Home SASTRACERPEN Hujan Yang Turun di Sebuah Kisah

Hujan Yang Turun di Sebuah Kisah

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Farid Merah*

Hujan baru saja turun di penghujung akhir tahun ini. Minggu pagi jadi lembab, beraroma daun, dan tanah basah. Seperti biasa, Herman pamit pada neneknya. Ia akan pergi bermain. Teman-teman Herman sudah banyak yang menunggu di depan rumahnya. Ia mengajak teman-temannya untuk menjemput teman barunya, tetangga yang baru saja pindah dari luar kota.

Pukul delapan pagi, mereka bersama pergi bermain, mandi hujan, dan berjalan menyusuri kampung di sekitar komplek tempat mereka tinggal. Kadang mereka membawa jaring, benang untuk memancing, dan kail pancing. Herman, Merah, dan lima temannya yang lain, kadang mencari ikan dan belut, di lubang-lubang kecil, dan di sawah dekat komplek tempat mereka tinggal. Jika tak hujan, biasanya mereka bersepada bersama menyusuri jalanan di sekitar persawahan itu.

Sekarang, sawah telah jadi ruko dan perumahan. Apa yang mereka nikmati dulu, kini tak ada lagi. Jangankan untuk mencari ikan dan belut, tempat mencarinya saja tak ada, dan kalaulah ada itu jauh dari rumah mereka.

Hujan deras, sedikit demi sedikit, berubah menjadi rintik kecil. Menjelang siang, hujan reda. Mereka semua pulang ke rumah masing-masing. Herman dan Merah berjalan bersama pulang menuju kompleknya. Sepanjang perjalanan, Herman bercerita, lusa adalah hari ulang tahunnya, dan ia tak sabar melihat hadiah yang akan diberikan oleh ayahnya untuknya. Mereka berdua adalah tetangga sekomplek. Ayah Herman adalah seorang dosen di sebuah perguruan tinggi negeri di kota ini, dan ibunya adalah guru di salah satu sekolah SMP swasta. Herman juga bercerita kepada Merah jika ia tinggal di rumah bersama kakek, ayah, ibu, dan kakak perempuannya yang cerewet.

“Besok lusa adalah hari ulang tahunku, Rah. Besok kamu main ke rumahku, ya?

“Serius?”

“Ya, serius… ya sudah, besok aku jemput jam 3 sore di rumahmu, aku akan minta izin ke bundaku.”

“Kalau begitu, aku juga minta izin ibuku.”

“Tapi kamu harus tahan nanti jika di rumahku ada perempuan cerewet, yang pasti akan ngajak ngobrol kamu.”

“Siapa dia?

“Dia kakakku, dia cerewet dan suka mencubit pipiku.”

“Secerewet apa kakakmu?” tanya Merah sambil tertawa.

“Kamu pernah melihat keledai betina yang merintih ketika sedang sakit perut belum?”

“Belum pernah, di mana kamu melihatnya?” dengan terbahak, Herman balik bertanya.

“Kapan-kapan kamu harus melihatnya di National Geo Channel, aku dan ayah suka melihatnya di TV.”

Merah adalah teman baru Herman, gadis kecil yang baru tiga bulan pindah ke kota ini. Begitu juga dengan Merah, ia juga bercerita tentang keluarganya, ia tinggal di rumah bersama dengan ayah ibunya, ia punya kakak laki-laki yang sedang kuliah di luar kota. Sebulan sekali, kakaknya selalu mengiriminya kartu pos bergambar dan buku-buku dongeng. Ayah Merah adalah seorang pengacara yang sering membantu orang-orang ketika mereka terjerat kasus hukum, tapi tidak punya uang untuk menyewa pengacara; ibu Merah menjaga toko sembako milik keluarga di rumah.

“Oh, iya, Rah, boleh kapan-kapan aku main ke rumahmu? Aku ingin melihat koleksi buku dongengmu?”

“Tentu, dengan senang hati, bahkan kau boleh membacanya di ruang keluargaku kapan pun, ketika aku sedang ada di rumah, semua buku itu diberi kakakku,” jawab Merah.

