Karena koneksi internet buruk dan tidak merata, kuliah daring jadi tak optimal. Subsidi kuota internet untuk mahasiswa pun tidak ada, meski UKT tetap dibayar secara penuh.
Lpmarena.com- Kualitas internet Indonesia termasuk yang terendah dan koneksinya rentan terganggu. Kecepatannya pun jauh di bawah rata-rata dunia. Per Januari 2020, berdasarkan data yang dikeluarkan oleh Hootsuite, kecepatan Internet Indonesia rata-rata hanya 20,1 Mbps sementara kecepatan rata-rata dunia yang mencapai 73,6 Mbps. Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerald Plate membeberkan penyebabnya ialah bentangan geografis.
Sedang pengguna internet kian melonjak. Lebih-lebih setelah penerapan kebijakan Work From Home (WFH) sejak Maret lalu. Menurut Menkominfo, data lonjakan kebutuhan internet justru tidak dari penduduk kota, melainkan dari desa-desa. Kebutuhan internet ini pun terjadi pada berbagai kalangan, termasuk mahasiswa.
Semenjak presiden secara resmi mengumumkan kasus Covid-19 pada 2 Maret lalu, perguruan tinggi di Indonesia mengalihkan seluruh kegiatan belajar-mengajar secara daring atau Study from Home (SFH). Beberapa mahasiswa telah pulang ke kampung halamannya sebelum beredarnya surat tentang pensterilan kampus hingga akhir Maret.
Zaenal (bukan nama sebenarnya), salah satunya. Mahasiswa Ilmu Komunikasi tersebut pulang sehari sebelum pengumuman lockdown. Ia pun urung kembali ke Yogyakarta setelah membaca surat edaran nomor 63.1 tentang Proses Pembelajaran di UIN Sunan Kalijaga.
Dalam Surat tertulis, kegiatan belajar mengajar dilaksanakan secara daring selama semester genap. Inilah yang membuat Zaenal acapkali kesulitan dalam menyesuaikan kondisi. “Sejujurnya orang-orang seperti saya ini adalah orang-orang yang terdampak secara langsung dengan ketidakefektifan kuliah seperti ini,” keluhnya.
Zaenal tinggal di Pati, tepatnya dekat dengan perbatasan Blora. Fasilitas internet di rumahnya sulit dijangkau, sehingga ketika seluruh kegiatan belajar mengajar beralih ke daring, ia perlu mencari koneksi yang stabil ke tempat lain. “Jika ada tugas, harus mau menempuh jarak 16 kilometer terlebih dahulu,” ungkapnya.
Meskipun begitu, kampus telah bekerja sama dengan dua provider yang memberi layanan bebas akses situs e-learning universitas. Keringanan itu bagi Zaenal tak cukup membantu. Sebab provider tersebut pun sulit dijangkau di daerahnya. Ia hanya dapat menggunakan salah satu provider yang tidak menyediakan akses gratis situs e-learning.
Dengan adanya pembelajaran daring, fasilitas internet yang memadai merupakan kebutuhan utama. Mahasiswa mengharapkan biaya kuliah untuk layanan sarana dan prasarana kampus supaya dialokasikan pada persoalan tersebut.
Berdasarkan survei Penelitian dan Pengembangan (Litbang) ARENA, yang paling dibutuhkan mahasiswa untuk kuliah daring adalah kuota internet. Sebanyak 60,9% dari responden mahasiswa mengalami kendala dengan fasilitas internet.
Kendala serupa pun dialami Novennia Aini Zarkasih mahasiswi Ilmu Perpustakaan. Hanya saja Noven tidak seperti Zaenal yang tinggal di pelosok. Hingga kini Noven masih menetap di indekos sebab belum bisa pulang ke kampung halaman di Kalimantan. Koneksi internet di area tinggalnya masih cukup bersahabat.
Noven memaklumi kondisi yang ada. Meski baginya kuliah daring tak cukup efektif. Masalah muncul ketika terdapat penugasan secara berkelompok. Respons anggota kelompok lambat. Ada pula anggota kelompok yang sama sekali tidak terhubung atau offline.
Saat diskusi berlangsung, banyak dari temannya hanya menjadi penyimak obrolan (silent reader). Diskusi daring pun cenderung memakan waktu yang lama. “Soalnya kan, ngetik. Belum lagi lagging, mikirin kata-katanya.” terangnya.
Terkait beban penugasan yang banyak dikeluhkan, justru tak begitu menjadi hal. Noven seringkali mengalami kendala teknis seperti gangguan jaringan ketika kuliah daring hingga kehabisan kuota. Kalau kuliah dilaksanakan melalui video pertemuan, terkadang koneksi terputus dan ia terpental dari forum. Hal itu tak hanya terjadi padanya. Jam kuliah terpaksa berlangsung lebih lama dari SKS yang ditentukan.
“Jujur, rasanya beda gitu. Mungkin karena tidak biasa atau karena isolasi. Tapi, kelas online makin lama makin bikin stress.” keluh Noven.
