Oleh: Reyhan Majid*
Pah Tuan, Neno Anan, Tanaespah.
Waktu bergerak begitu cepat, menggiling apa dan siapa yang ada dalam lintasan, tahun baru, bulan baru dan hari baru. Siapapun yang tak bijak menemukan makna hidupan, ia akan kelelahan, hilang lalu dilupakan peradaban.
Manusia lahir, hidup, tumbuh dan mencari makna diri dan dunia. Namun sedikit yang menyadari, manusia hidup untuk mencintai dan melindungi sesamanya.
Saya adalah salah satu dari sedikit itu. Saya lahir dan tumbuh di wilayah perkotaan, tak begitu padat dan jahat awalnya, namun kini banyak orang mencaci sesama, waktu, dan takdir yang menurutnya berwarna hitam pekat. Disini, begitu banyak orang sinting: pemarah, saling sikut dan baku hantam, barangkali realitas membuatnya begitu rupa.
Teman saya, yang sehari-hari bekerja di kantor pernah bercerita, ia pernah seharian penuh dapat caci-maki, karena terlambat datang, Bos tak suka itu, karena menurutnya itu perbuatan indisipliner. Tak ada yang peduli hal lain selain pekerjaan. Misalnya, ia juga harus menyiapkan obat dan makanan untuk ibunya yang sakit, kemudian mengantar kedua adiknya berangkat sekolah.
Dunia bergerak sangat matematis, terlambat mempengaruhi kinerja, dan hal itu berhubungan dengan kestabilan perusahaan. Disini tak ada yang lebih penting dari perusahaan, kau tak tertib, gajimu cuil.
“Dunia sudah sangat gila!” gumamku. Manusia dipaksa kerja dalam bayang-bayang, segala macam ancaman, kapanpun bisa memutus segala harapan. Saya mungkin benar-benar sudah gila, tapi tak apa. Saya hanya ingin mencari makna menjadi manusia untuk manusia lain.
Pertengahan tahun kemarin, saya melakukan sebuah perjalanan jauh, 2.334 km dari tempat tinggalku, Jogja. Tentu saja saya tak punya bayangan apa-apa tentang Indonesia bagian timur. Negara membentuk semua orang benar-benar menjadi Jawa, setidaknya itu yang selama ini kurasakan. Hal itu diperkuat obrolan miring dari orang-orang sebelum keberangkatan. Banyak rupa bentuknya, “Di sana orangnya primitif” ada yang menasehati, “Kau tak akan betah di sana” dan berbagai bentuk pelabelan lainya.
Saya pergi bersama rombongan, untuk kegiatan pengabdian kampus, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY). Menurut jadwal, kita akan menghabiskan waktu dua bulan di sana.
Tujuan perjalanan kita adalah desa Tliu, desa yang berada di kecamatan Amanuban Timur, Kabupaten Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur. Kita hanya tau tempat itu berjarak tiga jam dari pintu perbatasan Indonesia-Timor Leste, Motaain. Setidaknya, info itu yang gawai berikan.
Untuk menuju kesana, kita memerlukan beberapa kali translit, dimulai dengan perjalanan laut selama lima hari, membelah lautan Sulawesi, berjumpa pulau-pulau kecil di laut biru Nusa Tenggara Timur. Sempat juga disapa gerombolan lumba-lumba yang melompat kegirangan, di bawah sinar matahari. “Mungkin ikan juga butuh berjemur” pikirku.
Setelah lima hari di lautan, kita berlabuh di sebuah pelabuhan Pulau Timor. Dari sana, kita melanjutkan perjalanan lewat jalur darat, masih dengan mata angin yang sama, Timur. Sepanjang perjalanan, kita disuguhkan dengan pemandangan yang keterlaluan indahnya, sangat asri. Melalui jalan naik turun.
Kita tiba di desa Tliu, jalannya kapur halus, tak pernah tersentuh aspal sejak zaman kolonial, rumah-rumah dibangun dengan sangat sederhana, berdinding bambu dan atap alang-alang.
Saya bernaung dari rumah kerumah lainnya, berusaha menumbuhkan perasaan saling kenal dan akrab, agar mampu saling mencinta dikemudian harinya. Orang-orang asli sini sungguh sederhana, tak berlebihan dan serakah. Setidaknya, saya melihat harapan yang memancar cerah dari bulatan bola matanya.
Disini, kita disuguhkan sebuah orkestra keteraturan hidup yang tumbuh dari sebuah kebudayaan maha luhur. Orang dewasa pergi berkebun dan berternak. Sewaktu panen mereka menyimpannya untuk musim panen berikutnya. Ketika datang musim panen baru dan ada sisa, mereka akan membawa ke pasar untuk dijual. Mereka tak mendapat banyak keuntungan, karena bukan keuntungan orientasinya melainkan kemandirian hidup.
Keuntungan merupakan sesuatu yang diperebutkan orang perkotaan. Demi kepastian dan keberlangsungan hidup, banyak diantara mereka menjadi gila, bukan lagi kebutuhan dan kecukupan yang menjadi acuan, melainkan obsesi dan gengsi, mereka mempertaruhkan di ruang-ruang pertemuan.
Di Tliu, setiap orang saling memberi, bukan untuk timbal balik atau sekedar keperluan sosial. Di sini memberi adalah sebuah kebudayaan, mereka mengajarkan keselarasan hidup bersama dengan sebuah keyakinan semua milik bersama, punya kita semua. Kita tau, di kota lewat virus modernisasi, mengajarkan kepemilikan pribadi adalah keindahan yang maha indah, membawa manusia pada tingkatan sosial yang lebih tinggi.
Jika sore telah tiba, orang-orang dewasa kembali ke rumah masing-masing. terdapat beberapa rumah yang menjadi pusat perkumpulan, di rumah itu mereka meramu dan mengunyah sirih pinang, sebagai tanda keluhuran dan kerendahan hati. Beberapa yang lain mulai memutar sopi, minuman khas daerah timur, semua duduk bersila, sama rata dan penuh cinta.
Di Tliu, kehidupan berputar dan bergerak seperlu dan secukupnya, karena mereka sadar, serakah akan membuat saudara dan anak cucu mereka tak lagi punya ruang. Selama dua bulan di Tliu, saya sangat bahagia, kehidupan berjalan begitu cepat dan penuh senyum. Setidaknya, sejauh ini saya tak menemukan tanda-tanda kemunduran, keterbelakangan atau keprimitifan yang banyak dibicarakan orang-orang tentang mereka.
Saya sering sekali merindukan Tliu. Ketika kota menjadi sangat pemarah, dihuni orang-orang kelelahan, murung dan tak ada senyum. Atas dasar kerinduan yang mencuat setiap waktu, saya sering berfikir, misalkan Jawa meledak dan terbakar, dan saya selamat, Tliu adalah tempat tujuanku. Orang-orang Tliu harus tau, orang-orang kota sangat terbelakang.
*Mahasiswa Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) sebagai Lurah Solidaritas untuk Orang Pinggiran dan Perjuangan Kampus (Sopink)
Sumber gambar: terdambakan.blogspot.com