Home CATATAN KAKI Seperti Pablo, Buruh Terbentuk Dari Kemarahan, Dendam dan Teror

Seperti Pablo, Buruh Terbentuk Dari Kemarahan, Dendam dan Teror

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Ketika setiap keluarga merasa posisi tidak dilindungi negara, sebuah kemarahan besar yang terakumulasi, sebuah dendam dari produk hukum yang hadir tidak untuknya, dan teror-teror yang disebabkan sebuah sistem yang mempecundanginya.

Oleh: Ajid Fuad Muzakov*

Lewat film kita belajar banyak hal. Ia memberi banyak sekali pengalaman, yang bahkan kita tidak tau ternyata ada hal semacam itu di suatu tempat, di dunia ini. Film seringkali membawa kita dalam dunia terang, dan paling gelap sekaligus. Kita bisa terbawa masuk kedalam film tersebut, menjadi warga negara yang baik: mencintai produk-produk dalam negeri, taat membayar pajak, dan tentu saja mencintai polisi. Tapi bisa juga, membawa kita sebagai salah satu mafia paling berpengaruh, menyusuri dunia paling gelap: penyelundupan, suap politisi, serta mengancam polisi.

Secara garis besar keduanya sama, membutuhkan dasar, alasan sebagai manusia taat, atau paling bajingan. Bisa berwujud dendam maupun cinta.

Dalam serial Narcos, Pablo Escobar mempunyai kedua dasar tersebut. Saya punya perhatian lebih ketika keluarga Don Pablo diancam. Saat itu, Pablo mendapat ancaman dari banyak sisi, Los Pepes, pemerintah Kolombia, dan aliansi kartel. Karena tak bisa menyentuh Pablo, mereka membuat ancaman melalui orang-orang terdekat Pablo, membunuh segala tentang Pablo. Demi keamanan, Pablo mengirim keluarganya ke Jerman, namun pemerintah Kolombia menghalanginya. Pablo mengancam pemerintah Jerman, membunuh semua warga Jerman di Kolombia, mengebom Frankfrut, Munchen dan pesawat Lufthansa. Pablo marah, dan ingin melihat langit terbakar bubuk mesiu. Pablo memasang Seratus kilogram bahan peledak C-4, meledakkan bom itu sedekat mungkin dengan istana Presiden.

Dalam banyak film, keluarga seringkali menjadi dasar paling kuat untuk membentuk karakter, dan alur cerita. Narcos adalah contoh sempurna, begitupun Itaewon Class dan juga Crash Landing on You. Meski terkesan sangat tak adil menempatkan kedua film tersebut satu kalimat dengan Narcos, tapi dalam banyak film, keluarga memang pondasi yang kokoh. Bisa menjadi dasar atas semua hal.

Saat pandemi COVID-19, karena satu dan lain hal, banyak orang memilih menahan penderitaan diperantauan. Dapat dipastikan, salah satu dari lain hal itu adalah takut membawa virus bagi keluarga.

Anda memilih menetap di perantauan, tanpa pacar tanpa teman, mendekam di kamar berukuran 4×3, memandangi dinding dan langit-langit kamar, semuanya tak berubah. Kehampaan murni. Kekosongan yang menandakan ketiadaan semata, kenihilan. Dalam kekosongan itu, Anda bersandar pada dinding, memegang gawai, menghisap rokok dalam-dalam, kemudian mengirimkan foto ke WAG keluarga, sebuah mie instan ketika buka puasa tadi, lalu Anda menuliskan “Selamat sahur semuanya, aku baik-baik saja :(“.

Saat ini, ketika pandemi benar-benar menjadi momok yang benar-benar mematikan, banyak sekali keluarga yang terdampak, kaya–miskin, semuanya rata. Tapi, tentu saja keluarga miskinlah yang paling merasakan dampaknya. Segalanya terlihat mengancam, keberlanjutan pekerjaan, masuknya ajaran baru sekolah, dan mulai menipisnya bumbu dapur untuk membuat opor. Semua itu dihadapkan dengan kebijakan srampangan pemerintah dalam menangani pandemi. Barangkali mereka melihat kematian begitu jelas dan nyata.

Meskipun mereka menjerit dalam kegelapan, suaranya takkan masuk ke telinga siapapun.

Pada September 2019 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, jumlah penduduk miskin di Indonesia sebanyak 24,79 juta jiwa. Sangat mungkin jika jumlahnya saat ini meningkat tajam. Pandemi Corona membatasi akses bertatap muka, menutup bisnis-bisnis yang mengharuskan perjumpaan fisik, mewajibkan karantina wilayah, keluarga rentan menjadi keluarga miskin. Diantara 24,79 juta jiwa tersebut, tentu saja banyak sekali buruh-buruh pabrik yang terkena PHK dan dirumahkan.

International Labour Organization (ILO) mencatat, terdapat 2,7 miliar buruh diseluruh dunia terdampak efek ekonomi pademi corona. Bentuknya, mulai dari pengurangan jam kerja, dirumahkan, cuti tanpa gaji, hingga PHK. Ada empat sektor paling buruk menurut ILO: perdagangan ritel dan grosir, manufaktur, real estate, serta transportasi dan restoran. Terdapat 1,2 miliar pekerja yang terdampak di sektor tersebut, setara 38 persen dari total angkatan kerja global.

