Home BERITA Menolak Perampasan Tanah di Gejayan

Menolak Perampasan Tanah di Gejayan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com Pukul 13.40, massa aksi dari UIN tiba di persimpangan Gejayan. Gejayan memanggil lagi. “Rapat Rakyat Parlemen Jalanan” tersebut diwarnai teriakan lantang orasi, yel-yel hingga iringan musik dari para seniman yang hadir. Massa aksi yang menamai diri mereka Aliansi Rakyat Bergerak (ARB) tegas ingin menggagalkan rancangan undang-undang lmnibus law.

Tiba di lokasi, suasana riuh. Pekerja media bertebaran. Salah satu media televisi swasta terlihat sedang mempersiapkan sebuah siaran langsung. Panggung aksi digelar dan ratusan massa mengerumuni pusat suara di pertigaan Colombo. Akses jalan pun mulai ditutup. Di setiap sudut polisi berjaga. Terlihat seorang polisi wanita memeriksa poster yang dibawa salah seorang massa, membaca dan mengembalikannya. Tidak ada hal.

Sorak masa terdengar kembali. “Tolak, tolak omnibus law. Tolak omnibus law sekarang juga!”

Kedatangan massa aksi yang melakukan long mars dari Taman Pancasila UNY dan bundaran UGM disambut dengan nyanyian selamat datang. Sesaat kemudian tampil kelompok musik Spoer dan Fafa Agoni menyuarakan tuntutan melalui lagu.

“Aku rasakan panas matahari, merah marah pada manusia yang berpesta sambil menusuk, menghisap, membakar mencemari, mengeruk, mengunyah, menggilas, memangkas, menebas… isi dunia.”

Begitu potongan syair Aku Melihat Matahari yang dibawa musisi Fafa Agoni di tengah kerumunan masa aksi. Bersamaan dengan itu, spanduk besar dengan beberapa coretan dipasang. Satu coretan melukiskan gambar tanah yang diduduki monster berwarna merah. Dalam gambar ditulis, “Tanah menghidupi.”

Perihal tanah memang merupakan satu yang disoroti oleh aksi penolakan ini. omnibus law, khususnya Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja memuat 15 bab dan 174 pasal yang menyasar sebelas klaster. Dalam hal klaster pengadaan lahan, hak rakyat untuk mengelola tanah sebagai ruang hidup terancam jaminanannya. Tanah rakyat yang selama ini diolah menjadi lahan pertanian, peternakan, hingga pemukiman tak bisa dipertahankan ketika kepentingan investor masuk.

Jarum jam hampir menunjuk angka tiga. Gema orasi sempat luruh kala moderator acara memimpin massa untuk sejenak hening cipta. Setelahnya, masa dihimbau untuk mempersiapkan payung dan jas hujan. Kabarnya aksi akan terus digelar hingga pukul 17.00.

Langit yang sejak pagi mendung berganti hujan. “Jangan pernah bergeser satu senti saja dari tempat duduk kawan-kawan! Karena para investor tidak pernah bergeser satu senti saja dari kepentingannya!” teriak salah satu orator ketika hujan mulai deras. Beberapa masa aksi memilih menepi di pinggiran toko, tiang baliho dan belakang panggung. Beberapa lain sepakat tak beranjak meski badannya basah.

Di belakang panggung Lutfy Mubarok dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta, mengungkapkan pada ARENA mengenai cacatnya perumusan omnibus law. Fungsi dan tujuan naskah akademik omnibus law perlu ditegaskan sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Sebab pembentukan omnibus law tak datang dari aspirasi rakyat, melainkan dibentuk semata untuk menyingkirkan segala hambatan investasi.

Pembentukan izin lingkungan atau analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal) dalam pasal lingkungan hidup justru banyak membicarakan soal pertumbuhan ekonomi. “Itu satu bentuk yang kontradiktif, bagaimana kita akan mensinkronkan antara investasi dan perlindungan lingkungan?” kata Lutfy heran.

Berdasarkan kajian analisis omnibus law oleh ARB pun, keseluruhan pembahasan klaster di naskah akademik tersebut berfokus kepada kemudahan mendirikan usaha dengan keberpihakan kepada golongan pebisnis. Dalihnya ialah memperlancar investasi alias pembangunan ekonomi.

Masalah tanah, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat sebanyak 1771 konflik agraria sepanjang empat tahun terakhir. Logika pembangunan yang gampang mengusir rakyat dari tanahnya saat ini sudah menyumbang 70 konflik tanah di atas lahan seluas 10.603 hektar pada awal kebijakan pembangunan. Kemudahan izin lokasi menuntunnya pada konflik lebih banyak lagi.

Hal senada disampaikan oleh massa aksi dari Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Yogyakarta, Viky Arthiando. Menurutnya konflik bisa bertambah, apalagi dengan kemudahan izin lokasi yang diusung dalam omnibus law. Itu akan melegitimasi banyak pengadaan tanah untuk kepentingan umum yang digenjot dalam sektor pariwisata hingga investasi.

