Home SASTRACERPEN Sebotol Bir Dingin untuk Erwin

Sebotol Bir Dingin untuk Erwin

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Reyhan Majid*

Untuk Joey, tetaplah bekerja pada jalan sunyi ini. Gemuruh itu harus tetap kita siapkan.

Malam itu aku terduduk di pinggir sungai. Menenggak sebotol bir dingin sembari mendengarkan lagu Wish You Were Here dari Pink Floyd.

Aku tidak sedang dalam rangka merasakan apa-apa. Bukankah aku tidak harus merasakan apa-apa. Semua ini bukan pilihan. Aku tidak perlu menyesali apapun. Akupun tidak perlu menafsirkan apapun, semua memang seharusnya seperti ini.

Hidup sungguh tidaklah indah. Dan hanya itu yang kita punya. Kita hanya terus berupaya menambal kebocoran disana dan sini.

Kita hanya melawan patah, menolak lupa dan berjudi rasa.

Omong kosong.

***

Barangkali Sapardi Joko Darmono berlebihan. Meskipun kodrat puisi itu berlebihan, aku tetap menganggap Sapardi kelewat berlebihan. Menjadi abadi sungguh berlebihan menurutku. Berapa banyak penderitaan yang akan menerpa keabadian yang tak berujung.

Daripada harus abadi sekalipun itu bersama Sutri, aku lebih suka berharap beberapa malam di hidupku punya waktu yang lebih panjang.

Seperti malam ketika kedua orang tua ku tersenyum melihatku lahir, atau malam ketika aku mencumbu tubuh Sutri untuk pertama kali. Aku yakin dalam hal ini Om Okan akan sepakat denganku.

Lagipula saat ini aku menduga tidak ada yang lebih menyenangkan daripada menghirup aroma tahi manusia. Atau mungkin memandangi permukaan sungai yang hampir separuhnya tertutup buih busa. Pemilik pabrik di pinggiran ibu kota sungguh pelit soal dana pengolahan air limbah.

***

Matahari sudah diatas kepala. Tetangga di kanan dan kiri rumahku berangsur habis. Mereka sudah pergi bekerja. Ada yang menjadi PRT, ojek online, tapi kebanyakan pergi ke kantong-kantong parkir hadiah ormas yang mereka ikuti. Yang tidak kebagian lahan parkir masih menekuni dunia judi togel.

Siang hari begini rutinitasku adalah bertengger di warkop Mpok Yayuk. Maklum saja aku pengangguran.

Dua bulan lalu aku dipecat dari sebuah warung makan. Aku muntah diatas sepiring cap-cay rebus. Karena takut dimarahi oleh pemilik warung, aku tetap menghidangkannya ke pelanggan. Aku terlalu mabuk hari itu, dan seseorang bertanggung jawab atas hal ini.

“Mpok, Kopsus satu ya!” mintaku.

Mpok Yayuk selalu melayaniku dengan wajah masam, setengah niat , dan berat hati.

Aku memiliki bercangkir-cangkir kopsus yang pembayarannya selalu kutunda. Siang ini aku tambah satu cangkir lagi. Mungkin satu-satunya alasan Mpok Yayuk masih sudi melayaniku karena dia termakan omonganku dan percaya suatu saat aku akan sukses dan akan membuatkannya sebuah warung di Komplek Ruko Kalibata. Jelas konsumennya bukan pengangguran sepertiku tetapi orang berdasi dengan sepatu hitam klimis yang mengkilap.

Rokok baru saja kubakar. Kuhisap sedalam mungkin sambil mendangakkan kepalaku ke langit-langit warung. Lewat rongga mulut yang kubuka sedikit, asap mengepul pelan dari sana. Dramatis. Layaknya adegan ruh yang keluar dari tubuh di film-film horror.

“Erwin!” Suara pria umur 40-an terdengar dari ujung jalan memanggilku. Menjengkelkan.

Dia adalah Yadi Shalih. Rekan pengangguranku di kampung ini. Dia juga musuh Mpok Yayuk. Siang ini dia tambah juga satu cangkir.

Kerjaanya mabuk-mabukan. Dia penyebab aku dipecat dua bulan lalu. Saat itu dia melarangku pergi bekerja kalau tidak dalam keadaan mabuk.

