Home BERITA Musa Mako Gobai: Balita yang Ikut Demonstrasi dan Mengecam Diskriminasi Rasial

Musa Mako Gobai: Balita yang Ikut Demonstrasi dan Mengecam Diskriminasi Rasial

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.comSekira jam sepuluh, dari Jalan Kusumanegara, saya melihat demonstran telah berkumpul dan berbaris di Asrama Mahasiswa Papua Kamasan. Antara satu barisan demonstran dengan yang lain menjaga jarak sekitar satu meter. Tali rafia melilit barisan massa agar para demonstran tak terpisah.

Jumlah massa aksi sekitar 50 orang. Banyak dari mereka memegang poster bertuliskan “Papuan Lives Matter”, “Stop Slow Motion Genocide in Papua”, dan foto-foto aktivis Papua yang dituntut pasal makar dan akan menjalani proses persidangan di Pengadilan Negeri Balikpapan. Sedang polisi sudah berjaga di depan asrama sejak kira-kira pukul sembilan.

Setelah sekian lama absen, Senin (15/6) itu adalah demonstrasi yang pertama kali diadakan di Yogyakarta sejak pandemi Covid-19 merebak bulan Maret lalu. Titik Nol yang biasa dipadati demonstran saat Hari Buruh Internasional, sepi belaka pada satu Mei lalu.

Seorang teman pernah sekali berniat melakukan aksi teatrikal, menuntut DPR menunda pembahasan Omnibus Law hingga hari kiamat, 9 April 2020, di Titik Nol. Aksi itu hanya dihadiri lima orang. Mereka sebisa mungkin melaksanakan protokol pencegahan Covid-19 seperti mengenakan masker, tapi mereka tetap dilarang polisi. Aparat itu heran, mengapa ada yang mau melakukan aksi di saat pandemi.

Para petugas keamanan itu mungkin tidak tahu di belahan bumi yang lain, pedemo tetap melakukan aksi dengan mengikuti protokol physical distancing. Di Polandia, Lebanon, dan Amerika Serikat, demonstran turun ke jalan sambil naik mobil. Gerombolan massa aksi juga pernah melakukan protes di alun-alun Rabin, Tel Aviv sambil menjaga jarak satu meter.

Tuntutan yang diajukan demonstran di berbagai belahan dunia tentu berbeda-beda, tapi ada satu kesamaan: mereka jengah dengan pemerintah yang tak becus membuat kebijakan mitigasi Covid-19.

Begitu pula Solidaritas Rakyat untuk Demokrasi, aliansi 17 gerakan dan organisasi, yang sudah berkumpul di Asrama Kamasan. Mereka akan melakukan longmars ke Titik Nol Yogyakarta. Di depan Asrama, salah seorang pedemo perempuan, melalui Toa, menyapa dan memberitahu pengendara bahwa mereka melakukan aksi karena pemerintah tak becus menangani Covid-19.

Menurut mereka, alih-alih memberi warganya rasa aman di tengah pandemi, pemerintah justru telah melakukan diskriminasi rasial. Diskriminasi yang dimaksud adalah tuntutan pasal makar terhadap tahanan politik (tapol) Papua pada proses persidangan Pengadilan Negeri (PN) Balikpapan

Jaksa Penuntun Umum (JPU) PN Balikpapan mengajukan tuntutan yang berat terhadap tujuh tapol Papua. Antara lain: Buchtar Tabuni dikenai tuntutan 17 tahun penjara, Agus Kossay dan Steven Itlay dituntut 15 tahun, Ferry Gombk dan Alexander Gobai dituntut sepuluh tahun. Tuntutan paling rendah, Hengki Hilapok dan Irwanus Uropmabin selama lima tahun.

Meski pada akhirnya mereka divonis 10-11 bulan penjara, Rabu (17/6) lalu, hukuman itu tetap dianggap tak adil. Aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Michael Himan, di salah satu status Facebooknya mengatakan, Tapol Papua di Kalimantan dan Jakarta, “dituduh sebagai pelaku dan berapapun hukumannya itu tidak adil dan rasis.”

Himan juga berkelakar mengenai proses pengadilan. Sebab, barang yang dijadikan bukti makar Irwanus Uropmabin adalah ikat pinggang, charger gawai, dan kabel lampu natal.

***

Pedemo mulai melakukan longmars di bawah terik matahari. Setiap perwakilan organisasi dan gerakan bergantian melakukan orasi, sementara massa aksi mendengar dan sesekali menyahut ucapan orator.

Orasi dilakukan terutama di jalan yang ramai dilalui pengendara. Ketika mereka melewati jalan yang sepi, mereka menyanyikan lagu Papua Bukan Merah Putih. Selama longmars, antar barisan juga tetap menjaga jarak. Bila satu barisan dengan yang lain berdekatan, kordinator lapangan (korlap) akan mengingatkan mereka.

