Home BERITA Bicara Papua, Ketimpangan, dan Media Pergerakan

Bicara Papua, Ketimpangan, dan Media Pergerakan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Hadirnya media alternatif yang dilegitimasi oleh kawan-kawan Papua menjadi penting sebagai penggerak rakyat, bukan media legitimasi kaum investor, kapitalis, maupun donor asing.

Lpmarena.com– Di tengah geliat kontrol atas ekspresi dan aspirasi politik yang dilakukan penguasa, lahirnya media rakyat “laolao-papua.com” diharapkan dapat menyorot isu yang tidak tersentuh oleh media arus utama tentang Papua: ketimpangan, gerakan politik dan lain sebagainya.

Media pergerakan rakyat berbeda dari media arus utama yang disokong oleh para pemodal yang kebanyakan berbasis di Pulau Jawa.

Media rakyat memiliki keuntungan mereklaim media sebagai wadah pemikiran, aspirasi, dan berita yang dibentuk oleh masyarakat dengan perspektif keberpihakan yang jelas. Hal tersebut diungkapkan Rizki Amalia, Pemimpin Redaksi Islambergerak.com dalam diskusi peluncuran laolao-papua.com, Rabu (3/6).

Selain itu, isu-isu sektoral dan gerakan politik yang masih tabu di tanah Papua diharapkan dapat diangkat oleh media alternatif ini. “Media ini diharapkan dapat menjadi penggerak yang mengakomodir isu-isu sektoral dan wacana kelas yang masih sangat tabu dan minim di sini,” jelas Mikael Kudiai anggota laolao-papua.com.

Media yang dikelola oleh rakyat diharapkan dapat mengakomodir serta mengerti apa yang diinginkan oleh rakyat Papua sendiri. Media arus utama yang memberitakan tentang Papua memiliki keterbatasan untuk menjangkau ranah yang lebih jauh tentang Papua.

“Jadi saya pikir suara-suara aspirasi rakyat Papua yang lebih kritis perlu ditampilkan lebih keras.” kata Rizki Amalia.

Papua juga tercatat memiliki sejumlah isu yang banyak diberitakan media. Katakanlah, masalah kekerasan berbasis gender beberapa waktu lalu, yang menganggap bahwa laki-laki di Papua cenderung patriarki. Padahal, apabila dianalisa lebih jauh, masalah ini bisa disebabkan karena perampasan ruang-ruang hidup, frustasi dan kemiskinan yang muncul karena problem ketidakadilan yang dihadapi.

Rizki juga menegaskan, perampasan ruang hidup oleh perusahaan tidak hanya berdampak pada masyarakat, tetapi juga di lingkup produksi sosial. Di lingkup bagaimana manusia itu berinteraksi di dalam rumah.

Rakyat Papua yang berada dalam satu ruang geopolitik yang sama dalam menghadapi krisis sosial juga ekonomi;  mereka yang terepresi; dan mereka sebagai agen pembebasan punya keterkaitan satu sama lain. Maka media yang dikelola sendiri oleh mereka akan sangat dibutuhkan. Hal ini bukan perkara politik identitas, melainkan persoalan kelas yang berkaitan erat satu sama lain.

Konflik identitas seringkali diredam pemerintah dan media arus utama dengan jargon nasionalisme, toleransi, untuk mendamaikan perbedaan.

Padahal intoleransi dalam konteks Papua tidak bisa terlepas dari ketidaksetaraan struktural, perampasan, ketidakmerataan pembangungan, dan rasisme yang sistematis maupun ideologis yang berdampak dan mengakar terhadap masyarakat adat.

“Kalau kita lihat intoleransi paling nyata dan material menurut saya itu yang dilakukan kapiltalis. Baik kaptalis lokal, nasional, internasional, maupun domestik, bersikap intoleran terhadap mereka yang sebenarnya memiliki alat-alat produksi yang ril, masyarakat asli,’’ papar Rizki.

Belum lagi masalah ketidakmerataan pembangunan. Seperti nasib mama-mama di Nabire yang berjualan di pinggir jalan dan menagih janji dari Pemerintah Kabupaten Nabire untuk dibuatkan tempat yang layak untuk mereka berjualan.

Masalah itu ditulis oleh sejumlah media lokal di tanah Papua dan diakomodir oleh kelompok penggerak untuk menampung aspirasi mama-mama Nabire. Itu merupakan fungsi media alernatif untuk menggerakkan dan menampung aspirasi rakyat sendiri.

“Saya pikir tujuan dibangunnya media sebagai pergerakan rakyat adalah memperkuat solidaritas sosial serta menumbuhkan komitmen dan perasaan kebersamaan untuk berpartisipasi dengan tujuan yang sama dalam gerakan.” pungkas Rizki.

Reporter: Atikah Nurul Ummah | Redaktur: Sidratul Muntaha