1/
Dalam pikiran, kadang kita melukiskan nasib melalui rencana, untuk esok hari, bulan, tahun dan beberapa jangka waktu ke depan. Kita merangka susunan puzle dengan penuh harapan. Tetapi, kehidupan memiliki nafasnya sendiri. Seakan-akan kita hanyalah boneka alam dalam panggung sandiwara tetrikal, digerakkan situasi dan keadaan, takdir memilki jalannya sendiri.
Takdir sering kali mengagetkan, tidak kenal kaya atau miskin, pintar atau bodoh, dan perbedaan lain. Takdir mempunyai ruang sendiri dalam siklus kehidupan. Ia menyediakan porsi nasib secukupnya bagi manusia. Tidak heran menimbulkan masalah dan bukan lagi menjadi momok menakutkan, karena nasib merupakan dialektika antara harapan dan ketetapan.
Hanya saja setiap masalah memiliki momen masing-masing. Ia berdiri di atas ketepatan waktu serta membawa tantangan. Tantangan selalu saja memaksa kita untuk bersikap tepat juga. Ketepatan inilah yang membuat masalah akan terurai dan terselesaikan. Nasib telah menjelma menjadi entitas unik dan khas yang menghampiri manusia, seperti identitas khusus dalam alur cerita yang akan dilewatinya.
Tak jarang penderitaan menyertai setiap cerita tersebut, seperti bayang-bayang perlahan mewujud menjadi kematian, dua hal ini sudah menjadi bagian terpenting dari penciptaan alam. ”…Tanpa penderitaan dan kematian, hidup manusia tidak sempurna” (hal.97). Seperti makan dan minum, keduanya merupakan dualisme tak terpisahkan dari masalah perut. Penderitaan kadang menyebalkan, datang tak diundang namun membekas dalam pengalaman. Mungkin itu yang dikatakan Viktor E. Frankl (dr. Frankl) dan kawan-kawan ketika bebas dari tahanan perang di kamp kosentrasi Auschwitz.
Ketika mengalami sebuah pernderitaan, berbeda keadaan antara tawanan Auschwitz dan orang yang hanya bernasib terbalik dari harapan. Dr. Frankl menggambarkan bagaimana kehidupan tawanan tidak lagi dalam keadaan normal. Tidak memiliki kesempatan untuk aktif berkreatifitas atau pasif menikmati kepuasan. Terbalut tekanan tanpa ada kesempatan untuk memikirkan kebebasan. Hanya bertaruh untuk menjalani hidup lebih lama dengan cara apapun, atau berlepas diri dari segala harapan dan keberanian. Penderitaan dan kematian dalam bayang-bayang kamp kosentrasi menjadi berbeda tipis, seakan-akan tak ada lagi kata “masa depan”. kematian terasa hitungan mundur waktu yang terdengar nyaring.
Menariknya, dr. Frankl menganggap penderitaan adalah bagian tugas kehidupan. Takdir memberikan jatah masing-masing penderitaan manusia agar menjadi pengalaman dan modal pembelajaran. Pupusnya harapan hanyalah masalah ketidaktepatan menyikapi penderitaan. Berbicara penderitaan tidak lagi sebagai objek semena-mena nasib atas manusia. Namun, telah berubah menjadi kata kerja yang harus dijalani dan dilewati dengan penuh suka cita. Para tawanan yang selamat, telah melewati penderitaan tertinggi dan tidaklah menjadikannya kesialan untuk menolak kenyataan. Mereka hanya “menjalani penderitaan” dengan penuh keberanian, bukan malah menjadi takut dan lemah sehingga putus harapan. “karena air mata merupakan saksi dari keberanian manusia yang paling besar, yakni keberanian untuk menderita” hal 122.