“Biaya kesehatan mahal! Kawan-kawan mohon jaga jarak.”

Namun ada satu pemandangan menarik di tengah para demonstran itu. Di barisan belakang, seorang pria menggendong anak kecil. Belakangan, saya tahu anak itu bernama Musa Mako Gobai dan yang menggendongnya adalah ayahnya, Jhon Gobai, Ketua Komite Pusat Aliansi Mahasiswa Papua.

Mako mengenakan kaos hitam bersablon peta Papua berwarna merah berikut motif garis biru-putih, bintang kejora, dan tulisan FWP. FWP adalah singkatan dari Free West Papua. Celana yang Mako pakai bermotif blaster yang terdiri dari warna hijau dan putih. Ia juga memakai masker bergambar Superman.

Pipi Mako tembam.  Rambutnya keriting dan pendek. Matanya bulat. Meski wajahnya tertutup masker, ia tak kurang menggemaskan. Satu waktu, Jhon Gobai keluar dari barisan aksi sambil menggendong anaknya. Beberapa orang menghampiri Jhon lalu menggoda Mako. Mereka nampak senang memegang tangan dan mencubit pipi anak itu.

Ketika pedemo sampai di Titik Nol, mereka membuat lingkaran di tengah perempatan jalan lalu melakukan orasi dan membaca pernyataan sikap. Sesekali, saya melihat Mako berlarian lalu jatuh di tengah lingkaran massa aksi. Beberapa demonstran kadang mencoba mengejar dan menggendong Mako, mungkin dengan maksud agar anak itu berhenti berlarian. Orang-orang itu nampak senang ketika menggendong Mako.

Namun, melihat seorang anak kecil tentu tak melulu menggemaskan. Ketika melakukan longmars, seorang perempuan mendatangi Jhon Gobai dan menawari Mako, yang saat itu digendong, untuk ikut bersamanya mengendarai motor. Perempuan itu agaknya tidak tega melihat Mako mesti mengikuti longmars di bawah terik matahari.

Saya bertanya pada Jhon Gobai, mengapa Mako diikutkan aksi. Ia jawab, “Tidak ada alasan.”

Menurut Jhon, perjuangan bukanlah pilihan. Setiap orang yang resah dan sadar akan penindasan pasti akan berjuang mencari kondisi hidup yang lebih bebas. Perjuangan itu salah satunya adalah demonstrasi. Dan Jhon tak pernah membedakan Mako dengan demonstran yang lain.

“Bedanya Mako masih kecil. Itu saja.”

Mako lahir di Paniai, 16 Juni 2018. Beberapa hari yang lalu ia baru saja berulang tahun. Di umurnya yang masih belia itu, ia sudah sering ikut aksi. Mako pertamakali mengikuti aksi di Makassar. Kali kedua, ia mengikuti aksi peringatan Hari Perempuan Sedunia 2020. Setiap kali ada demonstrasi di Yogyakarta, ia sering ikut.

Mako menghadiri aksi di berbagai kota karena ia kerap mengikuti ayahnya bepergian mengunjungi basis AMP di berbagai daerah.

“Enggak pernah absen sejak Mako ikut saya pada awal Februari 2020,” tutur Jhon.

Suatu hari, saya pernah membaca tulisan Jhon Gobai di linimasa Facebooknya berjudul Agama Saya Adalah Jalanan. Tentu “agama” di sini tak bisa diartikan secara harfiah. Jhon Gobai seorang Katolik. Namun, di jalanan ia juga punya keyakinan tersendiri. Jalanan, adalah tempat dimana Jhon sering menyuarakan aspirasi rakyat Papua layaknya ibadah rutin.

Tulisan Agama Saya Adalah Jalanan kini kehilangan jejak karena akun Facebooknya sering diretas dan sudah berkali-kali ia gonta-ganti akun.

Dari banyaknya aksi yang Jhon ikuti, ia kerap mendapati tekanan dan kekerasan. Salah satunya ketika ia turun aksi memperingati New York Agreement, 15 Agustus 2017, di Jakarta. Rencananya, ia bersama pedemo lain akan melakukan longmars dari dekat Patung Kuda di sebelah timur Monas ke depan Istana Merdeka.

Namun, Jhon malah ditangkap dan ditahan di kantor polisi. Sebelum penahanan itu, Jhon dipiting, diseret, rambutnya dijambak dan diangkat begitupula kakinya, lalu ia dihempaskan ke dalam mobil dalmas.

Di kampus, acapkali saya dengar ungkapan, “agama itu lebih mirip barang warisan daripada keyakinan,” Saya tidak tahu, akankah Mako mewarisi ‘agama’ ayahnya, memperjuangkan keyakinan yang diamini ayahnya di jalanan atau malah dia tumbuh bersama nasib rakyat Papua yang sudah membaik.

Reporter: Sidratul Muntaha

Redaktur: Hedi