Sementara di Indonesia, kata Menko Perekonomian Airlangga Hartanto, setidaknya lebih dari 2 juta buruh di Indonesia terdampak pademi corona. Saat ini, 80 persen perusahaan tekstil dan produk tekstil menghentikan produksi. Tanpa ada insentif, 70 persen perusahaan tekstil akan bangkrut. Dan, rincian buruh yang terkena dampak pandemi: sebanyak 375 ribu buruh mengalami PHK, 1,4 juta buruh dirumahkan, dan 314.833 buruh di sektor informal terkena dampak.

1 Mei 2020, bertepatan dengan hari buruh, pada sebuah sore yang biasa saja, setelah saya membaca dan meresapi kata-kata Airlangga Hartanto. Pikiran naif saya muncul: Seandainya negara melalui produk hukum-nya berpihak pada buruh, seandainya posisi buruh dihadapan pengusaha lebih kuat, seandainya pihak yang memiliki otoritas tak menuntut meloncati batas kemampuan si buruh bekerja, seandainya pendidikan anak buruh dan hari tua dijamin oleh negara dan perusahaan, seandainya si bos tak selalu membuka apel pagi dengan “kita percaya, pabrik kita akan lebih jaya”, mungkin buruh tidak terlalu terteror habis-habisan oleh pandemi.

Di Yogyakarta, Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi DIY mencatat terdapat 14.055 buruh terdampak pandemi Corona. Diantaranya 258 di PHK, 13.797 dirumahkan dari 307 perusahaan. Dan 474 sektor informal terdampak.

Ini persoalan serius, setiap buruh yang terkena PHK dan dirumahkan adalah satu dari bagian keluarga. 258 buruh tersebut bisa jadi, tidak bisa mencari pekerjaan lagi, di masa seperti ini hampir tidak ada yang membuka lowongan pekerjaan.13.797 buruh yang dirumahkan juga sama, meski tidak di PHK, setatusnya juga tidak jelas. Mereka bisa saja menjual makanan untuk berbuka dipinggir jalan, dan tentu saja resiko terkena corono cukup tinggi, tapi ayolah, penduduk Jogja mayoritas mahasiswa, kampus libur, dan mereka pulang kampung.

Di tengah pandemi, dan lebaran sebentar lagi, semua keluarga membutuhkan kebutuhan lebih, untuk merayakan hari kemenangan. Mereka berada di lingkungan yang mempunyai kebudayaan memakai baju baru saat lebaran, menyiapkan beraneka makanan untuk kerabat yang berkunjung, memberi angpao lebaran kepada anak-anak, singkatnya, menikmati hari kemenangan tanpa kekawatiran. Jika pemerintah tidak benar-benar hadir, melindungi buruh, misalnya dengan memastikan hak-hak buruh benar-benar diperoleh: memastikan perusahaan yang masih beroprasi menerapkan physical distancing, pesangon bagi yang di-PHK secara penuh, tanpa cicil, dan paling lambat H-7 lebaran.

Pada 6 Mei lalu, Mentri Ketenagakerjaan mengeluarkan Surat Edaran No.M/6/HI.00.01/V/2020 tentang pelaksanaan pemberian THR 2020 di masa pandemi corona. SE tersebut kurang lebih membolehkan pembayaran THR dilakukan dengan mekanisme sesuai kesepakatan antara Buruh dan perusahaan, sementara kita tau, tanpa adanya SE tersebut, THR seringkali diabaikan oleh perusahaan. Lewat itu, jelas keberpihakan pemerintah bukanlah pada buruh, pemerintah melepaskan tanggung jawab pada buruh, dan membiarkan buruh yang posisinya rentan dihadapan perusahaan bernegosiasi sendiri.

Jika pemerintah dan buruh masing-masing berdiri di dua ujung dunia yang terpisah jauh, dan tak ada kata yang dapat menjembatani. Saya khawatir akan terjadi semacam ‘ledakan’. Benar, sejak awal kita membahas jutaan bom. Ketika setiap keluarga merasa posisi tidak dilindungi negara, sebuah kemarahan besar yang terakumulasi, sebuah dendam dari produk hukum yang hadir tidak untuknya, dan teror-teror yang disebabkan sebuah sistem yang mempecundanginya. Dalam situasi seperti ini, semuanya bisa terjadi.

Kita tentu mengingat, pada 136 M, budak-budak Sisilia memberontak selama beberapa tahun. Ketika Romawi menjadi kekaisaran, keberadaan Tribun Rakyat tidak sepenuhnya meredam konflik kelas. kaum patrisius yang menguasai Senat masih bisa berbuat sewenang-wenang dengan merampas tanah atau harta kaum Plebeius. Satu persatu lahirlah anggota Tribun Rakyat yang melawan Senat. Perjuangan kelas yang muncul-tenggelam akhirnya berujung pada kemunduran total peradaban Roma.

Indonesia bisa saja digelayuti awan hitam perlawanan buruh. Karena, dalam titik tertentu, seperti halnya Pablo Escobar, buruh terbentuk dari kemarahan, dendam dan teror.

*Ajid Fuad Muzakov, PU LPM Arena. Sebagai buruh rentan, beliao butuh kemarahan besar dan masif untuk revolusi

Ilustrator: Firdan Haslih