Dari kebiasaanya mabuk-mabukan, dia merasa nama belakang Shalih terlalu berat diemban. Toh bilangnya, keshalihan tidak bisa menghindarkan manusia dari penderitaan. Oleh sebab itu obat penenangnya harus ada 24 jam, mabuk-mabukan!

Dia juga benci dipanggil Yadi. Sehingga semenjak sepulangnya ke kampung ini setahun yang lalu, dia minta dipanggil dengan nama Om Okan. Tamat sudah nama Yadi Shalih.

Sebelum kembali ke kampung ini. Om Okan menghabiskan waktu 10 tahun di sebuah desa kecil bernama Taliya di Nusa Tenggara Timur. 143 km dari Kota Kupang kearah timur. Disana dia bekerja pada sebuah LSM yang bergerak di bidang pembangunan masyarakat.

Dalam penuturannya, Om Okan berkata kebiasaanya mabuk-mabukan terbawa dari sana. Menurutnya minuman terbaik ada di wilayah itu. Sopi kepala namanya. Itulah sebabnya dari sekian ajakan mabuk di kampung ini, Om Okan selalu memasukan Sopi Kepala dalam proposal ajakannya. Entah darimana dia masih mampu mendapatkanya.

Nama Okan juga dia dapatkan dari sana. Dalam tutur bahasa uab meto yang digunakan sehari-hari disana, okan berarti Semangka. Kebetulan sekali kepala Om Okan sangat mirip dengan semangka; bulat, lonjong, dinding kepalanya bengkak ke sisi kanan dan kiri, plontos tentu saja, dan karena kebiasaannya mabuk-mabukkan wajahnya seringkali berwarna merah. Mirip isi semangka.

Dalam satu sesi mabuk disana, seorang pemuda yang juga sudah sama-sama mabuk spontan berkata,

“Hey Okan! Su mabuk ko?”

Dari situlah nama Okan akrab sampai sekarang. Sisanya hanya cerita kerinduan yang tidak ada habisnya. Membosankan.

Dia duduk disampingku. Meminta sebatang rokok kepadaku sebelum memulai percakapan.

“Berapa banyak pilihan pekerjaan dan aku masih menganggur saja. Kurangajar,” aku membuka obrolan.

“Memang ada berapa banyak pilihan?”

“Omong kosong dengan pilihan-pilihan itu,” jawab Om Okan

“Aku jadi teringat semasa aku kuliah dulu. Ketika berbicara soal kerja dan kesuksesan, maka yang keluar adalah nama Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dan Bill Gates.”

“Ketika kegagalan menghampiri, nama yang keluar juga Steve Jobs, Mark Zuckerberg, dan Bill Gates. Mereka ke Drop Out dan tetap mampu menjadi miliarder.”

“Kegagalan dan kesuksesan itu bukan pilihan. Tapi jalan-jalan yang sudah disediakan dan ada buku panduannya,” ringkas dia.

“Omong kosong,” jawabku.

“Hey Erwin, apakah nongkrong di siang hari ketika semua sibuk bekerja dan bisa mabuk-mabukan setiap saat bukan bentuk kesuksesan?”

“Pilihan ini hanya tidak dilakukan oleh Steve Jobs atau Mark Zuckerberg, jadi tidak bisa disebut kesuksesan, setidaknya juga tidak disebut kegagalan,” jawabnya sambil tertawa terbahak-bahak.

“Ada baiknya kamu meminta izin ke kelurahan untuk menjaga WC umum di pinggir sungai kampong,” tiba-tiba Mpok Yayuk ikut menimbrung.

Sebuah saran yang sangat mengangguku. Jujur saja obrolan ini membuatku penat. Aku ingin buru-buru menemui Sutri.

“Pekerjaan macam itu, sungguh tak sudi aku!” aku menjawab singkat lalu pergi meninggalkan Om Okan dan secangkir kopsus yang jelas tidak dibayar.

Satu-satunya alasan aku masih bisa bahagia barangkali adalah Sutri. Dia adalah hal paling baik yang pernah aku punya. Selain kedua orang tuaku tentunya.

