Home BERITA Double Kill: Penghasilan Hilang, Pungutan Selain UKT Akan Diterapkan

Double Kill: Penghasilan Hilang, Pungutan Selain UKT Akan Diterapkan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Sementara beberapa wali mahasiswa kehilangan penghasilan, bulan depan UKT harus dilunasi. UIN Jogja, alih-alih mendiskon UKT, malah membuat pungutan baru sebesar 1,5 bagi mahasiswa baru 2020.

Lpmarena.com- Ichsan Alwi seolah jatuh lalu ditimpa tangga. Penghasilan kedua orang tuanya hampir hilang akibat pandemi, sedang dirinya harus melunasi Uang Kulaih Tunggal (UKT) semester mendatang sebesar 3,5 juta.

Alwi, begitu dia disapa, merupakan mahasiswa Fakultas Dakwah dan Komunikasi. Statusnya sebagai mahasiswa di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta baru menjelang tiga semester. Saat penetapan mahasiswa baru 2019, Alwi ditetapkan dalam kelompok UKT VII dengan nominal rupiah 3,5 juta. 

Semester dua lalu, 3,5 juta itu dibayar Alwi dengan cara patungan penghasilan dengan orang tuanya. Uang dari hasil kerja paruh waktu Alwi selama semester satu, ditambah dengan penghasilan bapak-ibunya.

Sejak awal kuliah, kebutuhan Alwi termasuk pelunasan UKT memang tak sepenuhnya dibebankan pada orang tuanya. “Meski masih ditanyai orang tua. Katanya, kalau masih kurang nanti bapak-ibu tambahkan kekurangannya,” jelas Alwi melalui pesan WhatsApp, (22/05).

Namun, di tengah pandemi ini, pelunasan UKT semester tiga yang akan datang membikin Alwi kelimpungan. Orang tuanya kini tak bisa menambah gajinya untuk membayar UKT. Ibunya hanya diam di rumah, dan penghasilan bapaknya tidak seberapa.

“Saya tidak kerja, tidak ada penghasilan. Ibu saya tidak ada penghasilan. Bapak saya nge-Grab, sehari paling dapat 20 atau 30 ribu,” ungkap Alwi lirih di ujung telpon.

Sekitar satu setangah tahun belakangan, kebutuhan keluarga Alwi memang mengandalkan dari hasil “narik” ojek online (ojol) bapaknya. Tapi, penumpang ojol di kota kecil, macam kediaman Alwi, Banjarnegera, juga sepi saat kondisi seperti ini. Sebelum pandemi saja, “paling dapat 7, 8, 9 [penumpang-red],” pendek Alwi.

Sebelum anjuran untuk tinggal di rumah saja, termasuk belajar dari rumah, bapak Alwi masih bisa menghasilkan 700-900 ribu per bulan, di luar narik ojol. Itu dari langganan antar-jemput anak sekolah. Tapi saat pandemi, aktivitas sekolah dihentikan, tak ada lagi antar-jemput.

Hasil ngojek bapak Alwi yang berkurang akibat pandemi, juga tak bisa ditutupi dengan penghasilan ibunya. Lapak ibu Alwi yang menjual mainan anak di pasar tutup selama pandemi.

“Dalam kondisi seperti ini, mainan anak tak lagi diminati anak-anak. Semua beralih ke gim daring,” pendek Alwi.

Alasan lain penutupan lapaknya karena posisi pasar yang mulai sepi dikunjungi, dan ibu Alwi mudah kelelahan. Menurut Alwi, ibunya rentan terserang penyakit. “Jadi, ibu diam di rumah aja,” tutur Alwi.

Sebelum wabah mengubah pola hidup manusia, ibu Alwi bisa menghasilan uang 500-600 ribu per bulan dari jualan mainan anak itu. Buka lapaknya tidak setiap hari, menyesuaikan kondisi kesehatan ibunya. “Kalau lagi fit, ya, buka. Ibu hanya menyelesaikan sisa kontrak kios yang akan berakhir beberapa bulan lagi,” jelas Alwi.     

Penghasilan bapak-ibunya yang tak menutupi biaya kuliah mengharuskan Alwi cari penghasilan sendiri. Awal puasa kemarin, Alwi masih sempat kerja di warung makan daerah Lempuyangan dengan gaji 800-900 ribu per bulan, masuk kerja setelah kuliah, keluar jam 10 malam. Namun sekarang, warung itu tutup dan pekerjanya diliburkan.

