Home BERITA Omnibus Law Ancam Kebebasan Pers

Omnibus Law Ancam Kebebasan Pers

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Proses pembuatan Omnibus Law tidak transparan. Asosiasi pers tak dilibatkan, padahal merubah beberapa pasal tentang UU Pers. Akibatnya, perubahan itu mengancam kebebasan pers.

Lpmarena.com Omnibus Law RUU Cipta Kerja berpotensi membungkam suara pers. Beberapa pasal bertentangan dengan semangat kebebasan pers. Begitu yang dijelaskan Shinta Maharani dalam diskusi Omnibus Law dan Korupsi Legislasi yang diadakan Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) UGM, Rabu (26/02).

Pasal yang dimaksud Shinta ada pada Pasal 11 dan Pasal 18 Omnibus Law RUU Cipta Kerja. Kedua pasal tersebut mengatur perubahan dua pasal di Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers.

Sebelumnya, Pasal 11, UU No. 40 Tahun 1999 berbunyi: “Penanaman modal asing pada perusahaan pers dilakukan melalui pasa modal”. Setelah dirubah di Omnibus Law RUU Cipta Kerja, Pasa 11 itu menjadi: “Pemerintah pusat mengembangkan usaha pers melalui penanaman modal sesuai dengan ketentuan peraturan di bidang perundang-undangan di bidang penanaman modal”.

Sementara pada Pasal 18, kata Shinta, pemerintah memperberat sanksi perusahaan pers yang tak menghormati norma agama, kesusialaan, asas praduga tak bersalah, menolak melayani hak jawab dan hak koreksi. Dalam perubahan pasal tersebut pemerintah menaikan denda pelanggaran pers menjadi 2 miliar, yang sebelumnya hanya 500 juta.

Menurut Shinta, selaku ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakarta, Pasal 18 itu rawan bagi pers. Sebab, berpotensi jadi pasal karet, seperti ancaman hukuman pada pencemaran nama baik.

“Kenaikan sanksi dan denda administrasi menjadi empat kali lipat dari tahun lalu, menguak pertanyaan dari teman-teman AJI. Apa sebenarnya motif dari pemerintah?” ungkap Shinta.

Selain soal konten, Shinta juga mempersoalkan proses pembahasannya. Dia menganggap Omnibus Law RUU Cipta Kerja digarap secara tertutup dan tidak transfaransi. “Tidak ada satupun dari anggota pers yang terlibat, baik dari dewan pers, Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), AJI, dan pers mahasisa lainnya,” jelas Shinta.

“Artinya, pemerintah hari ini mengabaikan prinsip-prinsip demokrasi,” sambung Shinta yang juga sebagai jurnalis Tempo.

Bagi Shinta, tidak dilibatkannya pers dalam perubahan dua pasal tersebut petanda pemerintah saat ini tidak berpihak pada pers. Disamping itu, kata Shinta, masih banyanya kriminalisasi terhadap jurnalis yang tak ditanggapi serius oleh pemerintah dan kepolisian jadi bukti keacuhan pemerintah terhadap kebebasan pers.

“Di AJI kami sudah membuat kajian mengenai ini [Omnibus Law-red], seperti kembali ke masa Orde Baru, ada intervensi dari pemerintah berbentuk peraturan-peraturan,” jelas Shinta.

Bukan hanya intervensi, Omnibus Law pun mengancam keberadaan media alternatif. Sebab, jelas Shinta, RUU tersebut mewajibkan perusahaan pers untuk berbadan hukum. Kalau tidak, pers itu dianggap ilegal oleh pemerintah, dan dapat diberikan sanksi.

“Teman-teman AJI sudah mengeluarkan pernyataan sikap bahwa kami menolak RUU Omnibus Law dan patut kita lawan bersama,” tegas Shinta.

Kata Shinta, ada empat kecacatan dalam proses RUU Omnibus Law: tidak transparan, tidak mengandung nilai demokratis, ramah terhadap investasi, dan petaka bagi buruh.

Reporter: Kristinawati

Redaktur: Hedi

Sumber gambar: tirto.id/Andrey Gromico