Lpmarena.com- Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY melakukan aksi penolakan Omnibus Law dan menuntut pemerintah berikan bantuan sosial tunai bagi buruh yang terdampak Covid-19, Kamis, (17/07). Aksi dimulai dari Tugu Jogja hingga ke Kantor Gubernur DIY.
“Kami menolak Omnibus Law Klaster Ketenagakerjaan karena itu merupakan bentuk penindasan kepada buruh,” ungkap Irsyad Ade Irawan, Juru bicara MPBI DIY.
Dengan adanyanya klaster ketenagakerjaan akan memudahkan buruh terkena PHK, membuat sistem kontrak kerja diperluas, dan menghapuskan Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK).
“Omnibus Law membuat kita mengingat Peraturan Pemerintah (PP) No.78 Tahun 2015. Secara tiba-tiba ditetapkan tanpa ada diskusi dan dialog dengan seluruh serikat pekerja Indonesia sebagai aturan dalam menentukan upah minimum, baik UMP maupun UMK,” Seru Patra Jatmiko, Koordinator Lapangan, dalam orasinya di depan Gedung DPRD DIY.
Selain itu, dalam pernyataan sikap MPBI DIY, Omnibus Law dinilai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. “UUD 1945 merupakan turunan dari Pancasila. Jika kebijakan yang dibuat bertentangan dengan Pancasila, maka akan bertentangan dengan UUD,” tutur Irsyad.
Sangat jelas di dalam UUD 1945 terdapat pasal yang mengatur dan mewajibkan negara harus menyediakan penghidupan yang layak bagi rakyat Indonesia. Kemudian di dalam sila kedua berbunyi, “Kemanusiaan yang adil dan beradab dan sila terakhir berbunyi Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Irsyad memberi kasus seperti ini: dalam Omnibus Law UMK dan Upah Minimum Sektoral dihilangkan. Hal ini sangat bertentangan dengan UUD 1945, sebab negara mestinya menjamin pekerjaan dan penghidupan yang layak. Dalam pembuatan kebijakan ekonomi, harus ada kepastian pendapatan, tidak hanya kepastian kerja.
“Kepastian pendapatan berarti harus mendapatkan pekerjaan yang layak. Selain menghapuskan UMK, Omnibus law juga mengatur ketentuan upah padat karya. Mekanisme upah padat karya tidak dijelaskan lebih lanjut dalam Omnibus Law hingga membuat pusing,” sambung Irsyad.
Sebelum-sebelumnyanya banyak kontrak yang diingkari para pengusaha dan diamini oleh pemerintah setempat. Kontrak itu mengatur tentang kepastian bekerja. Bila bekerja lebih dari tiga tahun maka akan dinyatakan menjadi pekerja tetap. Namun, dalam Omnibus Law tidak menjelaskan berapa lama pekerja mesti berstatus kontrak untuk mendapat kepastian. Semua orang rawan bisa saja jadi pekerja kontrak bertahun-tahun dan kemungkinan terjadi PHK lebih besar.
Selain mendesak pemerintah menggagalkan pengesahan RUU Cipta Kerja, para buruh dan pekerja juga menuntut pemberian bantuan sosial (bansos) dan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Pemerintah dan DPR RI diminta fokus pada penanganan Covid-19, juga memastikan perlindungan dan kesejahteraan rakyat yang terkena dampak pandemi.
Denta Yuliana, Koordinator Umum, mengungkapkan terdapat lebih dari 40.000 buruh dan tenaga kerja informal yang terdampak Covid-19. Tetapi banyak di antara mereka yang belum mendapatkan bansos maupun Bantuan Langsung Tunai (BLT) dari Pemda DIY karena tidak masuk ke dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) DIY.
“Kami meminta kepada Pemda DIY untuk segera memberi BLT kepada buruh yang tidak masuk ke dalam DTKS,” ujar Denta.
Nasib buruh saat ini kian tak menentu. Perekonomian Indonesia saat ini makin menurun hingga 3,85 persen. Tanpa ada tindakan nyata dari pemerintah pusat dan daerah, dikhawatirkan semakin banyak buruh dan pekerja yang menjadi korban pandemi.
“Kami menuntut janji pemerintah DIY untuk memberikan BLT yang di-PHK, dirumahkan, dan diputus kontrak selama pandemi. Kita coba komunikasikan terus ke Pemda,” tandas Denta.
Reporter: Aulia Iqlima V (Magang) | Redaktur: Sidratul Muntaha | Fotografer: Fidya Laela Sarie