Oleh: Widiya Hastuti*
Wabah corona, belajar dan bekerja online membuat arus pulang kampung dan mudik kian deras. Sedikit pengalaman, bagaimana pemerintah mencegah wabah meluas terutama dari pelajar yang kembali pulang dari kota-kota terinfeksi.
Wabah dari virus Covid-19 atau corona baru kian merebak di Indonesia. Hampir seluruh kota besar telah memiliki pasien terinfeksi. Medan, salah satunya. Universitas Sumatera Utara (USU) mulai menerapkan belajar online sejak 16 Maret hingga waktu yang belum ditentukan. Sebagai salah satu mahasiswa USU, ini berdampak bagiku.
Orang tua mulai cemas dan mendesak pulang. Saat itu, Medan memiliki dua pasien dalam pengawasan (PDP) dan salah satunya meninggal sebelum hasil tes keluar. Beberapa teman mahasiswa mulai pulang. Wilayah kos-kosan mulai sepi. Di tengah wabah di dekat keluarga tentu memberi rasa lebih nyaman.
Aku ingin sekali pulang, namun khawatir membawa virus ke keluarga. Beberapa teman menyarankan agar aku karantina mandiri selama 14 hari. Memastikan diri tidak terdapat virus. Belum genap dua minggu, USU mengumumkan lockdown. Orang tua kian mendesak aku untuk pulang. “Nanti bank tutup mau makan pakai apa? Udah tu pulang aja. Di sini sepi, virus lama masuknya,” suara ibuku di ujung ponsel. Memang dua kawasan tanah Gayo, Bener Meriah dan Aceh Tengah tidak seramai kota lainya. Mayoritas masyarakat yang merupakan petani kopi membikin physical distancing harusnya tidak sulit.
Aku menyetujui untuk pulang. Jumat, 28 Maret, aku memesan tiket bus ke Bener Meriah. Tidak ada. Hanya ada bus menuju Aceh tengah. Jika aku mau, mereka akan antarkan ke loket cabang Bener Meriah terlebih dulu. Aku setuju meski tidak dapat turun di depan rumah dan harus dijemput.
Hanya ada satu bus malam itu. Padahal, pada hari biasa satu perusahaan bus bisa memberangkatkan paling sedikit dua bus menuju Aceh tengah. Alasannya, penumpang sedikit dan manajemen harus mengurangi armada agar tidak rugi. Ini bus yang biasa ku gunakan ketika liburan. Biasanya, hawa bus selalu hawa mudik. Kebanyakan isinya mahasiswa yang ingin pulang kampung menghabiskan libur kuliah. Semua orang bercengkrama. Kabin bus yang dilengkapi pendingin penuh dengan berbagai macam makanan.
Aku menyiapkan diri agar terlindung dari virus. Menggunakan masker, hijab, kacamata dan kaus kaki, tak lupa hand sanitizer. Untuk mengurangi interaksi aku hadir di terminal 10 menit sebelum bus berangkat.
Setelah mengurus barang ke dalam bagasi dengan tergesa-gesa, aku naik. Bus yang memiliki muatan 32 penumpang ini, penuh. Semua orang menggunakan masker. Suasana mencekam terasa sekali. Tak ada oleh-oleh pada kabin. Tidak ada cerita. Orang menunggu dengan tenang.
Aku duduk dengan seorang laki-laki, ia mahasiswa dari salah satu universitas swasta di Medan. Ia mengenakan masker bedah, tangannya terus berada dalam kantong jaketnya, sesekali ia melihat jam pada ponselnya. Kami menyapa tanpa mengenalkan nama, bercerita tentang kampus masing-masing. Sama seperti USU, kampusnya juga lockdown.
“Dosennya pun enggak mau bimbing, kayak mana mau susun skripsi. Mending pulang, ke, bisa bantu mamak di kebun jauh lagi dari virus,” ceritanya.
Kami juga bercerita tentang berita online; beberapa ruas jalan di Medan akan dibatasi mulai keesokan harinya. Kami menduga-duga tentang bus yang tidak dapat lagi beroperasi akibat kebijakan baru ini berlaku. Karena bus menuju Aceh Tengah hanya berangkat malam hari tepat saat jalan ditutup.
Bus berjalan, lampu dimatikan, orang-orang memilih tidur. Kecuali lelaki di belakangku yang terus batuk dan bicara lewat ponselnya menggunakan bahasa Aceh, tidak pasti apa yang diceritakan. Sepertinya, ia mengabari seseorang di seberang sana mengenai Corona di beberapa daerah.
Teman sebangkuku juga sudah menutupkan mata. Aku menarik selimut ke atas kaki, meski dingin aku enggan menutupi kepala, khawatir selimut ini belum didesinfektan. kunyalakan lagu dari daftar putar Hindia, menggunakan earphone, dan mulai tidur.
Aku terbangun ketika seorang bapak naik ke atas bus. “Bang, bang. Turun. Bawa KTP, turun,” ucap bapak tersebut sepanjang lorong bus dengan logat Gayo.
Orang mulai menggeliat dari tidurnya. Aku melihat keluar, ini wilayah perbatasan antara Bener Meriah dan Aceh Barat Daya. Banyak orang di luar, beberapa mengenakan seragam tentara dan polisi. Aku berpikir ini pemeriksaan rutin, beberapa kali saat naik bus kami memang diperiksa. Tidak hanya data diri tapi juga barang bawaan. Aku kurang tahu alasan pemeriksaan rutin, entah karena kami daerah bekas konflik atau terkenal dengan ganja.
