Home CATATAN KAKI Dorang Pemerintah Pusat Tra Paham Atasi Corona di Papua

Dorang Pemerintah Pusat Tra Paham Atasi Corona di Papua

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Jhon Gobai*

Sejak pandemi Covid-19 jalan bunuh-bunuh orang, sa bosan dan tersiksa di rumah. Banyak yang takut setelah lihat semakin banyak orang meninggal. Sa juga pilih tinggal di rumah saja. Bikin kaki pendek untuk sementara waktu.

Tapi babingung mau bikin apa di rumah saja.

Sabtu sore, 28 Maret, ketika ini ditulis, saya menelepon dua orang mahasiswa asal Papua di Makassar. Kawan Alpahesa Kaningga, mahasiswa Unervistas Negeri Makassar (UNM), dan Melvin You, mahasiswa Politeknik Negeri Ujung Pandang.

“Sekarang ini kuliah online saja Jadi di kos ini sa tidur, bangun, minum-minum air banyak, merokok, begitu-begitu saja,” jelas Melvin ketika sa bertanya aktivitas kesehariannya sejak kuliah daring diberlakukan.

“Paling kerja tugas atau pergi beli rokok atau sayur, itu kerja yang paling sibuk,” kata Kaningga getir.

Sa kenal mereka: suka bajalan, kaki panjang dari asrama ke asrama lain, bajalan dari emperan jalanan ke kos-kosan untuk cari kawan cerita saja. Tapi sekarang tra jago. Tiba-tiba jadi anak damai di rumah.

Dorang dua cerita kalau hampir semua mahasiswa asal Papua di Makassar juga sama. Tra banyak yang berani keluar muka di jalan.

Tra hanya karena coronavirus. Aktivitas mahasiswa Papua di Makassar sangat tertutup sejak lama. Sekurang-kurangnya, pasca peristiwa rasisme Surabaya tahun lalu.

Kaningga cerita kalau ana-ana (mahasiswa-red) Papua di Makassar ada kepanikan tersendiri setelah lewati peristiwa rasisme Surabaya, kejadian penganiayaan di Dogiai. Kejadian-kejadian ini buat ana-ana banyak yang khawatir. Sudah tra seperti dulu lagi.

Tapi yang paling parah, Melvin bilang, ini corona. Ia cerita ketemu beberapa ana-ana di daerah Universitas Hasanuddin, dekat indekosnya.

“Sungguh mati. Ana-ana trada yang berani macam-macam. Keluar juga harus pake masker, sumpah! Ada yang bungkus muka pake baju karena trada Masker. Karena sekarang beli masker harganya sudah 200 ribu satu pack. Terpaksa tutup pake baju.”

Kitong larut dalam cerita corona dan ana-ana Papua di Makassar. Kam su tahu, toh, mahasiswa pu kelakuan kasih tunjuk jago teori sampai sumber berita bawah tanah juga keluar semua.

Tapi betul juga, batin sakit kalau takurung terus-menerus. Trada teman cerita lagi, sampai bicara dengan tembok terus hingga kepala pecah.

Bagimana bisa tra gelisah mendengar kabar kasus coronavirus semakin meningkat tiap hari? Lalu para elit lokal dan Jakarta itu terus berdebat soal kebijakan memerangi pandemi Covid-19. Woi! Kapan perangnya? Kapan?

Ko coba lihat kasus infeksi Covid-19 menurut data yang dikumpulkan oleh John Hopkins Universit. Hingga 23 Maret kemarin, total jumlah di seluruh dunia telah mencapai 331.273 kasus, dengan 14.450 kematian, dan 97.847 pasien dinyatakan sembuh. Lalu Badan Nasional Penanggulanan Bencana bilang total jumlah kasus coronavirus di Indonesia per 28 Maret 2020 telah mencapai 1.155 orang, dengan 102 meninggal dunia, 59 sembuh.

Pandemi Covid-19 tra membawa kabar gembira. Tapi ia juga bukan utusan malaikat pencabut napas. Dia bawa datang bencana bagi hidup manusia di dunia, Indonesia, juga Papua.

Trada cerita menguntungkan selain cerita malapetaka dan “peti mayat.”

