Mbah Purwo kaget bukan main saat mendengar kabar rumahnya yang menyimpan banyak kisah itu akan tergusur tol. Dia sudah hidup di situ sekitar 70-an tahun, namun dalih program pemerintah tak memberinya pilihan selain merelokasi diri.
Lpmarena.com- Gelap sebentar lagi datang. Para penggarap sawah terlihat berlalu di depan rumah Purwodiharjo. Sementara dia, lebih dekat disapa Mbah Purwo, masih sibuk mengobrol bersama anak dan cucunya di teras sembari memilah bawang putih yang masih layak disuplai ke pasaran. Kulit luar bawang putih dikupas, daging yang busuk dipisahkan.
Bawang putih itu bukan hasil sawah Mbah Purwo. Dia hanya jadi buruh penyortir hasil panen sebelum dijual ke pasar oleh si pemilik bawang. Teras berkeramik merah tempat Mbah Purwo selonjoran berubah putih dipenuhi kulit bawang yang sesekali tertiup angin sore.
Bagi Mbah Purwo, teras dan bagian dalam rumah jadi dua tempat aktivitasnya sehari-hari. Usianya yang sudah kepala tujuh tidak memungkinkannya bersawah terus. Oleh anak-cucunya, Mbah Purwo tidak dibolehkan lagi mengurusi sawah. Kerut di wajah Mbah Purwo nampak jelas. Rambutnya hampir seluruhnya berwarna putih. Cuma beberapa helai saja yang terlihat hitam.
Mbah Purwo memilih mengisi masa tua sebagai pengupas bawang putih. Kerja itu tidak begitu menguras energi. Berkarung bawang putih kadang diantar si pemilik ke rumah Mbah Purwo atau dijemput cucunya. Dia tinggal mengupas kulit luar bawang dan memilah yang masih layak konsumsi. Mbah Purwo melakukan itu saban hari di teras rumahnya.
Selain teras dan ruang bagian belakang rumah, Mbah Purwo kadang memanfaatkan ruang tamu yang kosong tanpa pernak-pernik itu, yang tak ada tempat duduk dan lantainya berkeramik putih, untuk menjamu orang yang berkunjung ke rumahnya. Tidak ada kegiatan berarti di rumah Mbah Purwo kecuali menikmati masa tua dengan kulit bawang.
Namun, