, dan sedikit bagian interlude yang tidak terlalu rumit, berpadu dengan ketukan drum, bass, dan keyboard techno sebagai pelengkap.
Berbekal endapan memori lagu pertama dan pelupaan atas Ann Marie, saya cepat-cepat ingin mendengar tiga lagu selanjutnya. Terlebih, karena Brice Goggyn turut ambil bagian. Kita tahu, Goggyn adalah aktor di balik musisi indie yang sukses di Amerika Serikat seperti Pavement, The Breeders, dan Joan AS Police Woman.
Normal yang Baru menjadi lagu kedua yang disuguhkan, masih dengan warna musik yang baru dari ERK. Lagu ini, sebagaimana ulasan Bernadetta Yucki yang diterbitkan di Cultura, memadukan chord-chord minor yang berpadu dengan mayor, memiliki pola aransemen musik yang lebih ortodoks dan variatif, sekaligus memberikan cahaya dalam musik ERK yang cenderung gelap. Ia berbeda dengan track sebelumnya yang catchy dan easy–listening.
Dilanjut track ketiga dan keempat, Jalan Enam Tiga kembali menyuguhkan track dengan aransemen rok yang menghentak dan beringas seperti album sebelumnya. Terakhir, ditutup dengan track bertajuk Palung Mariana. Lagu balada ini memiliki aransemen musik akustik lembut dan tenang, namun meninggalkan kesan sedikit pilu. Lirik puitisnya yang penuh metafora melengkapi kesan itu di kepala saya.
Berbicara lirik, bukan ERK jika tidak meyuguhkan lirik yang penuh makna dan sukar di mengerti.
Kepada tirto.id, Cholil menjelaskan makna lirik lagu Tiba-tiba Batu. Ia dilatarbelakangi rasa muak melihat media sosial dipenuhi orang keras kepala, berargumen tanpa didasari data, dan pengetahuan yang cukup. Akan tetapi, kritik itu bukan mereka tujukan kepada sebuah sikap keukeuh dan keras kepala secara umum. Sebab, menurut dia, ada juga orang-orang di luar sana yang punya sikap keras, tetapi justru punya dampak positif.
“Setahun-dua tahun belakangan banyak orang jadi punya satu sikap, tapi belum ada pengetahuan, pondasi landasan berargumennya kurang,” ucapnya.
Kemudian di Normal yang Baru, dengan lirik yang tajam ERK menghajar berita miring, kebohongan, atau hoax yang bertebaran di depan jempol kita, yang lambat laun berubah menjadi kebenaran, pegangan, atau menjadi “normal yang baru”.
Normal yang Baru adalah bukti bahwa membiarkan hoax atau ujaran kebencian di zaman kiwari adalah sesuatu yang normal. Sebab, kita tidak peduli dan teramat sibuk. Alih-alih ikut memberantas atau meluruskanya. Padahal, di sebuah negara demokrasi peredaran hoax di media sosial adalah petakan belaka, dan jadi bom waktu jika tidak di atasi.
Kemudian lirik lagu Jalan Enam Tiga, ERK mencoba mengajak kita untuk ramai-ramai menuju Jalan Enam Tiga: tempat yang memberikan kebebasan berekspresi dan kemerdekaan. Sebagaimana digambarkan di chorus, “Boleh berbeda / ekspresikan saja / tak ada bigotnya / tak ada demagognya”. Dus, menjadi tempat orang yang tak pusing dengan identitas dan tampil apa adanya.
Entah, “Eropa, Austria, Asia, Afrika, / Amerika Utara, Latin, dan Karibia.” Ia adalah penanda bahwa latar belakang yang beragam bisa menjadi satu.
Meski bervisi sama dengan Tiba-Tiba Batu, lirik lagu ini juga adalah ajakan berdemokrasi yang lebih dewasa, ajakan bersatu, menghargai perbedaan pendapat, dan merukyah kaum yang tidak saling menghormati satu sama lain.
Ketiga lagu dalam mini album Jalan Enam Tiga, Semuanya menggunakan kata yang ringan dan mudah dicerna. Hanya Palung Mariana barangkali yang dibumbui kalimat puitis dan penuh metafora, sedikit sukar dimengerti, dan tentu saja meninggalkan misteri yang menghantui sisa umur sebagian orang.
ERK selalu sengaja meninggalkan misteri kepada pendengarnya, akan tetapi kita bebas membedah misteri itu. Sebab, setiap karya selalu terbebas dari beban makna dan tafsir tunggal penciptanya.
Palung Mariana, bagi saya, adalah perenungan yang merangkum kekecewaan pada segala macam kerusakan dan lunturnya kemanusiaan di dunia dalam bungkus musik yang elegan. Tanpa sedikitpun berpura-pura, di dalam realitas yang teramat keras, hidup akan selalu indah.
Atau jika ada sedikit keindahan dan optimisme di dunia, biarkan ia mengkristal di sisa umur kita, bersama suara Cholil yang benada distopia. Sebelum akhirnya kita sesak dengan luka-luka, dan menemukan diri benar-benar tenggelam di Palung Mariana.
Tipis udara di angkasa / Di palung Mariana / Kosong hampa. Palung Mariuana-Efek Rumah Kaca
*Pengamat musik kiwari dan juru kunci Kopas Institut.
Sumber gambar: medcom.id