Home KANCAH Slavoj Zizek: Apa yang Sama dari Coronavirus dan French Protest? Inikah Waktunya Berpesta Pora?

Slavoj Zizek: Apa yang Sama dari Coronavirus dan French Protest? Inikah Waktunya Berpesta Pora?

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Wabah epidemik, layaknya sebuah protes, tidak tersulut lalu menghilang; ia terus bergerak dan mengintai, menunggu untuk meledak di saat yang tak terduga. Kita harus menerimanya, tapi ada dua cara menghadapi virus brengsek ini.

Masyarakat di luar Cina berpikir karantina sudah cukup untuk membatasi penyebaran virus. Mereka juga merasa sedikit lebih aman berada di belakang ‘tembok pembatas’ itu. Namun, melihat kasus ini telah dilaporkan 20 negara lebih, pendekatan baru pun diperlukan. Bagaimana cara menghadapi ancaman traumatis ini?

Terkait reaksi atas coronavirus, kita bisa belajar dari seorang psikiatris dan penulis Elisabeth Kubler-Ross yang, di masa sekaratnya, mencetuskan lima skema reaksi terkenal ketika kita tahu bencana, semisal penyakit stadium lanjut, menimpa: penyangkalan atas kenyataan seperti, “Ini enggak mungkin!”; kemarahan tak terbendung ketika kita tak mampu lagi menyangkal kenyataan semisal, “Kenapaini menimpaku?”; fase tawar-menawar, bahwa selalu ada harapan, yang entah bagaimana bisa meredam kenyataan buruk misalnya, “Tolong buat aku hidup sampai anak-anakku lulus.”; depresi, penempatan libido atau gairah yang tidak pada tempatnya, “Aku akan mati, jadi buat apa mikir yang lain?”; dan akhirnya penerimaan, “Aku tidak bisa melawannya. Aku siap menghadapi kenyataan ini, seburuk apapun.”

Kubler-Ross belakangan menerapkan tahapan ini untuk segala bentuk bencana pribadi: pengangguran, pacar yang tewas, perceraian, kecanduan narkoba. Ia juga menekankan bahwa tahapan tersebut bisa terjadi secara acak. Tidak semua orang juga mengalami tahap itu.

Seseorang dapat menjalani lima tahap itu setiap kali masyarakat dihadapkan pada situasi traumatik. Mari tengok sikap kita menghadapi ancaman bencana alam.

Pertama, kita cenderung menolak, menganggap bencana alam sebagai paranoia belaka, menganggapnya sebagai bagian dari perubahan cuaca yang wajar. Lalu datanglah kemarahan pada perusahaan besar yang mencemari lingkungan dan pemerintah yang mengabaikan bahaya pukimak ini. Kemarahan itu disusul tawar-menawar: “Jika sampah ini didaur ulang, kita bisa mengulur waktu. Plus, kita bisa menanam sayur di Greenland. Kapal-kapal Cina, melalui jalur utara, dapat mengirim barang lebih cepat ke Amerika. Tanah subur akan tersedia di Siberia Utara sebab es kutub mencair jadi daratan baru.”

Kemudian depresi, sadar bahwa kita telah kalah. Pada akhirnya adalah penerimaan–kita sedang menghadapi ancaman serius, kita harus mengubah total cara hidup kita!

Lima skema ini juga berlaku terhadap ancaman kontrol digital yang menghantui belakangan. Kita lagi-lagi menyangkal, menganggapnya berlebihan dan paranoia orang kiri tengil belaka. Kita menyanggah, berkata tak ada agensi yang dapat mengendalikan kegiatan kita sehari-hari. Lalu kita marah besar pada perusahaan dan agen rahasia yang mengenal diri kita lebih baik dari kita sendiri, mengakumulasi data raksasa untuk mengontrol dan memanipulasi. Hal ini diikuti tawar-menawar dengan otoritas yang berwenang memburu teroris, tetapi tidak boleh mengganggu ruang masturbasi kita.

