Saya dulu percaya kalau memilih jurusan dan kampus itu soal hidup dan mati. Banyak sekali yang perlu dipertimbangkan mulai dari biaya, prospek hingga passion. Yang saya sebut terakhir itu ternyata paling omong kosong.
Saya pilih jurusan Sastra Indonesia di Unhas Makassar, kampung halaman saya, sebagai pilihan terbawah di SBMPTN. Di kesempatan lain, saya memilih jurusan Komunikasi Islam di UIN Jogja lewat jalur tes khusus perguruan tinggi Islam. Saya lulus dua-duanya, tapi tentu saja saya memilih Jogja, salah satu provinsi di Pulau Jawa.
Banjir berita tentang Jakarta dan kota-kota besar di Jawa bikin saya merasa Jawa adalah tempat yang tepat untuk menunaikan kehidupan kampus. Kata Ketua CC PKI Kawan Aidit, Jawa adalah kunci. Daerah selain Jawa anggap saja terra incognita.
Sedikit-banyak kini saya tahu bahwa media membentuk cara kepala orang bekerja. Jawa ternyata tidak kalah buruk. Hanya saja media terus-terusan memberitakan Jawa seakan-akan paling penting. Dan dulu saya kira tinggal di Jawa akan bikin hidup saya jadi penting. Saya mencoba mengingat satu fakta, bahwa kebanyakan orang Jawa yang saya kenal di Makassar adalah tukang bakso.
Ya, memang sejak Orde Baru ketika Soeharto dibaptis menjadi “Raja Jawa”, pembangunan terpusat di Jawa. Tapi, saya sekarang berkuliah di saat sistem UKT yang mahal diterapkan secara pukul rata di semua kampus negeri, menggantikan sistem SPP yang lebih murah. Itu belum ditambah ongkos hidup berupa sewa kos, ngopi, dan makan di burjo dan makan di burjo lagi dan seterusnya. Ongkos hidup tentu lebih murah kalau saya kuliah di kampung halaman.
Kuliah saya juga ternyata tidak guna-guna amat. Ada satu cuitan bajingan di Twitter bilang, “Capek2 kuliah komunikasi kalah sama lambe turah.”
Mahabenar cuitan itu meski kuliah tidak bikin saya capek lantaran di kelas saya lebih suka plendas-plendus. Saya mungkin tidak bakal menandingi lambe turah karena saya enggak gemar-gemar amat baca rumor dan gosip. Namun, saya cukup suka baca buku-buku tentang politik dan sejarah media. Salah satu buku itu berjudul Wars Within: Pergulatan Tempo Sejak Zaman Orde Baru, ditulis pakar media dan jurnalisme Janet Steele.
Jauh sebelum penabuh drum band punk, Jerinx SID bebas ngomong soal agenda-melawan-covid-19-adalah-konspirasi, arus informasi dari media massa dijaga ketat oleh pemerintah Orde Baru (Orba). Lempar kritik sembarangan bisa bikin surat izin penerbitan surat kabar dicabut. Pembredelan tidak melulu dijatuhkan lewat proses hukum. Karenanya, pemilik surat kabar perlu siap-siap bila ada panggilan telepon dari departemen penerangan.
Majalah Tempo adalah satu dari sekian ratus pers yang dibredel di masa itu. Padahal, Goenawan Mohamad (GM) dan para pendiri Tempo yang lain sudah bersikap mendua: jaga hubungan dengan pemerintah meski gatal mengkritik di saat yang sama.
Tempo didirikan 1971 oleh mereka yang dikenal sebagai “angkatan 66”, aktivis mahasiswa yang mengudal kekuasaan Soekarno bersama militer. Karenanya, Tempo punya hubungan khusus dengan beberapa pejabat tentara.
Pada awalnya, Tempo juga mendukung kebijakan teknokratik ekonom Berkeley di pemerintahan. Majalah investigasi itu juga punya kedekatan dengan beberapa pejabat penting. Eric Samola, pendiri Tempo, adalah bendahara Golkar, mesin politik Orba. Eks-Menteri Penerangan Harmoko pernah menjadi kolega GM di Harian Kami.
Keadaan ini, menurut penulis Catatan Pinggir itu, bikin Tempo mirip pesawat yang dibajak. “Jika saya tidak perhatikan sensor,” katanya, “penumpang pesawat akan jadi korban pertama.” Korban yang dimaksud adalah wartawan Tempo.
Kendati demikian, kemenduaan ini kadang menguntungkan. Setelah Tempo dibredel pertama kali di tahun 1982, Fikri Jufri (FJ), pendiri Tempo yang lain, melobi Menteri Penerengan Ali Moertopo agar majalah tersebut dibangkitkan dari mati suri.
“Lebih baik kita menjilat penguasa di luar, daripada kita menulisnya dan terpengaruh oleh itu.” kata FJ yang terus diingat dan diucapkan ulang oleh rekannya, Syu’bah Asa.
Benarkah tulisan Tempo tidak terpengaruh? September 1984, setelah rusah-rusuh antara kaum muslim dan tentara pecah di Tanjung Priok, Tempo menerbitkan empat halaman laporan, lebih panjang dari surat kabar lain yang cuma mengutip “sumber resmi”.
Pertama-tama Tempo menulis lead soal suasana Tanjung Priok yang mulai pulih pasca kerusuhan. Tempo lantas mengutip omongan Panglima ABRI Benny Moerdani. Isi kutipannya banyak omong kosong seperti sebagaimana umumnya pernyataan pejabat: keadaan akan segera pulih, pelaku adalah “oknum”, jumlah korban yang disebut jauh dari kenyataan.
