Home BERITA RUU Cipta Kerja Lemahkan Hak Kompensasi Bagi Buruh

RUU Cipta Kerja Lemahkan Hak Kompensasi Bagi Buruh

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com– Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja telah diserahkan kepada DPR RI pada 12 Desember kemarin. Salah satu draf Omnibus Law tersebut menuai kontroversi di masyarakat, khususnya kaum buruh dan aktivis ketenagakerjaan.

Omnibus Law yang merupakan metode penyederhanaan undang-undang ini, menjadi masalah baru bagi hak kompensasi buruh. Hal itu disampaikan Ari Hernawan, pakar ketenagakerjaan Universitas Gadjah Mada dalam diskusi di Gedung DPRD Yogyakarta. Diskusi Ketenagakerjaan itu diselenggarakan Dewan Pimpinan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (DPD KSPSI) bersama serikat pekerja lainnya pada Kamis (27/02).

Meski akan menciptakan lapangan pekerjaan yang mensejahterakan buruh, investor jauh lebih diuntungkan. Kedatangan investor menurut Ari semakin merugikan posisi buruh. “Posisi buruh itu lemah di hadapan negara, negara itu lemah di hadapan investor.” ungkap Ari.

Pelemahan buruh dapat ditilik dari persoalan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Dalam RUU Cipta Kerja tersebut penetapannya dihilangkan. Tidak ada pencegahan PHK seperti yang sebelumnya diatur UU Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 151. Bunyi ayat satu pun diganti bahwa hanya perlu kesepakatan antara pengusaha dengan buruh.

“Penetapannya juga dihilangkan. Padahal, kalau dalam UU Ketenagakerjaan proses PHK nya itu ada penetapan. Sebelum ada penetapan tidak boleh ada PHK.” kritik Ari.

Pada pasal 156 ayat 1 dalam UU Ketenagakerjaan, perusahaan yang melakukan PHK wajib memberikan pesangon, uang tunggakan masa kerja dan uang penggantian hak kerja. Namun, uang penggantian hak itu dihapus dan uang tunggakan masa kerja dikurangi.

“Celakanya uang tunggakan masa kerja dikurangi. Dulunya maksimal sepuluh bulan upah, kini hanya delapan bulan upah.” keluhnya.

Tidak hanya itu, persoalan Upah Minimum (UMP) juga menjadi sorotan dalam draf ini. Upah minimum kabupaten dihilangkan, menyisakan upah minimum provinsi saja. Hal ini sebelumnya telah diatur dalam pasal 88 UU Nomor 15/2003. Bahwa kebijakan upah minimum dibagi menjadi upah regional daerah dan sektoral. Ketentuannya upah minimum sektoral harus lebih tinggi dari upah minimum, baik kota kabupaten maupun provinsi.

Hal senada juga diutarakan Kirnadi, Sekjend Aliansi Buruh Yogyakarta. Kirnadi menilai RUU Cipta Kerja yang dibuat tanpa melibatkan buruh ini menjadi petaka bagi para pekerja. Menurutnya RUU Cipta Kerja ini lebih mengarah pada tujuan investasi.

“Kami tidak pernah diajak diskusi, dimintai pendapat dan saran terkait dengan  ketenagakerjaan. Tiba-tiba muncul sebuah Rancangan Undang-Undang Cilaka.” terang Kirnadi.

Omnibus Law yang menurut Ari lebih tepat disebut RUU Investasi itu pun tak melibatkan buruh dalam perumusannya. Ari menyayangkan pelemahan ini. Meskipun baru di tahap inisiasi, pemerintah wajib menjaring buruh. Ini yang kemudian olehnya disebut degradasi perlindungan dan pendapatan pekerja.

Reporter: Astri Novita

Redaktur: Dina Tri Wijayanti