Oleh: Fariz Azhami*
Masih hangat dalam ingatan kita, kasus Novel Baswedan, seorang penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disiram air keras oleh dua orang anggota kepolisian yang hanya menghasilkan keputusan hukuman satu tahun penjara bagi mereka berdua. Padahal, kalau ditilik lagi, kasus ini sudah diusut selama tiga tahun lamanya. Suatu hal yang sangat tidak masuk akal bagi public, ketika membandingkannya dengan kasus serupa.
Sebelumnya, penangkapan Ravio Patra, seorang peneliti kebijakan publik setelah beberapa hari sebelumnya ia membahas kemungkinan terlibatnya seorang stafsus milenial dalam sebuah konflik kepentingan. Ponselnya diretas, dan mengirimkan pesan berantai yang berisi ajakan untuk menjarah toko-toko terdekat. Teror serupa juga terjadi terhadap narasumber diskusi yang diselenggarakan oleh Constitutional Law Society Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (CLS FH UGM). Narasumber mendapatkan teror lewat kedatangan beberapa orang tak dikenal ke rumahnya, serta ancaman pembunuhan terhadap anggota keluarganya melalui pesan, pun demikian dengan panitia diskusi bertajuk ‘Meluruskan Persoalan Pemberhentian Presiden, Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan’ tersebut. Konon, oleh peneror, diskusi itu dianggap sebagai sebuah tindakan makar.
kini giliran seorang komedian bernama Bintang Emon, setelah mengkritik peneyelesaiana kasus Novel Baswedan yang ganjal melalui video yang diunggahnya. Tak lama kemudian, muncul akun-akun bernomor banyak, khas buzzer yang menyerang Emon dengan tuduhan pengguna narkoba tanpa bukti yang jelas.
Dari kasus-kasus tersebut, sebenarnya terdapat satu benang merah yang dapat ditemukan, yaitu belum terciptanya keadilan dan kebebasan yang merata bagi rakyat Indonesia. Ketimpangan pembangunan yang menyebabkan kesenjangan social, masih menjamurnya penguasaan sebuah kelompok atas kelompok lain merupakan salah satu contoh ketidakadilan dan ketidaksetaraan yang ada di masyarakat kita. Namun, kita cenderung bersifat taken for granted, ketika melihat adanya ketidaksetaraan, semua itu karena adanya legitimasi dari sebuah sistem sosial yang bekerja.
Mengenai ketidaksetaraan, sebenarnya kita sudah mempelajarinya sejak kecil, orang tua dianggap memiliki pengalaman lebih banyak daripada anaknya, oleh karena itu mereka boleh mengatur anaknya, begitu pula di kelas, ketika semua mahasiswa dianggap memiliki kemampuan yang berbeda-beda, maka bagi mereka yang ‘pintar’ akan mendapatkan ganjaran nilai yang lebih baik daripada yang lain. Hal ini menurut Pip Jones dalam buku Pengantar Teori-teori Sosial, hanya menyebabkan orang untuk yakin bahwa ketidaksetaraan itu adalah suatu hal yang cukup wajar. Inilah yang tertanam dalam masyarakat kita.
Legitimasi terhadap ketidaksetaraan tentu tidak lahir secara tiba-tiba, ia lahir melalui penyempurnaan yang bertahap. Jika kita mengatakan bahwa ketidaksetaraan dan ketidakadilan hukum ada, maka itu tidak bisa terlepas dari sumbangsih masa pemerintahan Orde Baru. Sebuah masa yang hanya dipimpin oleh satu nama, Soeharto selama 32 tahun. Sejak saat itu, sistem perekenomian yang diterapkan menggunakan mekanisme pasar konvesional, yang tak mampu berjalan dengan sehat. Pelaku ekonomi golongan tertentu justru mendapatkan akses yang berlimpah terhadap sumber-sumber yang tersedia, dari pada banyak masyarakat lainya.
Belum lagi berbicara tentang kebebasan berpendapat yang dikekang selama Orde Baru. Orang-orang hanya berbisik dari mulut ke mulut, dan hanya segelintir saja yang berani menyuarakannya dengan lantang. Ketakutan akan tindakan represi ABRI—atau siapapun. Pada saat itu, ABRI dianggap menjadi bagian penting pemerintah untuk menjaga negara agar tetap ‘kondusif’. Pers dibuat tak berkutik dan banyak diantara media-media dibentuk untuk melanggekan kekuasaan. Pengawasan ketat dilakukan oleh negara. Tak ada satu pun pers yang berani mengkritik pemerintah. Maaf, saya ralat, maksudnya tidak ada satu pun yang boleh mengkritik pemerintah. Semua harus berjalan sesuai kehendak pemerintah sendiri tanpa ada campur tangan rakyat.
Supremasi militer juga salah satu produk orde baru. Dengan adanya dwifungsi ABRI yang diterapkan, berarti ABRI memiliki dua tugas, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, serta menjadi alat pengendali politik negara. Pada masa itu banyak dari mereka yang menempati jabatan-jabatan tertentu dalam susunan negara. Selain itu, mereka juga memiliki ‘hak khusus’ untuk melakukan tindakan represi pada masyarakat.
Supremasi sipil yang menjadi salah satu amanat reformasi tidak berjalan dengan mulus. Masa B. J. Habibie menjadi masa transisi yang diharapkan mampu menjadi peletak dasar demokrasi. Sejak lengsernya Soeharto, sejarah mencatat, banyak pergolakan yang terjadi dalam proses mewujudkan supremasi sipil. Titik kulminasinya berada pada pelengseran Gus Dur, tentu saja, kekuatan lama, Orde Baru dan militer yang merencanakan. Keinginan beliau untuk mewujudkan supremasi sipil sepenuhnya diganjal oleh militer.
Ketika melihat banyaknya kejadian represi yang dilakukan oleh militer saat ini, bisa kita katakan bahwa ini merupakan produk Orde Baru. Jejak-jejak peninggalannya seakan membekas dalam prasasti Negara, menjadi sebuah karakter negara. hak istimewa dalam negara yang dimiliki Militer sejak pemerintahan Orde Baru sampai sekarang menjadikannya bersifat arogan dengan melakukan tindakan represi pada masyarakat sipil. Mereka melakukannya karena dukungan supremasi militer oleh rezim. Namun hal tersebut bisa dikatakan belum hilang sepenuhnya hingga sekarang dan justru mengakar dalam tradisi rezim kita.
Munculnya kembali keterbatasan berpendapat bagi masyarakat merupakan salah satu bukti kuat susahnya menghilangkan tradisi lama dalam bangsa kita. Ketidakjelasan hukum yang cenderung memihak pada mereka yang memiliki ‘kepentingan’ semakin mendekatkan negara ini dalam ke dalam jurang kebobrokan.
Bisa saja terjadi, tradisi lama Orde Baru dirayakan kembali. Atau bahkan mungkin mengalami akulturasi dengan tradisi-tradisi baru ala milenial yang lebih mengerikan. Ujungnya, pembenaran atas nama tradisi akan terus melanggengkan dirinya.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Sosiologi UIN Sunan Kalijaga, saat ini menjadi anggota magang ARENA, mempunyai hobi memotong senja.
Sumber gambar: Kumparan.com