Home CATATAN KAKI Gegara Pemerintah Abai

Gegara Pemerintah Abai

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Saya resah karena pemerintah tak pernah berpihak pada rakyat kecil.

Oleh Wahidul Halim*

Pemerintah tidak serius merespon isu coronavirus. Mereka terkesan santuy menanggapi pandemi itu. Beberapa menteri dan pejabat sejajarnya menanggapi pandemi tersebut dengan celotehan nyeleneh. Saya tidak mau mengutipnya di sini. Jijik.

Respon jahiliyah itu berimbas pada penanganan yang semrawut dan blepotan. Tidak ada arahan sigap. Arahan waspada virus justru saya dapatkan pertama kali melalui khotbah Jumat pada salah satu masjid di Yogykarta. Saat itu, saya dan teman akan menemui korban penggusuran jalan tol Jogja-Solo.

Pengkhotbah itu menerangkan soal jenis hewan yang tak boleh dimakan manusia. Saya ingat, salah satu yang disebutnya adalah kelelawar. Katanya, itu sudah diatur dalam kitab suci. Selang beberapa waktu, pengkhotbah itu mengaitkan peran pemerintah yang mestinya memberikan peringatan kepada seluruh lapisan masyarakat terkait pandemi yang lagi berkembang.

“Karena bisa jadi virus tersebut akan menyerang masayarakat Indonesia,” himbau pengkhotbah itu.

Kali itu, saya mencerna benar ceramah Jumat tersebut. Sangat jarang masjid memberikan arahan begini, biasanya penceramahnya galak.

Sembari menikmati berkah jumat, bungkusan nasi yang disediakan untuk jamaah Jumat, saya membaca berita pada media daring, tajuknya tentang pemerintah yang malah meningkatkan promosi pariwisata Indonesia. Oh, Tuhan. Keselek makanku.

***

Tiga bulan pasca khotbah itu, Indonesia menetapkan keadaan darurat akibat pandemi coronavirus. Bersamaan dengan itu, lalu-lalang keluar masuk negara juga tetap berlanjut. Dan sedikitnya berpengaruh atas penyebaran Covid-19 di Indonesia.

Melihat itu, saya berkesimpulan bahwa secara sosiologis, pembawa corovirus masuk ke Indonesia adalah kalangan atas. Sebab, mereka memiliki akses untuk keluar negeri. Perlu dicatat, kalangan atas dengan tingkat ekonomi mapan, bisa mengakses fasilitas berkualitas untuk mengobati penyakitnya.

Sebaliknya, kalangan masyarakat kecil gagap dalam hal fasilitas dan akses pengetahuan soal coronavirus. Walau begitu, mereka pun rentan terjangkit virus tersebut. Padahal, mereka tak mampu berwisata keluar negeri. Harapan mereka hanya penghasilan harian. Dari itu, jika sudah terkena virus, mereka akan dikarantina dan meninggalkan sumber penghidupannya. Dapur keluarga terhenti. Naasnya lagi, kalau mereka harus membayar mahal biaya perawatan di rumah sakit.

Indonesia sedang genting! Semua lapisan masyarakat bisa kena virus ini. Tempo hari saya dapat sebaran WhastApp tentang salah seorang pemilik warung kopi di Yogyakarta yang wafat akibat coronavirus. Kabarnya, korban sebelumnya mengidap strok dan kangker. Lalu Corona mempercepat penyakitnya. Dan orang yang ikut takziah pada saat pemakamnya kini berstatus Orang Dalam Pemantauan (ODP). Bajingan! Saya sedih membaca kabar buruk itu.

Kini, pikiran saya tertuju pada warga yang hidup di sekitar PLTU Cilacap. Tepatnya di Dusun Winong, Desa Selarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap. Di sana ada tiga PLTU besar milik PT. Sumber Segara Primadaya (S2P). Memiliki kapasitas 2×300 megawatt, 1×660 megawatt, dan 1×1000 megawatt.

PLTU tersebut mengakibatkan kekeringan air, udara kotor, tanaman mati, pencemaran oleh limbah, hingga suara bising di tengah pemukiman warga. Udara dan limbah kotor itu melahirkan penyakit bagi penduduk setempat, macam Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), bronkitis, batuk, dan gatal-gatal.  

