Home BERITA Debu, Listrik dan Napas yang Sesak: Melihat dari Dekat PLTU Cilacap

Debu, Listrik dan Napas yang Sesak: Melihat dari Dekat PLTU Cilacap

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Selain menyumbang tenaga listrik, PLTU juga membuat warga menderita Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), bronkitis, batuk, dan gatal-gatal.

Lpmarena.com Danang Kurnia Awami membanting tubuhnya pada kursi panjang di salah satu ruangan LBH Yogyakarta, tempatnya mengabdi. Mukanya cemas dan matanya sesekali melirik ke attap ruangan. Pikirannya kacau. Dia sedang memikirkan skema advokasi untuk menolak kehadiran Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Cilacap. Karena, kebanyakan warga di sana sudah mengidap penyakit akibat limbah PLTU.

Penyakit yang diderita berupa Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA), bronkitis, batuk, dan gatal-gatal. Sudah saban hari warga menderita karena kekeringan air, udara kotor, tanaman mati, tercemar limbah, hingga suara bising yang semuanya diakibatkan pembangkit listrik itu.

Danang sapaan akrabnya, terakhir berkunjung ke Cilacap pada Sabtu, (7/12/2019). Ia berangkat pagi-pagi sekali, pukul 6, dan tiba di Cilacap sekitar pukul 11 siang. Selama di Cilacap, Danang tinggal bersama keluarga Biah (bukan nama asli) di Dusun Winong, Desa Selarang, Kecamatan Kesugihan, Kabupaten Cilacap. Di sana Danang tidur di rumah kosong milik anak Biah.

Alasan Danang tinggal di rumah Biah karena tidak jauh dari PLTU. Jaraknya kurang lebih sekitar 100 meter. Rumah Biah dan PLTU hanya dibatasi beberapa rumah warga. Kata Danang, wilayah itu masuk ke zona perindustrian.

“Idealnya 2 KM tidak boleh ada pemukiman,” jelas Danang.

Sambil menyeruput kopi, Danang lantas bercerita kalau pendirian PLTU di Cilacap itu dimulai tahun 2004. PT. Sumber Segara Primadaya (S2P) memprakarsai pembangunan unit satu dan dua PLTU yang memiliki kapasitas 2 x 300 megawatt. Pada 2006, mesin-mesin PLTU mulai beroperasi.

Setelah dua unit tersebut jalan, PT. S2P memulai ekspansinya dengan membangun unit ketiga berkapasitas 1 x 660 megawatt di tahun 2013. Unit tiga itu dioperasikan tahun 2016, tapi baru diresmikan Jokowi tiga tahun setelahnya.

Di tahun yang sama dengan unit tiga dioperasikan, PT S2P melakukan ekspansi yang lebih besar lagi. Ia membangun kapasitas yang jauh lebih dari tiga unit sebelumnya, yakni unit empat sebesar 1 x 1000 megawatt. Pembangunannya ditargetkan beroperasi pada tahun ini.

Keempat unit saling berdempetan. Terkhusus yang 1 x 1000 megawatt, berdirinya sangat dekat dengan tempat Danang mengnap. Lokasinya berdampingan langsung dengan pemukiman warga. Sebelah utara PLTU adalah pemukiman warga, di depannya terdapat hamparan sawah warga.

“Di sana [unit empat-red] lebih banyak rumah,” Danang berkisah.

Semasa tinggal di sana, Danang merasakan langsung polusi PLTU. Matanya sering kelilipan kala ia melewati jalan di dekat wilayah PLTU. Bernapas pun sulit, udara di sana sangat kotor dan membuat dada sesak. Padahal, Danang hanya biasa tinggal di Cilacap kurang lebih empat sampai enam hari.

“Ada situasi beda antara Jogja dan Cilacap.”

Nada suara Danang mulai lirih. Kakinya ditekuk, sembari memaparkan jumlah orang yang mengidap penyakit pernapasan. Data tersebut dikumpulkan Danang dari Puskesmas setempat.

Puskesmas Kesugihan mencatat: pada 2016, terdapat 10.481 warga terkena ISPA. Rinciannya, berjumlah 6.721 pengidap baru, dan 3.760 pengidap lama. Tahun selanjutnya ada 8.681 pengidap ISPA, rinciannya 6.069 baru dan 2.612 pengidap lama.  Lalu ada 3.360 warga terkena ISPA, terdiri dari 2.241 pengidap baru dan 1.119 pengidap lama pada Juni 2018.

Pengidap baru yang dimaksud adalah warga yang pada tahun itu baru saja dinyatakan mengidap penyakit ISPA. Sebaliknya, pengidap lama kata Danang, dihitung dari warga yang pada tahun lalu sudah mengkontrol di puskesmas.