“Terima kasih, temanku,” saut Herman sambil tersenyum.

“Karena esok lusa adalah hari ulang tahunmu, aku akan memberi salah satu buku dongengku buat kamu, itu hadiah dariku untukmu besok.”

“Wah… serius? Terima kasih, aku baru kali ini dapat buku dongeng dan mungkin juga akan baru mulai membacanya, dan aku akan membacanya.”

Senin pagi yang manis, Herman menjemput Merah di rumahnya. Herman ingin berangkat sekolah bersama Merah dengan berjalan kaki. Pukul enam pagi kedua anak manis itu berangkat ke sekolah. Mereka berdua sekelas, kelas 4 B.

“Pagi, Herman.”

“Pagi Merah, kau semangat dan kelihatan bahagia sekali pagi ini.”

“Tentu, ayo berangkat.”

“ Ayo, (sambil berjalan) ada kabar baik apa?” Herman bertanya.

“Kakakku kuliahnya sudah libur, besok dia mau pulang ke rumah.”

“Wah… benarkah?”

“Ya… kemarin ketika aku makan malam, kakakku menelepon ibu, lalu dia bilang kalau besok malam dia akan sampai di rumah, begitu katanya padaku.”

“Pantas, kamu bahagia pagi ini.”

“Roti isi, ambil satu buatmu,” Merah menyodorkan roti.

“Waw, terima kasih Merah, bundamu baik sekali,” jawab Herman.

“Enak?”

“Enak,” jawab Herman mengunyah roti.

“Minum…” Merah menawarkan.

“Iya boleh.”

“Ketika kakakku di rumah aku pasti tidur dengannya, soalnya aku senang mendengar dia bercerita.”

“Apa kakakmu biasa membacakan buku dongeng pemberiannya itu?”

“Ya, beberapa kali.”

“Buku apa yang paling kamu ingat?”

“Buku pangeran bahagia karya Oscar Wilde; kisah dua anak yang mecari bintang karya Charles Dikcken; juga kisah kepahlawanan Tan Malaka, yang kata kakakku, seorang pahlawan yang anti-kediktatoran.”

“Kediktatoran itu apa, Rah?” tanya Herman.

“Aku juga belum terlalu tahu sih, semacam kejahatan mungkin?”

“Hmm… mungkin.”

“Sepertinya, sih, memang benar itu kejahatan.”

“Apa kakakmu juga seorang yang anti-kediktatoran?”

“Sepertinya sih begitu, oh, iya, selain itu, kakakku juga sering mendengarkan padaku musik-musik keren. Dia juga menunjukkan lukisan karya pelukis-pelukis keren macam Picasso, Affandi, Da Vinci, dan lain-lain. Dan yang membuatku senang, dia juga sering membacakan puisi-puisi, misalnya puisi Chairil Anwar , yang judulnya Sia – Sia:

(Merah berjalan dan membacakan puisi sambil bergerak mencontohkan kakaknya)

Penghabisan kali itu kau datang
membawa karangan kembang

Mawar merah dan melati putih:

darah dan suci


Kau tebarkan depanku
serta pandang yang memastikan: Untukmu.

Sudah itu kita sama termangu
Saling bertanya: Apakah ini?
Cinta? Keduanya tak mengerti.

Sehari itu kita bersama. Tak hampir-menghampiri.

Ah! Hatiku yang tak mau memberi
Mampus kau dikoyak-koyak sepi.

Sambil berjalan mereka berdua menikmati bekal yang dibawakan oleh ibu Merah. Sesampainya di sekolah, mereka berdua langsung menuju kelas, lima menit lagi pelajaran akan dimulai. Bell tanda dimulainya pelajaran sudah berbunyi. Herman dan Merah bersiap memulai pelajaran. Disusul oleh Bu Guru Bahasa indonesia yang baru saja masuk kelas.

Bu Guru meminta anak-anak mengeluarkan buku dan alat tulis. Tiba-tiba Herman menoleh ke arah Merah dengan bingung, seperti mau bertanya sesuatu, tapi masih berpikir apa yang mau ditanyakan.