Meskipun memakan biaya lebih, menurutnya kuliah online akan lebih efektif ketika memakai media berbasis video pertemuan. Atau paling tidak, materi oleh dosen diberikan penjelasannya, baik melalui rekaman suara maupun media lain. Namun mempertimbangkan pengeluaran kuota internet, diskusi kemudian banyak dilakukan melalui Whatsapp Group. Hal tersebut senada dengan hasil survei Litbang Arena, hampir separuh responden menyatakan komunikasi belum berjalan efektif.
Kesulitan Memahami Materi
Sistem perkuliahan daring yang berjalan sepenuhnya diserahkan kepada dosen. Sehingga mekanisme pembelajaran yang diterapkan bervariasi. Belum ada satu ketetapan yang sama. Sejumlah mahasiswa mengeluhkan pemberian tugas yang dilimpahkan mahasiswa pada awal-awal penerapan kuliah daring. Penugasan secara daring berbeda dengan pemberian materi. Noven menilai yang diterapkan pada awal itu adalah penugasan daring.
Noven dan mahasiswa lainnya hanya tak ingin penugasan yang diberikan terlalu memberatkan melebihi penugasan seperti biasanya ketika pembelajaran tatap muka. “Karena kelas online saat karantina ini stressnya bukan hanya disebabkan pembelajaran. Jadi yang diadakan itu kelas online, bukan penugasan online,” papar mahasiswi semester enam tersebut.
Saat ditanyai mengenai apa masalah ketika pembelajaran banyak dilakukan dengan penugasan Noven menjawab retoris, “Kalau kamu dikasih tugas tanpa penjelasan dosen, ngerti tidak?”
Data survei Litbang Arena menemukan bahwa 46,2% mahasiswa sangat sepakat mengalami kesulitan dalam memahami materi. Itu selaras dengan Noven yang mengeluhkan ketidakpahamannya terhadap suatu materi ketika tanpa diberi penjelasan. “Ada beberapa mata kuliah yang gak ngeh karena cuman dikasih materi atau disuruh belajar sendiri.”
“Saya pribadi juga mengeluhkan hal ini (penugasan online). Karena pada beberapa kesempatan tugas yang diberikan cukup berat dan hanya diberi waktu singkat. Yang menjadikan penugasan online berat itu karena mata kuliah cukup banyak, ditambah dengan laporan praktikum. Kalau di rata-rata tugas dalam seminggu itu antara 4-5 tugas, sudah termasuk laporan praktikum.” kisah Dewi Vitama Pusfitasari, program studi Pendidikan Kimia.
Sistem daring juga diberlakukan bagi semua prodi yang didalamnya terdapat mata kuliah praktik, termasuk di jurusan Dewi. Tidak ada perubahan pada jumlah SKS serta capaian penilaian. Kegiatan praktikum dianggap tetap ada, meski beralihwujud menjadi diskusi via Whatsapp Group. E-learning biasanya hanya digunakan sebagai media presensi maupun pengunggahan tugas dan materi.
Data-data praktikum yang umumnya diperoleh mahasiswa di lapangan, kini disediakan oleh asisten praktikum. Sehingga di sini tugas mahasiswa hanya mengolah data menjadi laporan dan mendiskusikannya dalam group chat.
Dewi mengungkapkan beberapa kendala yang seringkali terjadi. “Kendala pasti ada, yang paling besar hingga saat ini kendalanya adalah sinyal,” katanya. Karena tidak setiap mahasiswa berada di lokasi dengan jaringan yang stabil.
Masalah tersebut memengaruhi ketidakefektifan waktu dalam praktikum. Sebab beberapa teman Dewi terkendala dalam mengirimkan materi bahan diskusi, terutama bila materi berupa video.
Meski begitu, Dewi cukup lega dengan fleksibilitas waktu yang ada. Ada kelonggaran untuk mendalami lebih lanjut dari sumber-sumber referensi. Namun ia merasa esensi dari praktik berkurang, sebab mahasiswa tidak menerapkan di lapangan metode praktikum yang didiskusikan.
Apalagi beberapa metode merupakan hal yang baru. Kata mahasiswi semester empat itu, hanya seperti membahas hal yang imajiner. “Tidak dapat kemampuan praktiknya dan bingung dengan tiap kondisi yang dipermasalahkan saat diskusi, karena sulit membayangkan hal yang belum pernah dilakukan.” terangnya.
Kemudian ARENA pun menghubungi Retno Aliyatul Fikroh, dosen Pendidikan Kimia. Alya, panggilan akrabnya, mengatakan bahwa pihak dosen pun kesulitan. Kemampuan praktikum mahasiswa di laboratorium tak dapat diukur. Ukuran sekadar terletak pada teori.
Praktikum yang dilaksanakan secara daring tersebut sulit untuk dinilai. Nilai praktikum yang seharusnya dinilai melalui kemampuan mahasiswa menggunakan alat praktik dialihkan dengan kemampuan mencari referensi saja. Paling tidak, ia hanya mengirimkan video ilustrasi praktikum agar mahasiswa memiliki gambaran akan praktikum yang seharusnya berjalan.