***

Lain waktu, Saya bertemu Biah, Wanita yang diceritakan Danang. Di mata Danang, Biah digambarkan sebagai wanita yang kepeduliannya tinggi. Ia tidak hanya memikirkan nasibnya sendiri, tapi semua orang yang terus-menerus menghirup udara kotor.

Saya bertemu dengan Biah saat peluncuran Catatan Akhir Tahun (Catahu) LBH Yogyakarta (Kamis, 26/12/2019). Ia hadir dengan balutan kerudung bermotif bunga, celana hitam dan sendal cokelat. Di wajahnya terlihat senyum riang saat saya menemuinya di ruangan tengah kantor LBH Yogyakarta. Biah hadir bersama anak perempuannya dan seorang pemuda.

Rasa lelah Biah selama perjalanan Cilacap-Yogyakarta terobati. Baginya, sangat menyenangkan ketika bertemu dengan kawan-kawan yang membela dan bersimpati pada kondisinya dan warga lainnya.

Dengan logat ngapak khas Cilacap, ia mulai bercerita tentang dampak lain dari PLTU. Saat itu, pada akhir tahun 2016, pernah terjadi sesuatu di sekitar rumahnya. Salah seorang tetangga sekitar rumah Biah berteriak. Ia terkejut, saat melihat sungai kecil di deket rumahnya meluap. Airnya seketika banjir.

Padahal itu adalah limbah cair PLTU yang saluran pembuangannya bocor. “Saya ingat betul,” tegas Biah.

Air limbahnya mengalir menuju sawah dan sungai pemukiman warga. Sejak saat itu, tumbuh-tumbuhan secara perlahan mati. Air sumur menjadi kotor dan bikin gatal-gatal.

Sumur Biah pun pernah kekeringan. Ia setiap hari membeli air untuk kebutuhan makan dan minum sehari harinya. Sedangkan, untuk mandi, Biah bersama keluarganya harus mengangkut air dari sumur warga yang tidak kekeringan. Padahal di tahun-tahun sebelumnya, wilayah sekitar rumah Biah tidak pernah kekeringan.

Biah menduga kekeringan di sumurnya dan hal serupa yang menimpa tetangganya diakibatkan PLTU. “Ada yang kering, ada yang warnanya kekuningan, rasa airnya aneh dan airnya bikin gatal-gatal,” tutur Biah

Selama itu, tidak ada tindak lanjut dan upaya untuk menyelesaikannya. Baik dari pemerintah maupun yang lainnya. Warga terus menderita.

Sampai pada tahun 2018, Biah beserta warga lainnya melakukan aksi protes di Kantor Bupati Cilacap. Mereka menuntut persoalan air segera dibereskan. Warga juga mengundang ahli dari Universitas Diponegoro, Dwi Sasongko dan Sugeng Widodo, untuk menelusuri kondisi air tanah dangkal di sekitar PLTU Cilacap.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa kekeringan ternyata disebabkan karena kegiatan pembangunan PLTU Cilacap tahap IV: tahap konstruksi. Dalam tahap itu, pemasangan pipa pipa bawah tanah dilakukan yang berbuntut pada kegiatan dewatering.

Pemasangan pipa oleh PLTU Cilacap memiliki kedalaman lima meter di bawah muka tanah setempat. Ada 3 pompa yang dipasang. Namun si peneliti menemukan hanya ada dua pompa saja yang berfungsi. Sedangkan kedalaman sumur warga disana umumnya berada 0,5 sampai 1 m diatas dasar pipa.

Dewatering sendiri pembebasan area konstruksi dari aliran air tanah. Tujuannya, untuk menjaga area galian proyek tetap kering selama proses konstruksi.

“Ditemukan bukti bahwa PLTU memang bersalah, menyebabkan sumur warga kering.” terang Biah.

Bupati Cilacap kemudian memberikan solusi. Solusi yang diberikan dengan menghadirkan Perusahaan Daerah Air Minum atau PDAM. Airnya digunakan untuk mengairi satu dusun warga yang kekeringan.

Warga menginginkan air PDAM gratis. PLTU memberikan sejumlah uang kepada warga sebesar 600 ribu/enam bulan sekali. Uang itu digunakan untuk membayar biaya penggunaan air yang telah disediakan.

Sebetulnya, solusi itu tidak berdampak pada perubahan fungsi air secara alamiah. Warga tetap saja kehilangan hak atas air yang telah digunakan sebelum PLTU Cilacap datang. Hal itu diperparah dengan pemberian uang yang memiliki batas waktu.