Kedua sektor tersebut menjadikan perampasan ruang hidup semakin marak. Tanah tak lagi menghidupi. Terlebih pada pasal berikutnya dalam omnibus law, Amdal dan izin lingkungan dipangkas. Kerusakan lingkungan menjadi hal yang membayangi ketika analisis mengenai dampak lingkungan direduksi.

Sementara itu, pengadaan lahan untuk kepentingan umum lebih mengarah pada investasi seperti pariwisata di Yogyakarta. Sehingga, tutur Viky, kepentingan berbasis privat tersebut akan mengancam pengalihfungsian lahan. Kemudian warga tergusur yang dulunya merupakan petani yang memiliki nilai produksi, akhirnya menjadi pekerja dan tenaga kasar saja.

Atas dampak lingkungan jangka panjang tersebut, Viky menyatakan Walhi Yogyakarta ingin omnibus law tidak disahkan. “Jelas menolak. Gagalkan omnibus law,” tandas Fiky.

Selain itu, Aliansi Rakyat Begerak menyatakan bahwa terdapat asas dalam naskah yang tidak sesuai dengan praktik perumusan RUU Cipta Kerja. Seperti kekuasaan pemerintah yang harusnya transparan dan partisipatif tidak diterapkan. Naskah akademik sulit diakses dan perumusannya tertutup tanpa melibatkan kaum pekerja.

Pernyataan itu persis seperti teriakan salah seorang orator, “Kawan-kawan buruh dan masyarakat terdampak disitu tidak dilibatkan!”

Lebih lanjut, bertambahnya sektor kepentingan umum dalam omnibus law merupakan awal mula dari masifnya perampasan lahan rakyat. Sektor bisnis bagi investor pun makin diperluas dengan dalih “kepentingan umum” seperti halnya pariwisata. Singkatnya, perampasan lahan adalah harga yang harus dibayar untuk “kepentingan umum”.

Langkah-langkah pengadaan lahan yang diawali dengan semangat memuluskan investasi juga mengesampingkan perangkat-perangkat mitigasi yang dianggap memperlambat. Seperti, poin-poin yang disebut dalam pasal 19C UU No. 2 Tahun 2012 tidak lagi diperlukan setelah ijin lokasi dikeluarkan. Sehingga untuk mendirikan usaha, pengusaha hanya perlu berkoordinasi dengan pemerintah pusat, bukan pemerintah daerah maupun penduduk setempat.

Kini, masyarakat yang terdampak perampasan lahan tidak bisa menolak ganti rugi atas tanah sebab, sebagaimana yang disebutkaan dalam pasal 38 omnibus law, ganti rugi dititipkan di pengadilan negeri setempat. Titipan uang ke pengadilan ini biasa disebut konsinyasi. Konsinyasi ini dinilai sangat menguntungkan pihak penguasa atau investor karena masyarakat tidak punya pilihan lain selain mengambil uang titipan itu.

Penambahan angka tiga (3) dalam pasal 42 juga memaksa pengadilan menerima penitipan ganti rugi sekaligus menghapus hak atas tanah. Pembangunan semakin lancar tanpa harus menunggu  persetujuan pemilik lahan dan keputusan pengadilan. Penambahan ini memperkuat instrumen perampasan tanah dan membuka ruang konflik agrarian yang semakin luas. Dampaknya rakyat pemilik lahan menjadi semakin rentan.

Kalangan mahasiswa, dosen, jurnalis, serikat buruh, sampai seniman membela kerentanan itu melalui demonstrasi “Gagalkan Omnibus Law”. Seluruh elemen masyarakat gusar, bahkan beberapa mahasiswa difabel pun ikut turun. “Difabel juga bagian dari rakyat. Keresahan kami harus diekspresikan melalui momen yang tepat,” kata Arif saat ditanyai ARENA soal alasannya ikut turun ke jalan.

“Rakyat bersatu tak bisa dikalahkan. Rakyat bersatu, gagalkan omnibus law!” teriak masa sekali lagi. Panggung orasi makin riuh hingga penghujung aksi, diramaikan beberapa kelompok musik seperti Spoer, Tashoora, Amuba, Rebelian Rose, hingga Rara Sekar dan Sisir Tanah.

Sekitar pukul 17.00, selepas perwakilan aliansi membacakan pernyataan sikap mosi parlemen, beberapa polisi terlihat berjalan ke barat sambil mengomando melalui Handy Talky. Sekitar setengah jam kemudian, meski beberapa masa belum sepenuhnya bubar akses jalan sudah dibuka. Lalu lalang kendaraan membuat masa menyingkir perlahan.

Reporter: Dina Tri Wijayanti

Redaktur: Sidra