Kendati demikian, Alya menyadari adanya kendala pada mahasiswa ketika ia harus mengirim video materi. Mahasiswa yang tinggal di daerah susah sinyal kesulitan mengunduh video tersebut.
“Saya sebagai dosen tentunya memaklumi hal itu, dan perlu bijak dalam menilai hasil kerja mahasiswa,” kata Alya maklum.
Lalu mengapa praktikum tetap diadakan? Ini semua soal nilai. Nilai praktikum memiliki poin besar selain nilai responsi, asistensi, serta laporan praktikum. Praktikum juga bukan merupakan mata kuliah independen. Meski bobot SKS tetap, mata kuliah tersebut menentukan penginputan nilai.
Esensi Pembelajaran Daring
Sebelum imbas dari mewabahnya pandemi Covid-19, sistem pembelajaran daring telah diterapkan di beberapa perguruan tinggi di Indonesia. Pada tahun 2014, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi menginisiasi program Pembelajaran Daring Indonesia Terbuka dan Terpadu (PDITT).
Pada tahap awal hanya enam perguruan tinggi yang menerapkan sistem daring. Pembelajaran daring lantas menjadi hal baru untuk sebagian perguruan tinggi. Ia butuh adaptasi.
Dalam buku panduan Esensi Pengembangan Pembelajaran Daring yang disusun oleh Yusuf Biffaqih dan M Nur Qomarudin, terdapat beberapa prinsip pembelajaran yang harus dipenuhi. Kedua pihak, mahasiswa dan dosen, memiliki kebutuhan yang perlu didengar.
“Dari dosennya dalam memilih model pembelajaran dan media yang tepat sehingga tujuan pembelajaran tercapai,” ungkap Alya mewakili pihak dosen.
Media yang tepat adalah media yang mampu dijangkau oleh semua mahasiswa.
Selain itu, dari mahasiswa pun diperlukan keseriusan untuk turut belajar. Sehingga, kata Alya, tidak ditemukan mahasiswa yang lalai akan tanggungjawabnya mengikuti proses pembelajaran.
“Dari mahasiswa sendiri juga diperlukan semangat dan kerja keras untuk benar-benar belajar, sehingga tidak ditemukan mahasiswa telat mengikuti kelas online atau bahkan ketiduran,” lanjutnya.
Ia biasanya memantau kehadiran mahasiswa melalui e-learning. Dalam beberapa momen, kerap dijumpai mahasiswa yang tanpa keterangan, sama sekali tidak muncul dalam forum diskusi.
Ketika menggunakan video pertemuan pun seringkali mahasiswa mengeluhkan kuota internet yang banyak terkuras. Sinyal yang lemah dapat menjadi kendala tersendiri. “Bayangkan jika semua makul menggunakan Zoom, lebih banyak uang yg harus dikeluarkan mahasiswa,”
Bagi mahasiswa pembelajaran yang efektif ialah yang memperhatikan waktu sesuai dengan SKS yang ditetapkan. Kedua pihak, dosen dan mahasiswa dapat menerima feedback dari pembelajaran sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai dengan metode yang dipilih bersama.
Pembelajaran daring yang baik dan bermutu memerlukan penentuan capaian pembelajaran yang selaras dengan penilaian. Selain itu, aktivitas dan tugas pembelajaran harus disusun agar mahasiswa dapat mematok target pengetahuan, keterampilan dan sikap yang dibangun dalam proses belajarnya.
Pembelajaran daring harus menjamin keseimbangan antara kehadiran dosen memberi materi, interaksi sosial, serta beban kognitif.
Prinsip tersebut senada dengan tujuan pembelajaran daring sendiri. Kuliah online dinilai akan mampu meningkatkan mutu serta keterjangkauan pendidikan melalui multimedia. Lalu pembelajaran daring menjadi pemanfaatan sumber daya bersama untuk menekan biaya pendidikan.
Terkait biaya kuliah, Kementerian Agama Republik Indonesia pada 6 April lalu sempat mengamanatkan kepada seluruh PTKIN di Indonesia untuk mengurangi biaya UKT minimal 10%. Meski akhirnya imbauan yang diedarkan 6 April lalu itu telah ditarik kembali.
Menurut Noven, pengurangan dana UKT jika terealisasikan akan jauh bermanfaat bagi mahasiswa untuk memenuhi kebutuhan, termasuk internet. Lebih-lebih bagi mahasiswa rantau seperti dirinya yang masih mengisolasi diri.
“Kan kita gak gunain (fasilitas kampus-red). Maintenance buat gedung dan sarana prasarana bisalah paling enggak dikurangin dulu.” sarannya.
Kuliah daring ini juga membuat mahasiswa mengeluarkan biaya lebih untuk mengikuti pembelajaran. Sejak pembelajaran daring ini, dalam sebulan Zaenal bisa mengeluarkan biaya sebanyak Rp500.000,- lebih boros dari biasanya.
“Saya menjadi terberatkan. Ditambah adanya corona ini membuat penghasilan orang tua saya juga benar-benar menurun,” terang Zaenal.
Reporter: Dina Tri Wijayanti | Redaktur: Sidratul Muntaha Idham