Lpmarena.com- Hari Buruh Internasional atau kerap disebut May Day selalu diperingati pada tanggal 1 Mei. Tahun ini, serikat buruh tidak menggelar aksi demonstrasi jalanan untuk menyuarakan hak-hak buruh, mereka terpaksa tetap di rumah, karena efek pandemi.
Hal itu dipaparkan oleh Irsyad Ade Irawan, Juru bicara Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY. Menurutnya, saat ini buruh tengah menghadapi dua masalah besar, yakni masalah pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Lapangan Kerja atau sering disebut RUU Cilaka dan dampak pandemi terhadap kerentanan buruh. Merespon hal tersebut, Serikat buruh telah mengirimkan press rilis dan melakukan audiensi dengan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Yogyakarta, Kamis (30/04).
Mereka menuntut agar pemerintah mencabut Omnibus Law dan melindungi hak-hak buruh ditengah pandemi.
Irsyad menyatakan bahwa pemerintah baik pusat maupun daerah telah gagal melindungi buruh. RUU Cilaka, menurutnya hanya berpihak pada kepentingan pengusaha dan para pemilik modal, sehingga meminggirkan hak-hak buruh. Wabah Corona juga berdampak pada seluruh lapisan, terkhusus bagi para buruh, setidaknya lebih dari 2 juta buruh di Indonesia terancam Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
“Harus kita ketahui bahwa DPR RI atau pemerintah itu mayoritasnya pengusaha, mereka juga penentu kebijakan di negara kita. Jadi, tak heran kalau semua adalah kepentingan mereka,” ungkap Irsyad dalam diskusi perburuhan dengan tajuk “Nasib Buruh di Tengah Pandemi dan Penolakan RUU Cipta Lapangan Kerja” yang diadakan oleh ARENA, Jumat (1/05).
Menurut data yang dilaporkan MPBI, secara nasional akibat wabah Corona, terdapat 2.084.593 buruh terkena PHK dan dirumahkan. Sebanyak 1.304.777 buruh dirumahkan dari 43.690 perusahaan. Dan sebanyak 241.431 buruh terkena PHK dari 41.236 perusahaan, serta 538.385 buruh informal kehilangan pekerjaan.
Sementara di Yogyakarta hingga awal April 2020, yang terdampak sebanyak 14.055 buruh. Dengan rincian 258 terkena PHK, sisannya 13.797 buruh dirumahkan, mereka berasal dari 307 perusahaan. Serta dari sektor informal, ada sebanyak 374 buruh kehilangan pekerjaan.
Ada beberapa alasan dari penolakan buruh terhadap RUU Cilaka. Pertama, karena ada konsep kerja baru yang mengakibatkan buruh sangat rentan terkena PHK. Kedua, tentang sistem pengupahan yang berpotensi memiskinkan buruh, melalui penghapusan Upah Minumin Kabupaten/Kota (UMK) dan Upah Minimum Sektoral (UMS). Ketiga, penghapusan batas waktu perjanjian kerja. Keempat, maraknya Outsourcing atau alih daya. Dan kelima, ketidakjelasan dalam pemberian cuti.
Irsyad juga menyayangkan, banyaknya perusahaan yang tidak menjalankan proses PHK sesuai dengan amanat Undang-Undang 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Seharusnya, PHK tak boleh dilakukan sembarangan, sampai ada putusan lembaga perselisihan hubungan industrial.
“Jika mengharuskan PHK, peran pemerintah melalui Dinas Ketenagakerjaan adalah memastikan buruh tetap mendapatkan pesangon dan haknya,” tegasnya.
Dalam sesi terakhir diskusi, Irsyad juga menyampaikan ultimatum terhadap pemerintah, selama Omnibus Law belum dibatalkan, selama itu pula buruh terus memperkuat diri, dan meningkatkan solidaritas.
Reporter: Kristinawati
Redaktur: Ajid
Sumber foto: https://www.cnbcindonesia.com/