Sekarang Alwi tidak kerja, dan hanya bertahan di kontrakannya.

Upaya mencari penghasilan lain membesarkan tekad Alwi untuk tetap bertahan di Jogja. Rencananya, dia pengen menyambi kerja, memanfaatkan Study from Home (SFH). Namun, kondisi itu tak berpihak pada rencananya. Mencari kerja di tengah pandemi, tidak semudah saat warkop masih melayani pengunjung selama 24 jam, dan warung makan dipenuhi mahasiswa.

Selama diam di kontrakan, kehidupan sehari-hari Alwi mengandalkan sembako dari kampus, sembako gratis dari pihak-pihak lainnya, dan patungan bersama teman sekontrakannya. “Di tengah pandemi seperti ini, ya, makannya seadanya aja. Kadang hanya nasi goreng dan sambel. Gitu aja,” ujar Alwi dengan tawa ringan.

“Atau cari utangan 100, 200 ribu, kalau masih ada teman yang punya rezeki,” ucap Alwi getir melalui pesan suara.

Di Jogja, Alwi mengontrak rumah bersama 10 orang temannya. Masing-masing bayar dua juta rupiah untuk setahun. Dia sedikit bernapas lega karena kontrakannnya baru saja lunas, dan baru akan berakhir sekitar Oktober 2020 mendatang. Saat ini, Alwi masih terbebani tagihan UKT, tagihan listrik dan makan sehari-hari.

Bagi Alwi, UKT 3,5 juta seperti membunuhnya dua kali. Penghasilan orang tuanya tidak seberapa, Alwi tidak kerja, sedang adikknya baru saja lulus SMA dan minta dikuliahkan.

Apa yang ditakutkan Alwi, juga dialami Yudiana: tidak bisa bayar kuliah karena hasil tani orangtunya terdampak pandemi corona.

Yudiana (bukan nama asli) adalah mahasiswi Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam. Asalnya dari Kabupaten Pati, Jawa Tengah. Di sana mayoritas penghasilannya adalah petani dan peternak, termasuk bapak Yudiana yang umurnya sebentar lagi menginjak kepala tujuh.

Padi dan cabai jadi komoditas andalan bapak Yudiana. Diolah di atas lahan seluas setengah hektar. Hasil panennya lalu dibagi dua dengan pemilik tanah. Bapak Yudiana hanya sebagai buruh taninya, bukan pemilik lahan.

Pada saat cuaca bersahabat bagi petani, padi milik bapak Yudiana bisa panen empat bulan sekali. Kalau dijual, hasilnya berkisar 6-7 juta, tapi ini tergantung pada kualitas padi. Kualitas baik akan dihargai tinggi. Jika padi gagal, bapak Yudiana harus cari pinjaman modal untuk musim tanam selanjutnya.

“Kalau gagal, ya, minjam uang si pemilik tanah untuk mulai tanam lagi,” jelas Yudiana melalui pesan suara di WhatsApp, (21/05).

6-7 juta itu belum dibagi dua, dan di luar dari modal pupuk. Pupuk ditanggung pemilik lahan. Bapak Yudiana hanya modal tenaga, traktor, dan pestisida.

Panen empat bulanan itu jadi harapan Yudiana membayar tagihan UKT semester tiga mendatang, senilai 2,4 juta. Tapi, panen April kemarin, yang hanya menghasilkan 4,5 juta, habis untuk kebutuhan keluarga, terlebih karena melalui bulan puasa.

Pada transisi panen seperti ini, bapak Yudiana punya cabai sebagai alternatif, juga sebagai harapan terakhir Yudiana melunasi tagihan UKT. Tapi lagi-lagi karena pandemi, cabai yang dijual ke pengepul sayur hanya dihargai 5 ribu per kilo, yang sebelumnya 20-30 ribu per kilonya.

“Harganya anjlok. Pengepul sudah tidak terima lagi karena sudah banyak pasokan. Akhirnya, hasil panen hanya dibagikan ke tetangga,” kata Yudiana.