Dia selalu punya sejuta cara untuk membuat aku bahagia dan semangat menjalani hidup. Menyenangkan dan memalukan dalam waktu sama.

Sudah hampir satu bulan sejujurnya kami tidak bertemu. Dan sudah hampir sebulan pula sejujurnya Sutri berubah. Dia tinggal bersama ibunya yang sakit-sakitan. Dia harus membiayai pengobatan ibunya.

Namun nasib buruk, gelombang PHK sedang ngetren di dunia industri. Buruh-buruh secara sopan dirumahkan, dan secara frontal di PHK. Termasuk Sutri.

Kami tidak bisa bertemu karena Sutri harus menjaga ibunya dirumah sakit. Penyakitnya semakin parah. Dalam keadaan sekarat ibunya minta dipulangkan saja. Sutri menolak. Tapi sejujurnya ini adalah sebuah isyarat bahwa ibunya tahu tabungan Sutri sudah hampir habis.

Sutri tak bisa menolak permintaan ibunya. Menurutnya haram hukumnya membantah sang ibu. Mereka pulang menggunakan taksi. Dalam perjalanan menuju rumah, ibunya meninggal dalam keadaan tersenyum. Mungkin menurut sang ibu, tak ada yang lebih menyenangkan mati sembari melihat lanskap kota yang kian berantakan. Daripada harus mati di bangsal sempit nan panas yang dihuni hampir 10 orang. Dia mendobrak pilihan yang ada. Dia tahu akan menuju tempat yang lebih baik. Mungkin.

Di suatu malam dua hari pasca obrolan menjengkelkan di warkop Mpok Yayuk aku bertemu Sutri di Jembatan sungai kampung. Tempat favorit pemuda lokal untuk memadu kasih.

Seperti yang aku bilang sebelumnya. Sutri masihlah murung. Membuat pertemuan malam itu sangat dingin dan senyap. Hampir setengah jam kami hanya membuat kontak mata. Sesekali aku menggenggam tangannya, mencoba menenangkannya.

Tapi malam itu Sutri sungguh berbeda. Matanya teduh. Dia juga terlihat matching dengan setelan dress ala tahun 80-an berwarna kuning dan ujung yang berenda-renda.

Aku berusaha membangun obrolan. Menumbuhkan harapan di dada sutri, yang mungkin sekarang sedang serupa palung.

“Polisi baru saja meringkus beberapa orang dari rumah di kampung seberang, mereka kedapatan berpesta narkoba.”

“Lagi dan lagi ormas mengamuk, menolak rumah ibadah lain dibangun di wilayah kekuasaan mereka.”

“Tidakkah kamu merasa dunia kian tidak ramah untuk masa depan kita kelak?”

Malam itu aku berusaha membangun fantasi soal tatanan masa depan yang indah dengan Sutri. Beberapa kepelikan kujabarkan agar kemudian kami punya pilihan tentang bagaimana merangkai masa depan yang tenang dan nyaman. Tinggal di desa, misalnya, merawat ternak, bercocok tanam, suara knalpot yang tidak begitu banyak, dan udara segar yang baik untuk tumbuh kembang buah hati kami kelak. Meskipun bukan jaminan di sana akan penuh toleransi. Sekali lagi, setidaknya udaranya segar.

“Dalam kepercayaan Buddhis, Siddharta Gautama pernah berkata bahwa semakin engkau menderita, semakin engkau tercerahkan.”

“Dalam kepercayaan yang lain, ada Rumi yang berkata bahwa obat derita ada dalam derita itu sendiri. Ia mengumpamakannya sebagai goresan luka, yang diperlukan agar cahaya bisa masuk ke tubuh kita,” cepat Sutri membalas.

Sutri malam ini berbeda sekali. Sejak kapan dia akrab dengan kata-kata semacam itu.

“Beberapa kawan sejawatku masih bisa menafsirkan keindahan di kala ditinggal mati suaminya.”

“Yang lain berkata bahwa ditinggal pergi kekasih adalah cara Tuhan mempertemukan seseorang dengan yang baik. Berbahagialah”

“Bukankah fitrahnya ditinggal pergi orang yang kita sayang itu sedih ya?” tambah Sutri, seakan tak merasa cukup.