Mendahulukan omongan pejabat adalah strategi penting yang sering menyelamatkan Tempo. Namun, pada pemberitaan Tanjung Priok, Tempo melemahkan “sumber resmi” dengan menginvestigasi kronologi kejadian. Yang mengejutkan banyak orang (dan bikin orang berpikir Tempo bakal kena bredel) adalah jumlah korban yang tertulis melebihi “versi resmi” pemerintah. Kontradiksi dalam liputan 22 September 1984 ini serupa doublespeak.
Tempo menang banyak. Laporan berjudul “Huru-Hara Tanjung Priok” itu ludes dan difotokopi ulang oleh pembaca. Laporan itu juga lolos dari sensor Orde Baru. Namun, tidak setelahnya.
Pemerintah militer itu melulu melihat pers seperti budak yang hendak melarikan diri. Pada 11 Juni 1994, Tempo menurunkan berita kontroversi rencana rezim Soeharto membeli 39 kapal perang bekas dari Jerman Timur. Surat izin penerbitan mereka dicabut sepuluh hari setelahnya, dengan alasan yang sama sekali tidak jelas.
Pada akhirnya, kemerdekaan Tempo seperti nasi. Dimakan jadi tai.
Lima tahun pasca pembredelan Tempo regulasi baru perihal pers dibuat. Undang Undang Pers Nomor 40 Tahun 1999 dibuat dan kebebasan saluran informasi dirayakan dengan berbagai cara. Salah satunya bikin pers baru. Dalam kurun waktu setahun saja sudah terbit 1.678 penerbitan.
Persaingan makin ketat. Meski media massa tidak lagi menjadi anjing pemerintah, banyak yang meyakini pers kini membebek pada pasar. Kompetisi tidak terhindarkan dan kebanyakan pengusaha media berakhir gulung tikar.
Ross Tapsell dalam bukunya Kuasa Media di Indonesia menulis, pers yang selamat dari persaingan adalah milik oligarki yang punya bisnis gurita. Surya Paloh, misalnya, sudah kadung tajir dan punya banyak aset mulai dari resor hingga menara kembar. Ia juga bisa memotong ongkos produksi redaksi karena menggarap bisnis surat kabar, stasiun tv dan media daring sekaligus
Dalam ekosistem digital, cara lain menghidupi media, yang sudah jamak diketahui, adalah menghamba pada tren di sosial media.
“A free press can, of course, be good or bad, but, most certainly without freedom, the press will be anything but bad.” kata Andreas Harsono.
Kita bisa sinting melihat fakta. Kesintingan itu bisa menjelma boikot terhadap media massa kritis macam tirto.id, seperti yang dilakukan Jerinx SID. Yang dilupakan oleh pembaca pemula Noam Chomsky itu adalah politik media bekerja dengan cara yang begitu kompleks. Terkadang mendua, kadang kejar traffic, kadang bicara integritas. 11 Juli 1987, 32 wartawan Tempo mengundurkan diri dan melakukan eksodus karena sejumput persoalan itu.
Pada titik ini, buku Janet Steele menjadi asupan sejarah dan ekonomi-politik media yang penting bagi pembaca. Bukan untuk melihat media sebagai sesuatu yang nista belaka. Melainkan agar pembaca punya prioritas informasi dan mengkonsumsi berita secara rasional.
Sepintas cerita: rumah produksi Watchdoc mengorbitkan film dokumenter berjudul Sexy Killers tahun 2019 lalu. Karya jurnalistik audio-visual itu membongkar kejahatan bisnis pertambangan, serta keterlibatan pemerintah dan politikus di dalamnya. Termasuk calon presiden, Jokowi dan Prabowo, yang maju dalam pemilihan umum di tahun yang sama.
Alih-alih terkejut dengan kerusakan yang dihasilkan oleh tambang batu bara, sebagian khalayak malah merutuki film itu karena dianggap menjelekkan calon presiden dari masing-masing kubu. Polarisasi akibat pilpres telah membuat mereka buta akan persoalan tambang. Mereka kini harus menerima fakta bahwa kedua calon menduduki kursi pemerintahan bersama-sama, dan Undang-Undang yang memuluskan bisnis kotor pertambangan baru saja disahkan.
Pascakebenaran, “matinya kepakaran” dan berbagai istilah disematkan oleh banyak pemikir atas ketololan itu.
Pada suatu diskusi ekonomi-politik media, seorang dosen komunikasi UGM yang jadi pemateri membentangkan berbagai persoalan yang dihadapi media. Dia frustasi dan menebar rasa frustasi itu ke peserta. Salah seorang peserta bertanya, apa solusinya?
“Kembali ke diri sendiri,” tukas beliau yang mirip ceramah Aa Gym. “Melemparkan persoalan struktural ke individu memang menjijikkan,” lanjutnya, mengakui. Tapi mau bagaimana lagi? Toh, di jurusan saya, Komunikasi Islam UIN, sudah jauh hari dikenal istilah sabar dan tawakkal. Begitulah.
Judul Wars Within, Pergulatan Tempo Sejak Zaman Orde Baru | Penulis Janet Steele | Penerbit Dian Rakyat | Tebal xix + 302 | Peresensi Sidra Muntaha. Diedit oleh Zaim Yunus.