RUU Cipta Kerja mereduksi fungsi Analisis Mengenai Lingkungan (Amdal). Padahal, amdal jadi pertahanan terakhir masyarakat dan lingkungan membendung gempuaran investor.
Lpmarena.com- Persoalan izin lingkungan merupakan satu dari peraturan yang dipangkas dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja. Hal pokok di dalamnya adalah perubahan fungsi analisis mengenai dampak lingkungan atau amdal.
Dalam rancangan tersebut amdal berfungsi sebatas pertimbangan. Padahal, masyarakat terdampak pembangunan usaha menggunakan amdal dalam menuntut hak-haknya. Sehingga ketika fungsi amdal direduksi, masyarakat semakin dirugikan.
“Posisi amdal ini sangat penting bagi lingkungan dan juga masyarakat.” kata Odent Muhammad, Front Nahdiyin untuk Kedaulatan Sumber Daya Alam. Hal tersebut disampaikan dalam diskusi bertajuk Omnibus Law dan Ancaman Kerusakan Lingkungan di lobi magister administrasi publik Universitas Gadjah Mada (25/02).
Paket kebijakan hukum tersebut mengabaikan keterlibatan masyarakat luas dalam pengawasan dokumen amdal. Dalam draf menyatakan bahwa tuntutan hanya boleh dilakukan oleh masyarakat yang terdampak langsung.
“Pasalnya amdal adalah senjata masyarakat yang dirugikan oleh perusahaan,” terang Odent
Namun dalam proses penyelenggaraan usaha, amdal menjadi penghalang. Pemerintah kemudian mengubah sekitar enam pasal terkait yang sebelumnya diatur dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH).
Totok Dwi Antoro mengkritisi perubahan pada pasal 1 ayat 35 PPLH. Kewajiban pelaku usaha mendapatkan izin lingkungan dihapus. Izin usaha tersebut kini dipermudah melalui surat kesanggupan pemeliharaan lingkungan. Menurut dosen Hukum dan Lingkungan UGM itu, justru PPLH yang seharusnya menjadi dasar perhatian mengenai aspek lingkungan.
Posisi pemerintahan pusat sebagai pengendali penuh RUU ini juga tak luput dari perhatian. Sentralisasi ini hanya mengulang kebijakan masa orde baru. “Karena masyarakat akan lebih susah mengajukan gugatan jika terdapat pelanggaran.” imbuhnya.
Totok meragukan peran penuh pemerintah, mengingat beberapa peraturan yang diusulkan justru menjadi polemik publik, bahkan menimbilkan gelombang demonstrasi di berbagai kota.
Dengan begitu, Totok yakin bahwa omnibus law tersebut lebih menguntungkan pelaku bisnis. Sedang lingkungan hidup terabaikan.
Totok menyimpulkan, “RUU Cipta Kerja ini adalah jalan pintas bagi hambatan investasi.”
Pemangkasan 79 Undang-Undang dengan 1224 pasal ini, kata Totok, sebagai langkah jual murah dari pemerintah. Melihat arah kebijakan hukumnya, omnibus law cipta kerja ini menurutnya dalam kerangka lingkungan investasi.
Lebih-lebih mekanisme pembuatan amdal menurutnya rawan untuk disalahgunakan. Undang-undang PPLH tersebut seringkali dilanggar para pemilik modal. Hal ini disampaikan oleh pembicara lain, Daus yang menilai RUU Cipta Kerja menjadi legitimasi dari perusakan lingkungan.
Cacat formil ini, sebutnya, ditandai dengan tidak adanya partisipasi publik serta pengesahan yang tergesa-gesa. “Bisa diasumsikan RUU ini akan disahkan secara brutal tanpa memandang hal lain.” tandas Daus.
Kondisi diatas diperparah dengan tidak jelasnya kriteria perusakan lingkungan dalam RUU Cipta Kerja. Beberapa kriteria yang sebelumnya diatur pasal 23 UU PPLH berubah menjadi satu kriteria. Tidak disebutkan secara gamblang bagaimana kiteria perusakan lingkungan dalam RUU cipta kerja ini. Kriteria itu akan diatur dalam peraturan terpisah oleh pemerintah.
Reporter: Muhammad Fatan Asshidqi (Magang)
Redaktur: Dina Tri Wijayanti