Data Puskesmas Kesugihan menyebutkan, pada 2016, ada 10.481 warga terkena ISPA. Rinciannya: 6.721 pengidap baru, dan 3.760 pengidap lama. Tahun berikutnya terdapat 8.681 pengidap ISPA. 6.069 baru dan 2.612 pengidap lama. Lalu, 3.360 warga mengidap ISPA, terdiri dari 2.241 pengidap baru dan 1.119 pengidap lama pada Juni 2018.

Untuk pengidap ISPA anak-anak, usia 1-14 tahun, pada tahun 2014 sejumlah 3.036 anak. Jumlahnya naik menjadi 4.049 setahun setelahnya. Tahun 2016 naik lagi pada angka 5.326 anak. Tahun 2017, ditemukan 4.588 anak yang mengidap ISPA dan 3.059 anak di tahun selanjutnya.

Secara klinis, coronavirus dan limbah PLTU sama-sama menyerah paru-paru. Dengan demikian, warga yang paling rentan adalah mereka yang sudah mengidap penyakit akibat PLTU ditambah harus menghadapi coronavirus. Kita telah abai terhadap penderitaan yang sudah ada. Sampai saya menulis ini, belum ada data terbaru mengenai penderita Covid-19 di sekitar PLTU Cilacap. Meski begitu, tentu ini jadi ancaman nyata dan ganda bagi kawan-kawan saya di sana.

Resistensi Terus Dilakukan

Jangan sampai sudah banyak korban baru bertindak. Saya sepakat dengan dr. Tirta, dia mengatakan pandemi ini bisa jadi pemersatu bangsa. Jangan saling menyalahkan dan mengutamakan kelompoknya. Mari bahu-membahu melawan coronavirus yang tengik ini.

Jejaring organisasi dan masyarakat harus terus digalakkan. Khusus di Yogyakarta, beberapa desa menutup jalan dan gang dengan bahasa luckdown. Pada lain hal, beberapa organisasi melakukan donasi dengan membagikan kebutuhan makanan, obat, dan peralatan kesehatan kepada mereka yang penghasilannya bergantung pada upah harian.

Meski aktif memerangi coronavirus, para jejaring oragnisasi bersama masyarakat tidak berhenti menggaukan penolakan omnibus law. Sambil membantu rakyat kecil, para aktivis memilih media sosial sebagai upaya perjuangan. Melalui itu, mereka menyuarakan omnibus law yang sama bahayanya dengan virus. Sama-sama membunuh orang kecil.

Saya sendiri tidak bisa berbuat banyak. Hanya bisa me-lockdown diri. Saya kuti intruksi #DiRumahSaja, walau rasanya menambah penderitaan. Saya selalu teringat kawan-kawan di Kentingan Baru, Solo dan Taman Sari, Bandung. Sebab ulah pemerintah, kondisi mereka menyakitkan. Rumah mereka digusur. Dan Corona menambah penderitaannya.

Akibat pandemi ini, saya juga tak bisa bercengkrama dengan masyarakat yang sedang berjuang mempertahankan tanahnya. Mereka adalah kawan saya di Purworejo, yang sedang menghadapi perampasan ruang hidup akibat pembangunan Bendungan Bener.

Kabar terakhir yang saya dapat dari sana adalah kiriman video pembangunan Bendungan Bener yang tetap berlangsung di tengah pandemi. Pemerakarsa malah lebih menggencar pembangunannya. Dalam cuplikan video tersebut, terlihat peledakan dinamit untuk membuka akses jalan pembangunan tersebut. Padahal, dinamit itulah yang membuat rumah-rumah warga retak.

Pemerintah tak kenal kondisi, yang utama selalu ekonomi dan pembangunan insfratruktur. Alih-alih membuat fasilitas kesehatan dan membentuk aturan untuk keselamat masyarakatnya.

Sekali lagi, saya hanya bisa di rumah dan berceloteh di media sosial. Ini perlu untuk mengontrol isu-isu yang berkaitan dengan kehiduapan rakyat kecil.

Wahidul Halim, aktivis kemanusiaan dan pendamping warga terdampak PLTU Cilacap.