Home KUPAS Menyoal Ayu Utami

Menyoal Ayu Utami

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Spiritualitas tidak bisa dimaknai sebagai pelarian penderitaan semata.  Spritualitas bukanlah destinasi wisata yang hanya didatangi ketika liburan tiba. Lebih dari itu, spiritualitas adalah udara yang  dihirup setiap saat. Ia dialami langsung sepanjang hayat.

Dunia spiritual tidak bisa lepas dari pengamalan. Pada dasarnya spritualitas tidak melulu tentang hidup miskin atau meninggalkan dunia lalu pergi ke gua. Banyak hal yang perlu dilakukan, seperti asah rasa, disiplin diri, berpikir bersih dan yang paling penting bukan cuma di bibir.

Buku Anatomi Rasa karya Parang Jati a.k.a Ayu Utami mengurai serat-serat spiritual Jawa. Baginya, spiritual Jawa telah menempuh jalan panjang. Dari menyelamnya Bima ke dalam telinga Dewa Ruci untuk mengambil air kehidupan tirta pawitra, Sutasoma yang rela menjadi martir demi menyelamatkan macan betina yang ingin dilahap ibunya, hingga ayah Soekarno yang menjadi pengikut Madam Blavatsky. Dalam penyampaiannya, buku ini mendokumentasikan konsep dan pengamalan rasa secara historis: sejak abad ke-16 hingga 20.

Selain merupakan kumpulan surat-surat Parang Jati pada Marja, buku bersampul hati ditikam pedang ini lebih mirip textbook kuliah dari pada sastra. Hal ini berkaitan dengan penjelasan Parang Jati mengenai struktur rasa yang kelewat ilmiah. Pembaca akan menemukan banyak catatan kaki pada sebagian halamannya. Kutipannya beragam, mulai dari Sufisme Jawa karya Prof. Simuh; Politik Perhatian: Rasa dalam Kebudayaan Jawa si Paul Stange, yang juga pernah menulis hubungan mistisisme Jawa dengan Partai Komunis Indonesia (PKI); hingga yang kontemporer A Rasa Reader  (2016) garapan pakar Indologis Sheldon Pollock.

Jebakan Dualitas

Barangkali kehidupan selalu mensyaratkan yang unggul dan yang lemah, siang dan malam, hitam dan putih atau moralitas tuan dan budak dalam skalanya Nietzsche. Tidak ada kesetaraan. Masing-masing kutub selalu ingin unggul atas yang lain. Mungkin, inilah paradoks dualitas dan menjadi puberitas yang belum usai.

“Kalau kamu nyinyir pada rasa, periksalah, apakah kamu dipengaruhi bias rasionalisme Barat? Kalau kamu terlalu suka pada rasa, juga periksalah diri. Jangan-jangan kamu malas berpikir?” tanya Ayu. (hal. 7)

Ayu sebetulnya ingin melampaui dualitas, mendamaikan rasa dan rasio. Tetapi, Ayu terjebak kategori pikirannya sendiri. Alih-alih menganjurkan praktik langsung bagaimana Rasa diaktualisasikan dalam laku sehingga dualitas ini terlampaui, Ayu justru kabur dari keyataan. Sebab jika ditanya bagaimana mengatasi dua kecenderungan tadi, bagi Ayu solusinya adalah lari ke desa. Menuju tempat yang hening. Tempat yang memiliki cukup kemewahan alam, udara yang segar dan mampu mendengar suara laut dikejauhan dan melihat naungan gunung api di ketinggian awan, katanya.

Tentu saja itu tidak mungkin. Spritulitas masih harus menghadapi dunia. Dan spiritualitas menuntut konsistensi. 

Coba perhatikan ini, “Jika kita mencoba memahami rasa dengan alat ukur rasio” tulis Ayu, “kita akan menghakimi rasa sebagai yang tidak dipercaya, yang terjadi adalah salah faham oleh rasio terhadap rasa.” (hal.25) Rasio bagi Ayu berkerja secara memilah, membatasi dan juga membakukan. Sedangkan mekanisme Rasa baginya tidak memilah, memancar, mengalir, menghanyutkan, mengenggelamkan, dst. Rasio baginya hanya mau melihat kelemahan rasa dan tak mau mengakui keunggulan rasa.

Entah apa yang merasuki Ayu, ia lupa spiritual seperti yang diutarakannya adalah untuk mengatasi dua kecenderungan ini.

Pada halaman 214 ia menulis, “Teknologi modern juga melahirkan bentuk penindasan dan ketergantungan baru yang harus diwaspadai. Telah banyak kritik terhadap modernitas, terutama dalam hal kapitalisme, militarisme, dan kerusakan alam. Di sini, saya ingin fokus pada satu hal, yaitu pola pikir dogmatis dan tertitip yang menyusup bersama mekanisme rasio. Mekanisme ini menjadi demikian dominan di era modern, sehingga manusia dalam bahaya keterasingan dan kehilangan kemampuan rasa.”

Baginya, rasa dan rasio akan selalu vis-à-vis. Usahanya untuk mengatasi dua kecenderungan ini selalu gagal oleh diri sendiri. Jika Rasa sebagai sesuatu yang batin dan dalam itu benar-benar ada, dialami dan dipraktikan, ia tidak mungkin terasing atau hilang hanya gara-gara modernitas. Apalagi ia menelisik DNA purba Jawa sebagai struktur yang membangun Rasa jauh sebelum modernitas datang. 

Hal-hal seperti ini yang mencerminkan bahwa Ayu hanyalah korban modernitas yang tidak punya pegangan, lalu ia memeluk apa yang disebut dengan Spritualisme Kritis. Karena Spritualisme Kritis adalah hasil rasio maka ia perlu mencari dasarnya, yakni Rasa dalam spritualitas Jawa. Rasa baginya semacam psikologi indigenus. Meski ia mengakui bukunya bukan karya akademis, Ayu tetap percaya diri bahwa ia telah menyumbang pengetahuan alternatif yang tidak bisa Barat. 

Pertentangan yang ia bangun sendiri antara Barat-Timur, Rasa-Rasio sudah basi saat itu juga. Tapi ia menyangkal dengan membedakan dualisme dan dualitas. Dualisme perbedaan untuk dipisahkan, sedangkan dualitas baginya untuk dipersatukan. Sekali lagi, bagaimana cara menyatukannya, Ayu tidak menjelaskan.

Jika ini yang disebut Spritualisme Kritis, maka tidak lain dan tidak bukan seperti yang ia katakan sendiri, spiritualitasnya adalah “mekanisme rasa melalui mekanisme rasio.”  

Judul: Anatomi Rasa | Penulis: Parang Jati (Ayu Utami) | Penerbit: Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) | Cetakan: I, Maret 2019 | Tebal: 277 hlm; 13,5 x 20 cm | ISBN: 978-602-481-124-2 | Peresensi: Bagus NA.

Sumber gambar: malangtimes.com