Home SASTRACERPEN Perempuan yang Ingin Kembali Menjadi Bayi

Perempuan yang Ingin Kembali Menjadi Bayi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

“Lebih baik saya kehilangan satu karyawan dari pada kehilangan satu pelanggan ….”

“Lebih baik kita sudahi saja hubungan ini ….”

“Lebih baik kalau kamu bisa cepat lulus ….”

“Lebih baik perempuan itu di rumah saja ….”

“Alangkah lebih baik kalau kamu banyak bersyukur ….”

“Akan lebih baik seandainya kamu dulu tidak lahir—“

PRANGG!!!

“Huaaaa!!! Aaaaa!!! HUAAA!!!”

“Sssstttt …! Sudah sudah, tidak apa-apa, ya? Mana yang sakit, coba lihat? Sini Tante obatin. Ssshhh … sudah, ya, jangan menangis, tidak apa-apa, tidak apa-apa.”

Entah sudah berapa juta kali lagi orang mengatakan kalimat lebih baik begini, lebih baik begitu. Seolah, kata “lebih baik” akan benar-benar membuatnya menjadi lebih baik. Padahal, mereka mengatakan hal itu hanya untuk kebaikannya sendiri, bukan untukku. Yang membuatnya menjadi semakin menyebalkan, orang-orang berusaha untuk menggiringku sekehendak mereka dengan kata “lebih baik”.

Dengan lugunya, aku juga mengikuti saran “lebih baik” itu. Meski merasa tak nyaman, aku takut membuat orang-orang di sekelilingku kecewa. Tapi, setelah kakak laki-lakiku mengucapkan kalimat yang terakhir itu, aku tidak mau lagi digiring ke sana ke mari seperti kambing congek. Kenyataan bahwa aku merupakan anak yang terlahir dari sebuah ‘kecelakaan’ ayah-ibuku, membuatku mengerti mengapa perlakuan keluarga ini berbeda padaku. Kecuali Ranti, satu-satunya kakak perempuanku.

Ranti yang baru saja melahirkan anak pertama itu, dulu menjadi satu-satunya orang yang mau berteman denganku. Meski tak jarang juga kami berebut mainan atau makanan kecil hingga berakhir saling jambak, dia tetap kakak yang kusayangi. Berbeda dengan kakak laki-laki, Anto, yang semenjak aku kecil sudah menunjukkan sikap tidak sukanya. Sikap itu terbawa hingga kami tumbuh dewasa dan ia punya dua anak yang hampir setiap hari dititipkan padaku sebab ia dan istrinya bekerja.

Kami berjumlah sepuluh orang dengan tiga kepala keluarga harus tinggal dalam satu atap yang tak terlalu besar. Aku bersama ayah-ibu, Anto dengan istri dan kedua anaknya, serta Ranti bersama suami dan anaknya yang masih bayi. Terlalu banyak anggota keluarga membuatku merasa jengah berada di dalam rumah. Heran, mengapa kedua kakakku yang telah menikah itu tak kunjung keluar dari rumah dan membangun keluarganya sendiri. Sementara ibuku sepanjang waktu mengomel sebab menantu perempuannya tak becus mengurus rumah dan menantu laki-lakinya jarang memberi uang.

Belum lagi Anto dan istrinya yang sering ribut karena berbagai hal. Kedua keponakanku yang masih kecil-kecil sering bertengkar karena hal sepele. Bapak yang sudah mulai sering terkena bermacam penyakit, terlalu lelah dan tua untuk berpikir. Sementara Ranti sudah bodo amat untuk mencampuri urusan keluarga Anto yang terlalu berisik. Sejak beberapa bulan lalu, kakak perempuanku itu sengaja tutup telinga dengan dalih agar tidak stress saat mengandung.

Rumah yang terlalu ramai bukan menjadi tempat yang nyaman untuk pulang. Sejak dulu, bapak terlalu sibuk bekerja, ibu mulutnya kerap menyakitkan, kakak laki-laki menyebalkan, dan kakak perempuan yang meski bersikap manis, tak jarang membuatku iri. Rasa iri itu bermula sejak kutahu Ranti memiliki lebih banyak mainan dan pakaian, sementara aku tak jarang hanya mendapatkan bekasnya.

Sikap manis Ranti padaku membuatku merasa memiliki kawan untuk saling berbagi perasaan. Tapi ketika ia memutuskan untuk menikahi seorang pria, aku menjadi patah hati. Ia meninggalkanku seorang diri. Bahkan kini ia membiarkanku sendirian untuk menjadi tempat sampah keluh kesah anggota rumah. Lalu, aku harus membuang keluh kesahku pada siapa?