Kalau pun cabai bapak Yudiana terbeli, hasilnya masih harus dibagi dengan keperluan sekolah tiga adiknya. Satu menempuh pendidikan di sekolah tinggi, yang dua masih duduk di bangku MTS dan SMP. Memasuki tahun ajaran baru, kedua adiknya itu masing-masing menghabiskan 750 ribu dan 500 ribu untuk bayar registrasi ulang dan tagihan SPP. Yudiana sedikit lega, karena satu adiknya yang di perguruan tinggi dibiaya seorang dokter di tempatnya.

“Terus, aku bisa kuliah di Jogja karena numpang di rumah saudara,” kata Yudiana.

Ibu Yudiana sebenarnya dagang sembako skala kecil, dan itu hanya cukup untuk menjaga asap dapur agar tetap mengepul.

Bukannya Diskon UKT, UIN Jogja Mewajibkan Biaya Lain

Dalam kondisi paceklik seperti ini, Alwi dan Yudiana butuh pengurangan UKT. Sebab, penentuan nominal dan golongan UKT setiap mahasiswa disesuaikan dengan penghasilan orang tua dan yang membiayainya. Ketentuan tersebut tercantum di tiap Ketentuan Menteri Agama (KMA) tentang uang kuliah tunggal di perguruan tinggi negeri dalam naungan Kementerian Agama. Untuk tahun ajaran 2020/2021, KMA itu bernomor 1195 tahun 2019, pada poin ketiga disebutkan:

“UKT terdiri dari beberapa kelompok yang ditentukan berdasarkan kemampuan ekonomi mahasiswa, orang tua mahasiswa, atau pihak yang membiayainya.”

Wacana diskon UKT di tengah pandemi sempat muncuat lewat surat Nomor B-752/DJ.I/HM.00/04/2020. Dalam Surat itu, Direktorat Jendral Pendidikan Islam berencana mengurangi UKT atau Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) mahasiswa Diploma, S1, S2, sampai S3 di Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) sebesar 10 persen.

Namun rencana yang sejenak membuat Alwi dan Yudiana bernapas panjang itu dibatalkan. Tagihan UKT tak jadi dikurangi. Pembatalannya diterbitkan melalui surat edaran Kemenag Nomor B-802/DJ.I/PP.00.9/04/2020, dan ditandatangani Plt. Direktur Jendral Pendis, Kamaruddin Amin.

Sebagaimana di lansir dari tirto.id tentang Tarik Ulur Janji Diskon UKT, Kemenag Perlu Cari Solusi Lain, Menag Fachrul Razi menjelaskan, pembatalan itu dikarenakan anggaran yang dipersiapkan mensubsidi mahasiswa tersebut akan digunakan untuk penanganan COVID-19.

Pembatalan itu kemudian jadi acuan ditiadakannya diskon UKT di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta (UIN Jogja).

Tidak ada diskon UKT bagi mahasiswa lama, rektorat UIN Jogja malah memutuskan pungutan biaya bagi mahasiswa baru (Maba) 2020. Keputusan ini ada dalam Keputusan Rektor Nomor 103-1 Tahun 2020 tentang Penetapan Dana Pengembangan Institusi (DPI) bagi Mahasiswa Baru Jenjang Sarjana (S1).

Melalui surat tersebut, Maba 2020 yang lulus melalui jalur mandiri diwajibkan membayar DPI senilai 1,5 juta, di luar tagihan UKT.

Kebijakan itu lantas jadi sorotan mahasiswa di dunia maya. Penolakan disuarakan melalui tagar #kalijagamenggugat, dan sempat bertahan jadi trending topik di Twitter selama dua hari, Kamis sampai Jumat, (05/06/20).

Lewat cuitan di Twitter, mahasiswa menyalurkan kekecewaanya kepada kampus. Pungutan di luar UKT itu dinilai tak mempertimbangkan kondisi mahasiswa di tengah pandemi.

Kampusku ampuh saiki nganggo uang pangkal! Diterapkan saat masa-masa sulit kaya gini. Ra kabeh sugih lan mampu pak, buk.” tulis @LiaFaizah99.

Padahal, beberapa wali mahasiswa kehilangan penghasilan. Selain itu, aktivitas kampus pun dilakukan secara daring.