Sedari tadi aku sudah menyelipkan sebatang rokok pada lekukan diantara kuping dan dinding kepalaku. Tapi lagi-lagi Sutri memaku perhatianku. Malam ini dia adalah wajah dari ketenangan. Aku menjadi segan untuk membakar rokokku. Siapa yang tahu asap rokok akan membuat dia kehilangan ketenangannya.

“Manusia akan selalu dibuat sibuk dan kerepotan mencari obat penenang untuk dirinya.” Kali ini suara Sutri lebih pelan. Tidak berbisik, hanya pelan sekali.

“Berusaha lari dari kenyataan-kenyataan yang dekat atau membuat tafsiran menyenangkan dari sebuah penderitaan.”

“Aku tidak paham.” Aku memberanikan diri memotong pembicaraanya.

“Aku ingin sebotol bir dingin,” minta Sutri.

Tidak biasanya dia minum. Dan tidak biasanya juga aku mengiyakan sesuatu yang mungkin akan berdampak buruk untuk Sutri.

Aku bergegas ke warung Mpok Yayuk. Pada malam hari warkop Mpok Yayuk menjelma bar. Dia menjual berbagai merek minuman, kecuali Sopi Kepala. Ini dia lakukan untuk menjaga warungnya tetap hidup setidaknya sampai kubelikan warung baru di komplek Ruko yang mewah itu.

Di sana ada Om Okan bersama beberapa pemuda. Mereka sedang mabuk, tentunya. Sopi Kepala dan ciu cap tikus tampil kompak malam itu.

“Holla Erwin, jarang sekali kamu beli bir.”

“Ada apa?”

“Kau memang sedang ada uang atau butuh obat penenang dari penderitaanmu?”

Seperti biasa Om Okan selalu cerewet ketika mabuk. Dan seperti biasa pula, ia selalu mengakhiri kecerewetannya dengan tawa lepas dan nyaring.

“Aku sedang tidak ingin Sopi Kepala, tenggorokanku selalu terbakar ketika meminumnya.”

Sesingkat itu aku menjawab dan segera kembali menemui Sutri. Meninggalkan Om Okan yang melanjutkan cerita-ceritanya soal Taliya ke pemuda-pemuda itu.

Sesampainya di jembatan aku sudah tidak menemui Sutri. Aku hanya menemukan sepucuk surat dan Walkman kesukaannya. Dia juga menyisakan sisa obrolan tadi yang masih menggelayut di pikiranku.

Sutri sudah mengangkat sedikit dress cantiknya. Naik ke pinggir jembatan, lalu lompat dengan mata tertutup.

Di sungai itu aku tidak bisa melihat apapun. Hanya permukaan yang separuhnya tertutup buih busa.

Aku mencari bangku yang terbuat dari semen. Bentuknya tidak simetris, dan berada di tepi sungai. Aku duduk disana dan membaca sepucuk surat dari Sutri.

“Erwin aku mencintaimu dengan segala kekuranganmu. Semoga begitupun sebaliknya. Aku sangat merindukan ibuku. Dan selayaknya dendam, rindu harus dibayar tuntas. Kamu tidak perlu bersedih dan kamu tidak perlu menafsirkan apapun. Selamat menikmati sebotol bir dinginmu! Dengarkan juga lagu kesukaanku di Walkman kesukaanku. Lagu terakhir yang didengar ibuku di dalam taksi.”

Seminggu setelah kejadian itu, aku mengiyakan saran Mpok Yayuk dan Om Okan.

Bekerja sebagai penjaga wc umum kampung dan mabuk setiap saat. Menghirup aroma tahi manusia dalam keadaan mabuk sungguh luar biasa. Setidaknya dengan cara ini aku bisa selalu dekat dengan Sutri di sungai sambil mendengarkan laku kesukaanya.

Dan setidaknya dengan cara ini aku paham obrolanku dengan Sutri dan Om Okan. Hidup sungguh tak memberi pilihan. Kita hanya pintar menafsirkan yang indah-indah. Omong kosong.

*Penulis adalah mahasiswa Ilmu Pemerintahan UMY, mencintai musik dan demonstrasi.

Ilustrasi gambar: @doomyjunkie (Instagram)