Home KANCAH Didi Kempot Telah Pergi dan Akan Terus Dikenang

Didi Kempot Telah Pergi dan Akan Terus Dikenang

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Oleh: Zaim Yunus

Hari lalu, 5 Mei 2020, Didi Kempot berpulang. Ia mengembuskan napas terakhirnya di usia 58 tahun. Kabar kematiannya mengagetkan semua orang. Saat warta itu tiba, tak ada yang menyangka. Sebab, sudah barang tentu, perihal perpisahan tak ada orang yang benar-benar siap. Dan, ketidaksiapan itulah yang membikin setiap perpisahan—apa pun penyebabnya—selalu menuntut rasa legawa.

Didi Kempot sudah sejak jauh hari mengajari kita keikhlasan itu. Lewat lagu-lagunya, seniman kelahiran Surakarta ini menemani kisah kasih yang bernasib buruk. Lord Didi mengajak kita berdendang merayakan ngerinya hidup. Ia membuat kita merenungi cinta manusia yang sangat rapuh dengan meriah.

Salah satunya dalam lagu Tenda Biru. Betapa tidak, berkisah tentang buruh dekor yang memasang tenda di resepsi pernikahan kekasihnya, lagu itu seolah menyerang langsung titik lemah manusia. Tendo biru sing noto kuwi tanganku / Adus kringet ngrewangono resepsimu. Kurang lebih artinya begini:“Yang menata tenda biru itu tanganku. Bermandi keringat membantu resepsimu”.

Dengan begitu, tak mengherankan bila Sindhunata dalam obituari yang dimuat koran Kompas, edisi 6 Mei 2020, menuliskan bahwa  “Di tengah mengganasnya Covid-19 yang membuat ambyar hidup manusia, kematian The Lord of Ambyar ini bagaikan sebuah warta Zarathustra”. Dengan mengutip Zarathustra, Sindhunata meneruskan, “Kulihat sedang datang kesedihan luar biasa tentang manusia. Bahkan mereka yang terbaik pun lelah dengan segala jerih payahnya. Sebuah ajaran datang, diiringi kepercayaan: semuanya hampa belaka”

***

Didi Kempot adalah musisi yang menegaskan bahwa manusia kadang butuh waktu untuk merengek ketika kenyataan meleset dari harapan. Dan, menjadi “cengeng” itu sah dan wajar. Semua orang butuh menangis. Jadi, untuk menemani seluruh tangisan itu, sang maestro mencipta lagu. Lalu, muncullah satu kata pemungkas yang merangkum semua itu, “Ambyar”.

Kini, karya Didi Kempot sudah dianggap sebagai katarsis patah hati. Yang lantang menyanyikan lagu-lagu tentang cinta yang kecewa, terluka, dan bernasib blangsak. Lagunya bahkan biasa dinikmati banyak kalangan, lintas tempat, generasi, dan kelas. Saking populernya, Anda bisa mendengar lagu-lagu campursari Didi diputar di bus kota, terminal, rumah pak RT, pos ronda, hingga kafe-kafe di pusat kota.

Namun, kepopuleran Didi tak datang begitu saja. Dan, ambyar tak hanya terjadi di dalam lirik lagunya. Hidup Dionisus “Didi” Prasetyo tak jauh dari kata ambyar. Bahkan mungkin, lagu-lagunya merupakan hasil dari gambaran momentum yang dekat dengan kehidupannya.

Sejak kecil, Didi Kempot telah akrab dengan kehidupan yang keras dan runcing.  Ia memulai karirnya sebagai musisi jalanan di Stasiun Balapan, Solo, pada akhir tahun 1980-an, sebelum akhirnya berpindah ke Ibu Kota. Di Jakarta, ia tak terlalu mujur. Tak jarang ia tidur di emperan toko setelah lelah mencari nafkah dari mengamen.

