Barangkali takdir sial adalah nasib Pascual Duarte, miskin, dan seorang pembunuh yang kejam. Kenapa?
Baiklah, nasib sial Pascual berkembang biak di sebuah desa pinggiran yang panas, gersang dan banyak babi. Desa itu terletak di provinsi Bajados. Keluarga Pascual tumbuh tak sebagaimana lazimnya. Ia hidup bergumul dengan kekejaman. Nasib sial datang seperti makhluk halus, menggerogoti keluarganya. Mulai dari ayahnya, Esteban Duarte Diniz, meskipun penganut Katolik yang taat, ia tetaplah seorang pemabuk berat yang suka mengamuk. Ayah Pascual mengalami tekanan mental selama mendekam dalam penjara, ia masuk bui karena kasus penyelundupan yang dilakukan selama bertahun-tahun. Sedangkan ibu Pascual yang buta huruf, juga seorang pemabuk, takut akan air, dan gampang naik pitam, meskipun masalahnya sepele, sehingga sering menimbulkan keributan dalam keluarganya.
Nasib buruk itu kian sempurna, ketika tokoh aku mengatakan seperti ini: Ayah dan ibuku sama sekali tak rukun. Mereka dibesarkan dalam kesulitan, tak diberkati dengan sifat-sifat khusus yang baik, dan tak mau pasrah pada nasib. Keributan dalam keluarga Pascual hampir setiap hari terjadi, dan celakanya, Pascual menyaksikannya. Setiap hari, setiap ayah dan ibunya bertengkar, Pascual harus menerimanya dengan perasaan berat. Tapi, meskipun demikian, ia tak memihak salah satu dari mereka. Dengan bahasa lain, ia tidak suka menjadi wasit dalam pertarungan sepak bola. Ia membiarkan pertengkaran itu terjadi dan berakhir dengan sendirinya, sampai mereka lelah, sampai mereka kebal dari kekerasan demi kekesaran yang sedang terjadi, atau yang akan terjadi.
Kejadian-kejadian kejam ini, kelak membuat Pascual menjadi seorang pembunuh. Namun, ia harus melakukannya untuk suatu kedamaian, setidaknya bagi keluarganya sendiri. Ia melakukan kekejian. Dalam kacamata Freud, untuk meredakan superego. Karena secara tak sadar, menginginkan hukuman untuk menghilangkan rasa bersalahnya. Kekejian seperti itu, sebenarnya, karena egoisme dalam diri Pascual sangat kuat, sehingga superego tidak bisa diredam dan akhirnya membuat ia lemah, lalu butuh membunuh. Misalnya, Lola, istri pertamanya, saat mengalami keguguran ketika terpelanting jatuh dari kuda, kemudian Pascual mengambil pisau dan membunuh kuda itu. Yang kedua, Pascual membunuh ibunya sendiri karena dianggap hama, ketika ia baru menikah dengan istri keduanya, Esperanza: Kami baru menikah kira-kira dua bulan ketika aku menyadari bahwa ibuku mulai berulah jahat. Perbuatan-perbuatannya sama dengan yang dilakukannya sebelum aku dipenjara. Darahku mendidih melihatnya selalu cemberut, air mukanya masam penuh penghinaan. Melalui faktor-faktor tersebut Pascual kehilangan kendali, dan tanpa diinginkan, ia melakukan tindakan kriminal. Seolah-olah tindakan kriminal tersebut berasal dari gangguan mental yang didera Pascual.
Selanjutnya, kasus pembunuhan yang dilakukan Pascual, secara moral, termasuk dalam kategori actus reus. Artinya, ia melakukan tindakan keji tanpa adanya dorongan atau paksaan dari orang lain, ringkasnya, tindakan itu jelas-jelas murni kemauan dirinya yang tak bisa dielakkan, akibatnya mens rea (adanya niatan melakukan perilaku) menjadi tidak utuh. Apakah Pascual korban sekaligus pelaku? Apakah kejahatan Pascual termasuk kejahatan personal atau impersonal? Jika kejahatan yang dilakukan Pascual dikatakan personal, ia toh merugikan orang lain, misalnya kuda dan ibunya sendiri. Dan jika kejahatannya dikatakan impersonal, ia sendri adalah korban dari keadaan yang tak bisa dihindari begitu saja.
Dalam pengakuannya, ia menulis: Kenangan masa kecilku tak terlalu menyenangkan. Pascual tumbuh dewasa dari keluarga miskin yang kasar, hari-harinya penuh dengan benturan-benturan psikologis atau percekcokan akan pikirannya sendiri. Satu sisi, ia adalah orang tertutup, dan sangat terobsesi dengan sesuatu yang mengganjal yang kerap kali datang mengganggunya. Tetapi di sisi yang lain, ia memiliki pikiran cukup cerdas sekaligus kemauan untuk menantang keadaan. Keadaan yang menjerumuskan dirinya menjadi sosok pembunuh sepanjang hidupnya.
Aku tak membuang-buang waktu dan segera bersiap untuk melarikan diri. Ada hal-hal yang tak boleh ditunda, dan ini adalah satu di antaranya. Kutuangkan seluruh isi kotak uangku ke dalam sakuku, kutuangkan isi lemari makan ke dalam pelanaku, dan kulemparkan semua beban pikiranku yang jahat dan firasat jelekku ke dalam sumur. Demikian pengakuan Pascual saat hendak meninggalkan rumah terkutuknya.
Ia berpikir, dengan meninggalkan rumahnya kelak akan meraih semacam ketenangan, dan pola pikir yang berbeda. Namun, ketika menjejaki kota Madrid selama dua tahun, nasib sialnya tak serta merta menjauh, malah semakin mendekatinya. Bahkan setiap detik ia merasakan kekejaman manusia-manusia yang hidup di kota dengan cara yang sama sekali berbeda.
Pertama kali datang ke kota itu, pertama kali pula ia melihat kejahatan yang sedang dilancarkan oleh seorang pencopet. Jika semua persediannya hilang dicuri, katanya, maka tak bisa melanjutkan suatu perjalanan yang ingin ia capai. Akhirnya, ia menunggu matahari terbit. Sedangkan nasib sial kedua terjadi di suatu pelabuhan La Coruna, ketika ia hendak berlayar ke Amerika. Nasib sial muncul setelah gagal merayu agen perkapalan (penjaga loket) karena kondisi keuangannya tidak memadai. Kemudian, dengan perasaan murung, ia kembali ke rumahnya. Havana dan New York hanya tinggal sebuah cerita nisbi, yang bersarang di otaknya.
Terlepas dari kondisi sosial-politik pengarangnya, Camilo José Cela, membaca novel Keluarga Pascual Duarte, seperti menyaksikan nasib buruk dan kekejaman seseorang yang harus ia terima sebagai suatu keniscayaan. Novel ini ingin melihat eksistensi moralitas manusia dari sudut pandang orang keji, atau penganut paham nihilisme. Selain itu, novel ini merupakan studi tentang psikologi rasa takut, sifat agresif yang tumbuh dari rasa takut, rasa malu, dan mengenai rasa bersalah tentang kedua perasaan tersebut.
Judul: Keluarga Pascual Duarte | Penulis: Camilo José Cela |Penerbit: Gramedia Pustaka Utama | Cetakan: Cetakan pertama 1996 | Tebal: x + 168 Hlm |Peresensi: Rusydi Firdaus