Herman berbisik, “Rah, kamu mau memberi tahuku apa artinya anti-kediktatoran?”

“Tentu, jika nanti kakakku menceritakannya, aku pasti sudah tahu, aku juga akan menceritakannya padamu.”

Pelajaran di mulai, Bu Guru membagikan foto copy cerita Malin Kundang di kelas.

“Anak-anak, itu adalah cerita malin kundang, sekarang tugas pertama kalian adalah membaca cerita, setelah membaca, kalian harus memberi tanggapan masing-masing, di buku tulis, lalu kalian bacakan untuk ibu, ibu beri waktu 40 menit.”

30 menit berlalu, Herman sudah selesai membaca, dan mulai menulis tanggapannya tentang kisah Malin Kundang di buku catatannya. Begitu juga dengan Merah, ia juga mulai menulis tanggapannya.

“Sekarang, untuk kalian yang sudah selesai menulis tanggapan, ibu minta kalian bacakan tanggapan kalian untuk ibu, dimulai dari Herman, silahkan berdiri, Nak.”

Herman berdiri dan mulai memabacakannya.

“Sejak kecil, Malin Kundang adalah anak yang manja, dia juga anak beruntung karena ia mempunyai ibu yang sangat mencintainya. Bahkan, ibunya juga sangat memanjakannya. Ia selalu digendong oleh ibunya jika pergi. Ia selalu ingin ikut ibunya jika ibunya pergi. Ia juga sombong dan suka berbohong. Puncaknya, ia mendurhakai ibunya dengan tidak mengakuinya, di depan calon istrinya, hanya karena ia tidak mau dianggap orang miskin, di hadapan istrinya yang anak seorang saudagar kaya raya. Akhirnya, ibunya pun murka dan mengutuknya menjadi batu. Ibu Malin Kundang juga jahat, kenapa dia mengutuk anaknya sendiri menjadi batu?”

“Waw… terima kasih, atas tanggapannya Herman, tanggapan yang bagus sekali. Mari tepuk tangan buat Herman. Jadi, yang terakhir Herman tadi juga mengatakan kalau ibu malin kundang juga jahat karena mengutuk anaknya sendiri menjadi batu,” sambut Bu Guru.

“Ya, Bu … beda sekali dengan ibuku, aku juga nakal, kadang jahat, tapi ibuku sabar. Ayah-ibuku tidak pernah memukul bahkan membentakku. Dia hanya memberi tahuku terus dengan perkataan dan cerita – ceritanya. Tapi beda dengan kakekku, kakekku jahat, suka membentak, dan memukul dengan rotan kalau aku sulit bangun subuh dan tidak sholat,” jawab Herman.

Hari sudah siang, seluruh mata pelajaran di sekolah pada hari itu diselesaikan dengan baik oleh mereka berdua. Keduanya pulang dengan berjalan kaki. kisah malin kundang yang ada di dalam pelajaran bahasa Indonesia tadi sangat seru menurut mereka. dan dijalan mereka berdua juga membicarakannya lagi. Sambil berjalan.

“Malin Kundang itu jahat sekali, semoga aku dijauhkan dari pengalaman yang seperti itu,” Merah berharap.

“Ya, aku juga, Malin Kundang dan ibunya sama-sama berubah menjadi orang yang menakutkan,” sahut Herman.

“betul sekali.” jawab Merah.

“Suatu saat nanti aku tidak mau punya istri, karena itu bisa merubah aku dan ibuku jadi orang yang menakutkan.” kata Herman.

“Kalau calon istrinya baik seperti ibumu? Apa kamu masih tidak mau beristri?” tanya Merah.

“Aku tidak tahu, tapi selama ini orang yang paling baik menurutku hanya ibu, ayah, kakak, nenek, dan kamu.”

“Oh, ya … bagaimana dengan teman-teman kita yang lain?” Merah terkejut dan bertanya.

“Tentu mereka juga sangat baik, tapi tidak sebaik ibuku, kamu, kakakku, nenek, dan ayahku. Aku tidak mau berubah menjadi menakutkan untuk kalian semua,” jawab Herman.