Paling tidak, untuk hajar coronavirus, pemerintah telah buat beberapa kebijakan. Mulai dari social distancing, Work from Home (WFH), dan seterusnya kecuali lockdown. 24 Maret, Pemerintah Provinsi (Pemprov) Papua memutuskan akses keluar masuk transportasi udara, laut dan darat di beberapa daerah: di wilayah Adat Meepago, Lapago, dan Amin Ha.

Pace Melvin sepakat. Itu langkah yang baik sekali. Dia mendukung penuh keputusan Gubernur Papua. Dia juga ingin pulang. Dalam kondisi begini, dia rindu kampong. Tapi tra mungkin.

“Karena segala macam kondisi ada di Papua. HIV dulu juara satu. Corona lagi juara satu nanti,” kata Melvin.

Tak hanya Melvin dan Kaningga. Banyak kalangan, kelompok, dan organisasi kemasyarakatan khawatir terhadap eksistensi orang asli Papua di bawah bayang-bayang nestapa.

Karena itu pula Corona mengundang komentar dari berbagai sudut pandang untuk Papua. Mulai dari perbandingan fasilitas dan tenaga medis di Italia dan di Papua. 80 ribu lebih jumlah korban di Italia mengundang kekhawatiran akan eksistensi orang Papua. Papua sudah lama berada di bawah keterpurukan; daerah yang gizi buruknya tinggi; urutan pertama penderita HIV tertinggi di Indonesia; angka kematian bahkan lebih tinggi dari angka kelahiran. Kematian yang diakibatkan karena berbagai faktor, salah satunya penyakit misterius bernama HIV/AIDS, juga malaria, dan seterusnya.

Problem serius lain adalah kondisi rumah sakit yang fasilitasnya kurang memadai. Tenaga medis sangat sedikit. Penyakit umum lainnya saja sulitnya minta tolong. Apalagi pandemi Covid-19 di Papua? Oh, Dewa!

Sebelum ada kebijakan Pemprov Papua, orang di Papua di beberapa daerah seperti Jayapura, Yahukimo, Sorong, Wamena, Nabire dorang telah melakukan aksi demonstrasi desak pemerintah untuk segera melakukan lockdown, sosialisasi coronavirus dan pencegahannya.

Tetapi setelah beberapa hari kemudian, keputusan itu ditolak oleh Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tito Karnavian, juga Presiden Jokowi; bahkan Menteri Perhubungan mengeluarkan surat menolak keputusan pembatasan akses transportasi tersebut.

“Itu menurut ko bagaimana?” tanya sa.

“Ah, dorang Pemerintah Pusat tolak itu karena urusan bisnis saja. Trada alasan lain,”

“Apalagi semua yang ada di Kabinet Indonesia Maju ini, kan, rata-rata punya perusahaan.  Lihat dari kepala, leher sampe kaki-tangan, dorang punya alasan tolak karena logistik akan susah masuk. Itu memang benar. Tapi barang tra baik itu bisa datang lewat pesawat dan kapal. Jadi Tito itu, dia bikin sakit hati orang di Papua, baik orang asli Papua kah, non-Papua kah. Semua,” jelas Melvin tak berhenti.

Di Papua ini susah hidup. Sakit yang lain saja orang susah sembuh. Ini corona, Bos. Orang banyak mati dalam 4 bulan saja.

Baru Kaningga bilang, “Ini situasinya hangat. Orang mati banyak. Pemprov yang tahu situasi Papua, bukan Jakarta. Ia harus hargai keputusan Pemerintah Daerah.”

***

Sa tuliskan cerita ini juga bagian dari aktivitas kegelisahan mau bikin apa di rumah saja. Habis cerita-cerita, tulis barang ini, sa tidur. Begitu saja di kandang.

Pace Melvin dan Kaningga juga cerita panjang-panjang itu bagian dari bongkar semua beban berat pikiran yang tatampung sepanjang kaki pendek di kos-kosan saja.

Dan sa yang jadi korban mendengarkan mereka pu khotbah di sore ini. Sial.

Jhon Gobai* Ketua Umum Aliansi Mahasiswa Papua Pusat

Ilustrator: Dzaky