Kita depresi, sadar bahwa kita sudah terlambat, privasi kini hilang, era kebebasan pribadi sudah berakhir. Akhirnya, kontrol digital tidak bisa tidak diterima sebagai ancaman kebebasan, “Kita harus menyadarkan masyarakat akan segala ancamannya dan melibatkan diri untuk melawan!”

Dalam dunia politik sekalipun, hal sama berlaku bagi orang-orang yang trauma pada Trump: mereka menyangkal dan berkata Trump hanya mengambil sikap belaka. Tidak ada yang akan berubah jika dia mengambil alih kekuasaan. Diikuti kemarahan pada ‘kekuatan gelap’, sebab kekuasaan dapat diambil alih lewat para populis berikut ancaman moralnya.

Mereka lakukan lagi tawar-menawar. “Mungkin Trump dapat ditahan, mari tolerir beberapa kegilaannya.”

Lalu mereka depresi: “Gelombang fasisme akan menyapu kita. Demokrasi sudah hilang dari Amerika.” Rezim politik baru pun diterima bersamaan dengan musim gugur demokrasi dan penyusunan rencana untuk mengatasi populisme Trump.

Masyarakat abad pertengahan menyikapi wabah dengan cara yang sama pula: penyangkalan, kemarahan pada kehidupan penuh dosa yang berujung karma, atau bahkan pada Tuhan yang dengan kejam memberi mereka bencana. Kemudian tawar-menawar, kenyataan ini tidak begitu buruk, tinggal jauhi saja orang-orang yang terjangkit.  Lalu mereka depresi karena hidup bisa saja berakhir setelah ini. Menariknya, mereka lantas berpesta pora karena hidup akan berakhir sebentar lagi, “Mari dapatkan semua kesenangan selagi sempat – minum, seks, semuanya.”

Pada akhirnya mereka pun menerima. “Di sini, mari hidup seperti biasa, seolah rutinitas membosankan terus berjalan.”

Bukankah ini juga cara kita menangani epidemi coronavirus yang meledak di akhir tahun 2019? Pertama-tama kita menyangkal argumen yang menyebut hanya orang tak bertanggung jawab menyebarkan kepanikan; kita lantas marah, biasanya dalam bentuk rasisme atau anti-negara, orang Cina najis atau negara culas kita sebut biang keladi; selanjutnya datanglah tawar-menawar. “Oke, ada beberapa korban, tapi tidak terlalu serius dibandingkan SARS, dan kita dapat membatasi dampaknya.”

Jika ini tidak berhasil, depresi muncul. Orang-orang tak lagi bisa menerima bercandaan sebab merasa diri telah semenjana.

Tapi bagaimana penerimaan akan mengemuka di sini? Ada setitik kejanggalan. Epidemi mirip sekali  dengan protes Perancis atau Hong Kong belakangan: penyakit ini tidak tersulut dan menghilang. Mereka menunggu, tidak pergi, membawa ketakutan dan kerapuhan berkepanjangan bagi hidup kita.

Hal yang harus diterima, dalam diri kita sendiri, adalah adanya lapisan yang salin-berpilin antara kehidupan, mayat hidup, pengulangan tolol, foreplay garing dengan virus yang terus menubuh bersama kita sebagai bayangan gelap, ancaman keberlangsungan hidup, meledak ketika kita tidak mengharapkannya.

Pada tingkatan yang lebih umum, epidemi mengingatkan kita akan ketidakberdayaan kita, tidak peduli betapa kita sangat alim, manusia selalu payah. Virus atau asteroid selalu menjadi penanda akhir zaman. Belum lagi tanggung jawab kita atas bencana ekologi.

Namun, ada dua cara menyikapi bencana ini. Kita bisa sekadar memaklumi. Orang-orang akan sekarat, namun hidup harus terus berlanjut, mungkin akan ada efek samping yang baik. Atau penerimaan yang mampu mendorong kita untuk mengerahkan diri tanpa panik dan halu, untuk bertindak secara solid.

Ilustrator : Firdan Haslih K.

***

Diterjemahkan oleh Sandika dan Sidratul Muntaha dari artikel: “Slavoj Zizek: What the coronavirus & France protests have in common (and is it time for ORGIES yet?)” yang dipublikasin oleh rt.com.