Kesan lain buku ini, ialah bagaimana manusia bertahan menjalani penderitaaan, telah merubah cara pandang dari kekuatan mana ia berasal. Mungkin kita berfikir bahwa kekuatan terbesar bertahan di fase penderitaan ialah harapan, ketangguhan, atau keberanian, semua itu hanyalah tahap lanjutan. Bagi dr. Frankl, tawanan yang berhasil menjalani tugas penderitaan, ialah mereka yang masih mempercayai bahwa hidup ini memiliki cerita yang dinantikan masa depan.
Mungkin sulit berbicara masa depan ketika berada dalam situasi penderitaan yang mencekam. Namun, kebebasan terakhir dari pertahanan manusia untuk terus hidup ialah kebebasan untuk mempertahankan kekuatan batin atau spiritual. Begitupun para tawanan, kebebasan terakhir di kamp hanyalah memungut sisa-sisa keyakinan batin atau spiritual untuk mempertahankan nilai-nilai hidup. Nilai-nilai ini akan mempertemukannya dengan makna di balik nasib yang mereka terima, kemudian menerangkan jalan tujuan di masa depan, sehingga akan terbangun kembali sebuah harapan dan keberanian. Karena penderitaan sering kali berubah menjadi bahan uji coba terhadap nilai-nilai hidup seseorang. Dr. Frankl menilai hasil akhir dari sebuah penderitaan ialah menjadi lebih baik atau lebih buruk, “dan inilah yang akan menetukan, apakah dia layak untuk pennderitaannya atau tidak”hal 98.
2/
“Kita harus berhenti bertanya makna hidup, biarkan kita ditanyai oleh hidup, setiap hari dan setiap jam“ (hal 113).
Sedikit naif mempertanyakan kembali harapan apa yang diinginkan kehidupan(?) seperti orang modern yang mempertanyakan “makna” apa yang bisa dilakukan. Sebelumnya, aku mengira pertanyaan makna bisa dijawab lugas dengan uraian panjang. Namuni, jawaban atas makna bukanlah penjelasan universal. Kerena makna hidup secara keseluruhan sangat abstrak, seperti fatamorgama yang hanya berhenti pada titik “seolah-olah” itu makna. Karena kita sendiri tidak bisa merumuskan makna secara umum untuk sepanjang hidup.
Waktu tanpa disadari selalu mempertanyaakan apa yang bisa dilakukan. Dalam hal ini makna berubah pengertian menjadi sesuatu yang lebih spesifik pada suatu saat tertentu. Kukira makna lebih bebas dilihat dari bebagai macam sudut pandang, seperti masalah yang selalu memberi raung gerak untuk diselesaikan. Makna memiliki momen waktu berbeda-beda, seperti masalah memiliki ketepatan untuk bersikap. Begitupula penderitaan. Jika hidup benar-benar memiliki makna, maka harus ada makna di dalam penderitaan. (hal I12).
Hal terpenting dari pencarian makna tidak lagi membicarakan definisi kehidupan. Hidup sendiri bukanlah pertanyaan konyol guru yang hanya memiliki satu jawaban pasti. Melainkan cara menyikapi kedinamisan ruang gerak waktu. Dalam hal ini, perntanyaan makna seharusnya membicarakan pemaknaan apa yang bisa dilakukan atas setiap situasi dan kondisi yang diberikan kehidupan. Dan mungkin ini yang maksud kita tidak perlu berharap sesuatu dari hidup, Sebaliknya, biarkan hidup yang mengharapkan sesuatu dari diri kita” (hal 111)
Terakhir, dalam bukunya dr. Frankl beberapa kali mengutip perkataan Nietzsche. Mungkin ini yang membuat ia bertahan untuk meneruskan hidup serta mengilhaminya untuk menciptakan teori logoterapi dalam dunia psikologi.
“Dia yang memiliki mengapa untuk hidup bisa menanggung hampir semua bagaimana” hal 112.
Judul: Man’s Search For Meaning | Penulis: Viktor E. Frankl | Penerbit: Noura | Terbit: Februari 2020 | Tebal: 233 Halaman | Peresensi: Fikri Labib