Hidup Didi Kempot tampaknya memang ditakdirkan untuk berkesenian dan, tentunya, menghibur para pesakitan. Dedikasinya untuk musik keroncong tak main-main. Bahkan, ia lebih memilih mengamen dari pada menamatkan sekolah menengah pertamanya. Itu pun tak mudah. Untuk membeli gitar sebagai modal ngamen, ia harus terlebih dahulu menjual sepedanya. 

Bagaimanapun, Didi mewarisi darah seni ayahnya, Ranto Gudel. Ranto merupakan seniman jempolan dari Solo yang naik daun karena mencipta lagu Anoman Obong yang konon jadi simbol fenomena sosial dan  alam supranatural kala itu. 

“Rasanya tidak bisa meninggalkan mereka. Saya merasa, mungkin di sanalah [red: seniman jalanan] keluarga dan rumah saya yang lain,” ujar Didi kepada wartawan Suara Merdeka tarikh 2000. Menurut beberapa kabar, nama belakang “Kempot” yang disandang Didi pun merupakan akronim dari “Kelompok Penyanyi Trotoar”, kelompok tempat Didi berproses hingga namanya melejit ke panggung musik papan atas.

Mengenang Masa Jaya Didi Kempot

2019 bisa disebut tahun kembalinya musisi berjuluk The Godfather of Broken Heart. Sebenarnya, legenda campursari satu ini karirnya tak pernah benar-benar surut. Ia hanya bernyanyi di tempat yang tak banyak kita kunjungi.

Menurut berita yang dimuat Kompas, tahun 2019 adalah kembali berjayanya campursari. Selama ini, campursari identik dengan kata “kuno” dan dekat dengan stigma musik orang tua. Namun, kali ini berbeda.  Sebagian milenial yang menamai diri sad bois dan sad girls datang menegasikan wacana tersebut. Buktinya, saat Didi Kempot manggung di Taman Balekembang, Juni 2019, penonton yang membludaki konser dari kalangan anak muda.

Kepopuleran Didi ini terbukti, bulan lalu, ketika menggelar “Konser Amal dari Rumah” bersama Kompas TV, ia berhasil mengumpulkan donasi sebesar Rp7,6 miliar dari 30 ribu donatur. Rencananya, dana yang terkumpul itu digunakan untuk masyarakat yang terdampak pandemi COVID-19.

Dulu, era dekade pergantian abad, Didi sudah jauh naik daun. Misalnya, pada tahun 2000, saat ia mulai terdongkrak lewat album Stasiun Balapan. Di tahun itu pula ia melawat ke mancanegara untuk tour show ke berbagai kota di Belanda dan Suriname. Kala itu, ia berada di puncak kesuksesan. “Saya sampai sulit menghitung jumlah persisnya kaset dan CD album saya di Eropa dan Amerika,” ujar Didi dalam berita yang dimuat koran Suara Merdeka, edisi 16 Mei 2000.

Namun, kejayaan itu, sekarang adalah bagian dari utas sejarah musik Indonesia. Sosok Didi Kempot telah pergi dan akan terus dikenang.

Tentu saja, Mei tahun 2020 akan jauh berbeda dengan Mei empat lustrum lalu. Seperti dikabarkan Suara Merdeka, 22 Mei 2000, Didi Kempot beberapa kali diisukan meninggal dunia. Padahal, ia hanya terjebak macet.  Alhasil, kehadiran pelantun lagu “Cidra” ini pun mengagetkan banyak penggemarnya saat itu.

Tetapi, sekarang tidak lagi. Didi Kempot benar telah pergi. Dan, sudah tak tersedia waktu lagi untuk kita berucap selamat tinggal. Namun, jika boleh saya mengutip sepenggal puisi Subagio Sastrowardoyo, “kematian hanya selaput / gagasan yang gampang diseberangi / tak ada yang hilang dalam perpisahan, semua / pulih.” Kini, Lord Didi telah berada dalam tidur yang lebih lelap. Selamat jalan. Terima kasih.

*Zaim Yunus, pembaca sastra, pendengar musik dan aktivis hukum.