Home BERITA Kartu Pra-Kerja Tak Mengobati Masalah PHK di Tengah Pandemi

Kartu Pra-Kerja Tak Mengobati Masalah PHK di Tengah Pandemi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Jika Kartu Pra-Kerja diperuntukan sebagai obat pengangguran, maka ia tak menjawab problem PHK di tengah pandemi.

Lpmarena.com- Pada kondisi pandemi seperti ini, orang butuh bantuan langsung untuk memenuhi kebutuhan hidup, bukan pelatihan kerja dalam bentuk kartu. Problemnya bukan pada kemampuan tenaga kerja, tapi banyak dari pekerja yang terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).

Pada diskusi online yang diselenggarakan HMI Cabang Sleman, bertajuk Kartu Pra-Kerja, Obat Wabah PHK? (01/05), Romo Benny Hari Juliawan, pengamat perburuhan, mangatakan program Kartu Pra-Kerja itu tidak efektif untuk menjawab persoalan PHK yang muncul karena pandemi.

“Penyakitnya, orang kehilangan daya beli karena tidak lagi bekerja, obatnya kursus online. Nah, kan, tidak nyambung,” terang Romo Benny yang juga sebagai pengajar di Universitas Sanata Dharma.

Idealnya, kata Romo Benny, pemerintah seharusnya memenuhi dua hal sebagai jaminan pengangguran akibat PHK. Pertama, bantuan langsung tunai (BLT). Sebab, seseorang yang kehilangan nafkah, kebutuhan utamanya adalah uang. Dengan adanya uang tunai, mereka bisa kembali berpartisipasi dalam perekonomian.

Kedua, jika Kartu Pra-Kerja ini diperuntukan sebagai jaminan pengangguran, walau untuk saat pandemi ini tak tepat, mestinya memikirkan pelatihan yang efektif dan sesuai dengan kondisi penganggurnya. Seperti jenis lapangan pekerjaan yang tersedia, kualitas pelatihan dan akses terhadap pelatihan itu.

Dalam kasus Kartu Pra-Kerja, menurut Romo Benny, kualitas pelatihannya dinilai terlalu ringan dan tidak sebanding dengan tarif yang ditawarkan. Baginya, segmen dalam pelatihan tersebut sangat tertentu. Jenis keahlian yang difasilitasi pun, merupakan keterampilan dengan pekerjaan perkotaan. Padahal, banyak orang di daerah yang tidak punya akses ke jenis pekerjaan kantoran.

“Kalau dengar kesaksian beberapa orang, kesan saya, ini pelatihannya mau dibilang remeh malu saya, takut saya,” celetuk Romo Benny.

Selain tak tepat sasaran, Menurut Romo Benny, Kartu Pra-Kerja juga problematis sejak dalam konsep. Salah satunya, keterlibatan kementrian yang menangani program tersebut.

“Namanya Kartu Pra-Kerja, tetapi ditangani oleh Menko Perekonomian. Mestinya, [ditangani-red] Kementerian Ketenagakerjaan. Menko, kan, bukan melaksanakan program yang teknis sifatnya,” jelas Romo Benny.

Pada diskusi yang sama, Hafidz Arfandi, peneliti Institute Harkat Negeri, menganggap kemunculan Kartu Pra-Kerja di tengah pandemi pun menjadi masalah lain. Terkesan program ini lahir secara prematur, tidak melalui persiapan matang. Akibatnya, pelaksanaannya melenceng dari tujuannya sebagai skill development fund (SDF) dan jaminan pengangguran.

Kata Arfandi, masalah itu bisa dilihat dari adanya bentrokan kebijakan yang dikeluarkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) RI Nomor 36 Tahun 2020 tentang Pengembangan Kompetensi Kerja Melalui Program Kartu Pra-Kerja dan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) RI Nomor 3 Tahun 2020 tentang peraturan pelaksanaan Perpers tersebut.

Dalam Perpres pasal 5 ayat 4, dijelaskan bahwa pelatihan penerima Kartu Pra-Kerja dapat diselenggarakan secara daring atau luring. Sementara dalam Permenko, pelatihan penerima Kartu Pra-Kerja hanya diselenggarakan melalui platform digital. Platform digital ini berperan sebagai kurator lembaga-lembaga pelatihan.

“Kalau arahnya hanya platform digital, ini hanya akan sangat menyulitkan dari sisi inequality kita di dalam akses internet dan sebagainya. Itu akan sangat ribet,” tutur Hafidz.

Lebih lanjut, dalam Perpres disebutkan bahwa pelatihan diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pasar kerja. Tetapi, dalam Permenko yang berperan sebagai pengatur detail program tersebut tidak terdapat kejelasan siapa yang menentukan standar kompetensi.

Bagi Arfandi, pembangunan sekema pelatihan yang sasarannya tidak jelas, akan menyebabkan lost opportunity tenaga kerja. Problem macam ini, kebijakan pemerintah yang tidak jelas dan inkonsistensi mereka justru akan berdampak pada lemahnya investasi, tidak mendukung dunia usaha.

Menurut Arfandi, dalam kondisi pandemi seperti ini, lebih baik pelatihannya digagalkan, dana tunainya digunakan untuk mengurai masalah PHK. “BLT-nya yang 600 ribu kali empat itu aja yang dikasih, pelatihannya dipending. Apa susahnya seperti itu?” tanya Arfandi.

Jika pandemi ini berlanjut melampaui Juni 2020, lonjakan angka PHK tidak terhindarkan. Negara seharusnya berperan untuk memberikan dukungan yang jelas kepada mereka.

Reporter: Nur Hidayah

Redaktur: Hedi