Kampus negri tp ada uang DPInya gaes, Hahahah. Padahal, tesnya online, PBAK online, semua serba online. Nglucu po?,” tulis akun @hblzm, (04/06/20).

Banding Solusi Diskon UKT?

Sahiron, pelaksana tugas rektor (Plt. Rektor) UIN Jogja berdalih. DPI, tidak harus dibayar tahun ini, dan ini untuk keperluan sarana dan prasarana, terkhusus untuk melunasi utang kampus 2 di Pajangan yang tersisa 150 M. Soal pengurangan UKT, Sahiron menganggap banding UKT sebagai solusi lain diskon.

“UIN Suka mengikuti arahan Kemenag, yakni membuka kesempatan kepada mahasiswa untuk banding UKT,” jelas Sahiron melalui pesan WhatsApp, (22/05).

Pada tanggal 29 April 2020, Sahiron menandatangani pengumuman bernomor 1496/Un.02/KU/04/2020, tentang Permohonan Penurunan/Banding UKT secara daring. Pemberitahuan ini sebagai tindaklanjut Surat Edaran Direktorat Jendral Pendidikan Islam Nomor 701/03/2020, dan Keputusan Rektor UIN Sunan Kalijaga Nomor 136.1 Tahun 2017, tentang pedoman pengajuan permohonan penurunan UKT.

Isi pengumuman tersebut menyebutkan, permohonan penurunan UKT diajukan oleh orang tua/wali mahasiswa yang bertanggung jawab atas pembiayaan pendidikan mahasiswa. Permohonan tersebut bisa diajukan ketika mengalami kondisi, berupa perubahan status, seperti meninggal dunia; atau perubahan kondisi ekonomi wali mahasiswa seperti, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK), kerugian, penutupan usaha, penurunan pendapatan yang signifikan karena COVID-19.

Permohonan itu diajukan melalui Dekan Fakultas untuk diverifikasi terlebih dahulu, lalu hasilnya dirapatkan di tingkat universitas. “Rapat di tingkat universitas akan dihadiri oleh Dekan semua Fakultas dan Wakil Dekan 2,” jelas Sahiron.

Rencananya, rapat tingkat universitas itu akan diadakan antara tanggal 10-15 Juli. Kuota yang disediakan hanya sekitar 200-300 bagi usulan banding yang akan disetujui. Kata Sahiron, jumlah ini sudah disesuaikan dengan kondisi ekonomi masyarakat, dan mempertimbangkan target Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP), yang salah satunya berseumber dari SPP dan UKT.

Sampai 21 Mei 2020, di Fakultas Ilmu Sosial dan Humaniora (FISHUM) sudah ada 14 mahasiswa yang mengajukan banding. “Didominasi oleh mahasiswa yang walinya terdampak secara ekonomi,” terang Mochmad Sodik, Dekan FISHUM.

Data permohonan penurunan UKT yang terkumpul di Fakultas, akan disetor ke rektorat paling lambat 6 Juli 2020. Banding ini berlaku untuk semua jenjang semester.

Karena kebijakan diskon UKT batal, Yudiana akhirnya memilih proses banding yang permohonannya tak dijamin lolos. Alwi juga sedang mempersiapkan persyaratan banding.

“Saya niat banget ikut banding,” pendek Yudiana. Kalau pun bandingnya tidak diterima, orang tua Yudiana terpaksa cari utangan.

“Barusan nanya ke ortu, kata mereka, minjam uang saudara dulu. Kan, belum panen,” tutup Yudiana.

Sedang Alwi berpasrah diri, kalau ternyata upaya bandingnya nihil, dia terpaksa cuti untuk semester tiga. Alwi tidak tega melunasi 3,5 itu dengan menggunakan uang orang tuanya. Ibu Alwi tidak kerja, sementara adiknya juga mau kuliah.

Alwi berharap UKT-nya diturunkan.

“Kalau UKT 3,5, ditambah lagi nanti bayar kontrakan sekitar 2 jutaan, saya itu sudah pesimis. Hal mustahil bagi saya. Kalau banding tidak lolos, kemungkinan cuti satu atau dua semester. Atau kemungkinan parahnya, out,” tutup Alwi, lirih.       

Reporter: Hedi

Redaktur: Muh. Sidratul Muntaha 

Ilustrasi : Firdan Haslih K.