Pelajaran pada hari itu menyisakan ketakutan, dan rasa keingintahuan yang sangat mendalam bagi mereka berdua. Mereka berdua sudah sampai di komplek, dan mulai berpisah, masing-masing berjalan menuju rumahnya. Sesampainya di rumah Herman masuk ke kamarnya, mengganti pakaian, makan dan tidur. Di saat sore 18:30 ketika ia pulang dari mengaji,  ia menemui ibu dan ayahnya di ruang keluarga, ia menghampiri ayah ibunya yang sedang menonton berita di televisi ;

BREAKING NEWS HARI INI. Ratusan mahasiswa bergerak menuju Gedung DPR di kawasan Senayan, Jakarta Pusat, Kamis 20 September 2019. Mereka berkumpul untuk menyuarakan penolakan atas pengesahan revisi UU KPK dan rencana pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau RKUHP.Menurut pantauan kami, massa aksi demonstrasi berasal dari sejumlah perguruan tinggi di jakarta,dan beberapa mahasiswa dari perguruan tinggi di daerah dearah lain, perguruan tinggi jakarta seperti Universitas Indonesia, Keluarga Mahasiswa Institut Teknologi Bandung, Universitas Paramadina, Universitas Trisakti, Universitas Pembangunan Nasional Veteran, Universitas Indraprasta PGRI (Unindra), serta berbagai perguruan tinggi lain, UGM yogyarta, UIN Sunan Kali Jaga Yogyakarta, UNESA Surabaya, Universitas Brawiajya malang dan masih banyak lagi hingga pukul pukul 18;00 mahasiswa enggan membubarkan diri dan semakin bertambah masanya, sehingga polisi mengambil keputusan tegas dengan menyemprot masa dengan water canon, dan tembakan gas air mata, untuk membubarkan masa mahasiswa secara paksa, hal ini mengakibatkan bentrokan antara mahasiswa dan aparat keamanan, masa melempari apara dengan botol air mineral, beberapa mahasiswa yang dianggap sebagai provokator ditangkap, beberapa dilarikan ke rumah sakit, juga tadi pukul 5 sore bentrokan pertama juga terjadi, akibatnya satu orang mahasiswa UHI Yogyakarta beranama SANDI tewas ditempat akibat luka tembakan di kepalanya, jenazah tadi dilarikan ke RSUD jakarta barat, hingga berita ini muncul kami menelusuri detail kejadian tersebut, mengenai salah satu anggota aparat yang menembakkan peluru tajam di kerumunan masa yang menewaskan salah seorang mahasiswa.

“Yah aku mau tanya Kediktatoran itu apa? Herman bertanya kepada ayahnya.”

“Kenapa sayang, kamu tahu dari mana istilah itu?” tanya ayahnya.

“Aku mengetahuinya dari Arah yah, dia sering diceritakan sejarah bapak Republik yang namanya Tan Malaka, kakaknya yang cerita.”

“Pintar sekali arah, siapa menceritakan itu kepada arah?”

“Arah tahu dari kakaknya, kakaknya bercerita bahwa Tan Malaka itu memang sosok yang membenci ketidakadilan dan peduli terhadap penderitaan rakyat dan para buruh. Itulah yang membuat Tan Malaka aktif dalam organisasi dengan menentang segala hal yang menyusahkan rakyat dan para buruh, tujuan utamanya adalah Merdeka 100 % dari segala macam campur tangan negara asing di negara kita, apa ketidakadilan itu sama dengan kediktatoran?”

“Kediktatoran itu kekuasaan suatu negara yang hanya dikuasai seseorang atau sgelintir orang saja, mereka mengelola dan mengatur negara semau – mau mereka, tanpa menghiraukan pendapat yang lain atau rakyatnya, karena kebebasan berpendapat dilarang, orang – orang tidak boleh menyalahkan pemerintah atau presiden, walaupun presiden dan pemerintahnya tidak adil dan salah, orang – orang tidak boleh menyalahkannya, karena jika ada yang menyalahkan, mereka yang menyalahkan bisa ditangkap tentara, dan tidak bisa kembali lagi ke rumahnya.”