Keponakanku yang baru saja jatuh tersandung sambil membawa gelas belum juga berhenti menangis. Gelasnya pecah, untung tak melukai kulit. Tapi, mulutnya berdarah terbentur pinggir kursi. Kubawa ia ke kamar mandi untuk membersihkan lukanya. Ranti hanya bertanya ada apa dan tak berbuat apa-apa sebab si kecil sedang menyusu. Sementara ibu sedang membersihkan pecahan gelas sambil mengomel menyalahkan kecerobohanku menjaga anak kecil. Bapak? Beliau pergi ke rumah tentangga entah sebab urusan apa.

Luka di bibirnya tidak besar, tapi cukup untuk menyebabkan bengkak. Dengan susah payah aku mencoba menghentikan tangisnya dan kuajak ia membeli es krim.

“Tante, mau pergi ke mana? Ikut, ya?”

Keponakanku yang lain muncul dari balik pintu saat aku sedang bersiap ke toko kelontong sebelah. Aku hanya mengangguk dan ia berlari menggandeng tanganku.

Seperti yang sudah kuduga sebelumnya, sore hari ketika Anto dan istrinya pulang kerja, aku kena damprat.

“Salah sendiri anak ditinggal kerja terus! Kalau nggak siap punya anak, ya, sudah, jangan punya anak. Masih baik dibantu merawat, bukannya terima kasih malah ngomel-ngomel!” Teriakku dengan emosi yang sudah mencapai ubun-ubun.

Yang kuterima berikutnya adalah telapak tangan Anto mendarat keras di pipi kiriku. Kutatap matanya lekat-lekat, mempertanyakan apa yang baru saja kuterima. Tak kuat lagi, mataku memanas dan aku mulai menangis. Kubanting pintu kamar keras-keras dengan dada penuh sesak. Sekali ini, dia sangat keterlaluan.

Sisa hari itu, aku menghabiskan waktu di dalam kamar. Tak ada satu orang pun datang mengetuk pintu seperti pada novel remaja yang dulu sering kubaca. Aku membuka laptop dan mulai menceritakan perasaanku. Dari dalam kamar kudengar percakapan orang-orang. Anto sudah tak marah-marah lagi. Sepertinya juga sudah tidak ingat telah menamparku sedemikian keras. Dia bersama kedua anaknya justru sibuk berada di kamar Ranti. Mereka asyik bermain dengan si bayi.

Bayi yang belum genap berumur satu bulan itu berhasil membuatku iri. Betapa tidak, seluruh tingkah dan gerak-geriknya selalu berhasil menjadi pusat perhatian orang rumah. Tangisnya, ekspresi mukanya, gerakan tangan atau kakinya, bahkan suara kentutnya pun seolah keajaiban yang patut disambut dengan gembira. Pipis dan beraknya tak henti-henti selalu disambut dengan gelak tawa. Tak ada yang berani marah padanya. Suara tangisnya yang baru satu detik pun segera dibalas dengan kalimat-kalimat sayang penuh ketenangan.

Biasanya aku juga turut bahagia melihat seluruh kelakuan si kecil. Tapi, malam ini kejadian seperti itu terasa sangat menyebalkan. Mereka lebih memilih untuk bermain dan menemani bocah kecil yang jelas sudah berlimpah kasih sayang dari pada memeriksa keadaanku yang baru kena omel dan tampar.

Memang menggelikan sekali aku iri dengan bayi. Dan hal itu membuatku berpikir, apakah dulu mereka melakukan hal yang sama ketika usiaku sama seperti anak Ranti? Kalau saja bayi itu sudah mengerti, kira-kira seperti apa rasanya mendapat limpahan perhatian dan kasih sayang sebegitu besar? Ah, sudahlah, hidup sudah cukup berat untuk ditambah dengan pikiran macam-macam. Kututup laptop dan beranjak naik ke tempat tidur.

Sepertinya belum terlalu lama aku memejamkan mata hingga kudengar suara Ranti yang berisik membangunkan anaknya. Dengan sebal aku membuka mata dan mendapati dada Ranti tepat di depanku. Senyum lembutnya menghiasi wajah, dan ia berujar padaku.

“Bangun, Sayang, ayo nenen dulu!”

Oleh Nur Hidayah, mahasiswa Ilmu Komunikasi UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Sumber gambar: varazsszavak.blog.hu