“Operasi PDAM hanya memiliki jangka hingga 2 tahun. Sekarang sudah berjalan satu tahun. Jadi, untuk 2 tahun kedepan kita enggak tahu akan seperti apa.” Kata Biah.

***

Danang melanjutkan ceritanya. Ia menyaksikan PLTU Cilacap beroperasi selama 24 jam. Seharian penuh beroperasi, pekerjanya lantas dibagi menjadi tiga sif.

Dalam operasinya, PLTU memerlukan banyak air. Antaranya untuk mendinginkan mesin, membasahi Ash Yard, dan operasi mesin. “Kebutuhan airnya banyak,” kata Danang.

Suara bising juga terus didengar akibat operasi yang tidak kenal henti. Danang bercerita pengalaman buruknya.

Pukul 12 tengah malam, Danang tidur lelap. Ia bermimpi tentang Tsunami. Pukul dua pagi Danang lantas terbangun karena suara gemuruh. Danang ketakutan. Ia mengira itu adalah tsunami persis mimpinya.

“Sepi, apa pada ngungsi, tapi kok gak hancur bangunannya,” Danang menceritakan keheranannya saat itu.

Keesokan harinya, dia mencari tahu sumber gemuruh semalam. Ternyata itu adalah suara operasi mesin PLTU. Suaranya bergemuruh pada saat warga tidur. “Ada rumah warga yang sampai bergetar gara-gara suara itu,”

***

Peristiwa lain, Biah juga mengeluhkan kebisingan. Pada jam 10 malam, suara PLTU bergemuruh di gendang telinga. Kata Biah, penyebabnya, yakni uji coba awal mesin kapasitas 1 x 1000 mega watt.

“Warga ngamuk-ngamuk,” ujar Biah.

Jika digambarkan, suaranya terdengar seperti bunyi lebah yang siap menyengat. Bedanya, suara itu begitu besar dan lebih ramai.

Bukan hanya polusi suara, Biah pun mengidap penyakit gatal akibat polusi udara yang dihasilkan pembakaran batubara. Pada kulit beberapa tetangga Biah, timbul bintik-bintik merah.

Pada kesempatan itu, Biah menunjukan kulitnya yang memerah dan kering di bagian dada. Biah merasakan gatal-gatal sejak sebulan lalu. Lebih merah dari gigitan nyamuk. Kulit Biah memutih karena sering digaruk. Tapi, penyakit gatal itu tidak melulu kasat mata. Lengan dan punggungnya juga menimbulkan hal yang sama.

“Apalagi sama anak-anak kecil mudah banget [penyakit gatal-red] kambuhnya,” tutur Biah.

Anak kecil juga gampang terkena penyakit ISPA.

Puskesmas Kecamatan Kesugihan menugungkapkan data pengidap ISPA yang menimpa anak-anak kisaran usia 1-14 tahun: 2014, ditemukan sejumlah 3.036 anak. Jumlahnya naik menjadi 4.049 anak setahun setelahnya. Tahun 2016 naik lagi sejumlah 5.326 anak. Tahun 2017, ditemukan 4.588 anak yang mengidap ISPA dan 3.059 anak di tahun selanjutnya.

Karenanya Biah senantiasa menolak PLTU batubara. Biah membentuk organisasi bersama warga lainnya untuk melakukan advokasi. Beberapa kali, Biah melakukan aksi protes dan audiensi bersama rekan-rekan oraganisasinya.

Tak jarang Biah didatangi pihak perusahaan PT. S2P.

“Kamu maunya apa?”

Dengan lantang Biah menjawab: segala tuntutan warga harus dipenuhi.

Berbagai macam pendekatan dilakukan pihak PLTU. Semisal mengajak warga makan bersama. “Dibalik itu, warga banyak yang tidak tahu tujuannya apa,” kata M.

Upaya PLTu itu berdampak pada dinamika semangat organisasi Biah. Perpecahan kerap terjadi. Tapi bagi Biah, musababnya tidak tunggal. Banyak faktor. Seperti sudah capek kemudian menyerah. Ada juga yang masuk ke perangkap bejat karena iming-iming duit.

Kini Biah masih terus berjuang. Menurutnya, “masih ada teman-teman yang setia dan mau berjuang sampai saat ini.”

Biah dipanggil anaknya yang terus merengek minta pulang. Biah meninggalkan LBH Yogyakarta dan bergegas menuju Cilacap.

Liputan ini adalah kolaborasi antara lpmarena.com dan LBH Yogyakarta.

Reporter: Wahidul Halim | Redaktur: Muh. Sidratul Muntaha