“Lalu mereka yang ditangkap ada di mana?” tanya Herman.

“Ayah pun tidak tahu, yang jelas mereka ditangkap dan ditahan disuatu tempat, kadang ada yang dikembalikan, dan banyak juga yang tidak dikembalikan ke rumahnya.”

“Apa ayah dan ibu juga seorang yang Anti-kediktatoran?”

“Tentu saja, semua orang yang menginginkan kesetaraan, kesejahteraan, kebebasan, dan kedamaian, pasti anti-kediktatoran.”

“Apa ayah dan ibu juga akan ditangkap?”

“Tentu tidak.”

“kenapa bisa begitu yah?”

“Karena anak ibu dan ayah yang bernama Herman Suryadinata, adalah seorang anak yang membawa keberuntungan.”

“Ah, ayah.” (sambil tersenyum malu)

“Sebentar … sebentar,” sela ayahnya.

“Apa kalian mendengar suara seseorang menangis?”

Mereka semua seketika diam, dan mencari sumber suara tangisan tersebut.

“Iya, sepertinya dari luar suaranya, dari arah rumah Ibu Dewi,” sahut Ibu.

Kemudian mereka mendengar suara orang – orang ribut dan bertanya dari rumah ibu dewi. Herman, ibu, kakak dan ayahnya pun akhirnya keluar mencari sumber suara tangisan, ayah herman melihat ke toko ibu Arah, ada banyak orang berkerumun di sana, seperti beberapa orang mengenakan almamater, dan sumber suara tangisan itu juga dari sana. Mereka bersama menghampiri rumah ibu dewi, dengan was – was. Mereka mencari tahu apa yang terjadi. Ayah Herman bertanya kepada pak RT apa yang terjadi, karena tidak memungkinkan untuk bertanya kepada ibu dewi dan keluarganya.

“Ada apa pak RT, ada apa pak?” tanya ayah Herman.

“Anu, Pak Surya … itu anak bu dewi yang pertama.. itu.” (Pak Rt menjawab dengan terbata-bata) meninggal dunia ketika demo tadi sore, ia tewas Tertembak oleh polisi di bagian kepalanya, ketika bentrokan terjadi.”

“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun, masya’Allah,” ayah Herman sangat terpukul. Ia menghampiri Herman dan memeluk Herman erat.

“Ayah kenapa, Yah? Apa yang terjadi?” Herman bertanya mendesak ingin tahu.

“Kakak Arah kak sandi, dia meninggal dunia ketika ikut demo sore tadi,” jawab ayahnya.

Herman pun mencari Arah, ia masuk ke dalam rumah Arah, sambil memanggil-manggil namanya.

“Arah … Mawar Merah kamu di mana? Arah?”

Ia melihat Arah bersandar disudut tembok diantara kulkas dan rak laci hiasan di ruang tamu.

Ia menghampiri Arah, dan memeluknya. Sambil berkata.

“Arah kau mau kubacakan cerita tentang seorang Bapak Republik yang anti-kediktatoran? Atau kuberitahu tentang makna Anti-kediktatoran yang dimaksud kakakmu itu,” tanya Merah.

“Tidak usah Herman, sekarang aku sudah tahu dan mengerti secara langsung apa itu kediktatoran, kakakku, ia tidak hanya menceritakan kisah orang lain padaku. Tapi juga menuliskan langsung ceritanya untukku, agar aku membacanya setiap saat, ku rasa itulah yang dia inginkan.”

Boleh aku memelukmu? Tanya herman. Arah pun memeluk Herman, mereka berdua saling berpelukan, dan satu pemahaman.

***

*M. FARID (Faridmerah), Mahasiswa Studi Agama – agama di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Lahir di Surabaya 19 Desember 1995, saat sedang Aktif di Teater Eska dan Perpustakaan jalanan Surabaya Utara. Penikmat karya sastra Amerika Latin. (IG ; faridmerah08) (WA ; 089685864911).

Sumber gambar: lapuertaentornada.wordpress.com