Home KANCAH Dari Moralitas Ala Nietzsche Hingga Hirarki Oligarki

Dari Moralitas Ala Nietzsche Hingga Hirarki Oligarki

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

*Oleh: Laode Ilham

Nietzsche dalam bukunya, Genealogi Moral (2001), menganggap para psikolog terdahulu sebagai sejarawan etika, yang luput dari prosedur, masih sangat amatir. Terutama dalam memaknai kata “baik”.  

“Mula-mula, mereka mengatur bahwa, “tindakan-tindakan altruistic dipuji dan dikabulkan lewat penerimaan-penerimaan mereka, yakni lewat hal-hal yang menjadikan mereka berguna. Selanjutnya, asal-usul dari pujian ini telah dilupakan, tindakan-tindakan semacam itu dirasakan bagus hanya karena kebiasaan untuk memuji tindakan-tindakan tersebut”.

Merujuk pada kalimat Nietzsche tersebut, hal yang dapat ditangkap adalah tentang asal-usul penggunaan makna “baik”, makana itu berawal dari kebiasaan altruistic dalam sosial masyarakat (hidup berkelompok), kemudian terus-menerus berubah fungsinya menjadi sebuah keharusan, semacam moralitas yang dianggap baik. Kunci dari ide-ide makna baik adalah altruistic. Namun, Nietzsche dengan logikanya, membaca hal itu sebagai kesalahan, dan dikemudian hari menjadi sebuah kebanggaan dari manusia yang menganggap diri mereka beradab. Ini adalah awal dari pandangan Nietzsche tentang devaluasi atau dekadensi moral.

Menjadi jelas bahwa epistemologi dari “kebaikan” dibangun atas dasar, “kepada siapa kebaikan itu telah dilakukan”. Nietzsche menganggap ini kekeliruan yang akan merambat kegenerasi selanjutnya.

Dalam buku yang sama, Nietzsche menulis, “Tepatnya memang “kebaikan” sendiri, yang konon terhormat, kuat, berkedudukan dan berpikiran tinggi, yang mengatur diri mereka dan tindakan-tindakan mereka menjadi baik, misalnya menjadi milik yang paling tinggi, bertolak belakang dengan semua yang rendah, berpikiran rendah dan rakyat jelata”.

Pada bagian ini, Nietzsche mencoba mempengaruhi pembaca dengan statmentnya yang menarik, bahwa lawan dari ”kebaikan”dan “keburukan” merupakan bangunan etika yang dikonstruk oleh daya (kelompok) yang lebih kuat dan berkuasa (aristokrasi), agar sifat dominan dan kelanggengan kekuasaan tetap berlanjut. Pada akhirnya penamaan yang diberikan oleh penguasa kepada yang dikuasai akan menjelma menjadi simbol seolah-olah sikap pengayoman, meskipun pada titik tertentu pihak-pihak yang dikuasai akan menyelidiki dari mana simbol-simbol itu berasal.

Dari dua kasus diatas, aristokrasi dan altruistic, kita dapat menyandingkan bahwa perilaku-perilaku aristokrasi yang menjadi simbol “kebaikan” tidak memiliki jembatan penghubung untuk dikatakan bahwa altruistic adalah sebuah konsep tentang “kebaikan”. Menjadi fakta yang problematik sekaligus using, masyarakat dunia menjajarkan istilah moral, altruistic, dan keadilan merupakan syarat dari idée fixe (ide mutlak) untuk menjadi penghuni bumi yang beradab. Sementara disisi lain, kita tidak dapat mengenyampingkan naluri-naluri aristokrat untuk mempertahankan posisi mereka sendiri di strata sosial.

Dari investigasi di atas, fakta bahwa hipotesis tentang asal-usul nilai “baik” tidak dapat dipertahankan secara historis, namun sangat membantu untuk penelitian psikologis “kebaikan”, karena secara naluriah lemah. Sementara secara etimologi, kita mendapatkan satu konsep yang konsisten. “Terhormat” adalah satu konsep dasar yang secara hirarkis dan golongan sangat konsisten. Konsep “terhormat” kemudian dalam kebutuhan historis berkembang menjadi “kebaikan” yang mencakup kegunaan, keutamaan, dan manfaat.

Tidak dapat dipungkiri lawan dari konsep-konsep diatas akan berkembang juga yang pada akhirnya mengubah makna biasa, buruk, rakyat jelata, rendahmenjadi makna “buruk”. Kemudian penggunaan makna-makna tadi akan mengikuti situasi dan kondisi zamannya. ini merupakan petunjuk yang penting tentang asal-usul moral yang aktual. Dari sebuah realitas subjektif, berubah menjadi “kebenaran”, lalu pecah dengan nama “kebenaran penuh”. Setelah ini, kita mungkin dapat tidur dengan nyenyak karena telah mendapatkan variabel jawaban dari pertanyaan, mengapa oligarki dan segelintir keluarga sisa orde baru tetap kaya dan santuy bermain di Senayan.

*Laode Ilham, mahasiswa tingkat akhir di Aqidah dan Filsafat UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

*Tulisan ini sepenuhnya tanggungjawab kontributor, tidak menjadi tanggungjawab redaksi lpmarena.com