“Yuk turun,” ajak teman sebangkuku.
“Kan cuma laki-laki yang disuruh,” jawabku. Semua orang sama bingungnya, apakah seluruh penumpang turun atau hanya laki-laki. Bapak tadi kembali naik.
“Ayo, Bang turun, bawa KTP-nya. Cepat” ujarnya sekali lagi. Teman sebangkuku dan laki-laki lainnya mulai turun. Tak lama kemudian supir bus naik dan memberitahu seluruh penumpang harus turun.
Aku turun dari bus. Di luar terdapat sebuah posko. Dua orang laki-laki menggunakan seragam biru dengan lambang palang merah di lengannya duduk di sana. Mereka mendata penumpang. Kami dibagi menjadi dua barisan, laki-laki dan perempuan. Aku ikut mengantri dan mulai sadar ini pencegahan penyebaran virus corona. Kami mengantri serapat yang kami mau tidak ada aturan untuk mengantri dengan menjaga jarak seperti yang harusnya dilakukan. Tidak ada petugas yang menggunakan pelindung diri, beberapa di antara mereka beberapa kali bahkan menyeka wajah.
Suhu tubuhku diukur, mereka meminta KTP, menanyakan nama, asal kota, tujuan, dan nomor ponsel. Mereka juga menanyakan keluhan demam, batuk, pilek, dan sesak.
“Nanti kalau sampai rumah jangan pergi-pergi sampai dua minggu, ya.” Ucap petugas. Aku mengangguk.
Kami juga dihimbau mengabari rumah sakit terdekat jika demam, batuk, pilek, dan sesak. Seluruh penumpang boleh melanjutkan perjalanan termasuk laki-laki batuk di belakangku tadi.
Teman sebangkuku bertanya apakah kami masih jauh untuk berhenti makan. Aku baru sadar kami tidak singgah di Matang, kota yang terkenal dengan satenya. Perjalanan Medan-Aceh Tengah memakan waktu 12 jam. Biasanya, bus akan berhenti di Matang, penumpang akan makan, membeli oleh-oleh, atau sekadar merenggangkan badan. Hari ini tidak ada. Mungkin karena pembatasan kegiatan malam mulai berlaku di Aceh.
Sampai di Bener Meriah, di beberapa titik keluar masuk kota telah berdiri posko pendeteksi corona. Semua kendaraan dari luar kota ditahan dan diperiksa. Aku mulai membaca berita lokal, Bener Meriah telah membentuk tim Percepatan Penanganan Covid-19, pemerintah daerah Bener Meriah melarang orang yang tidak memiliki KTP setempat untuk masuk wilayah Bener Meriah, kecuali pedagang kebutuhan pokok dan keperluan mendesak lainnya. Hingga saat ini Bener Meriah telah memiliki 30 orang dalam pengawasan (ODP), dan 2 PDP. Aceh sendiri memiliki 5 pasien positif corona.
Sebagai upaya pencegahan penularan virus corona setiap pendatang baru diwajibkan melapor ke puskesmas terdekat. Sampai di rumah, Kepala dusunku memberi tahu agar aku melapor ke poliklinik desa. Aku melapor ke sana. Suasana cukup ramai, kebanyakan adalah santri yang mondok di luar kota hingga pulau Jawa.
Pemeriksaan seperti di posko kembali dilakukan, formulir bertuliskan ODP dilingkari. Kami diminta datang setiap tiga hari sekali selama 14 hari. Mereka yang memiliki penyakit terindikasi gejala corona dirujuk ke puskesmas.
“Ko enti tangkuh-tangkuh boh, tengkam Satpol PP kahe. Datamuni nge ikirim online,” jelas petugas Poliklinik desa mengingatkanku agar tidak keluar rumah dengan bahasa Gayo. Ia tidak menggunakan masker dan kami semua tidak menjaga jarak. Aku hanya tersenyum dan mengangguk.
Aku berstatus ODP dan harus karantina mandiri. Seluruh pendatang baru juga harusnya begitu. Pemerintah Bener Meriah memang mulai melakukan pencegahan. Namun, rasanya itu hanya seremonial saja, tak ada yang dicegah sama sekali.
Petugas pencegahan corona sendiri tidak memberikan contoh pencegahan, misalnya bagaimana menggunakan masker yang baik, kebersihan tangan, dan jaga jarak. Virus dapat dengan mudah menyerang para petugas pencegahan corona itu sendiri.
Larangan keluar rumah dengan ancaman bakal “ditangkap Satpol PP” tidak membantu pencegahan apa-apa. Para pelajar mungkin terinfeksi dan takut untuk keluar rumah, namun tidak menjaga jarak dengan keluarga. Keluarganya dapat ikut terinfeksi dan mereka bebas keluar rumah. Maka, tak ayal virus akan berkeliaran di tanah Gayo. Alasan Gayo belum memiliki pasien positif mungkin karena tidak terdeteksi atau seperti kata ibuku, di sini lebih sepi.
*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Suara USU 2017-2019, hingga akhirnya dibredel oleh rezim kampus. Pasca pembredelan, penulis kini merintis Badan Otonom Pers Mahasiswa (BOPM) Wacana.
Sumber foto: Wikimedia Commons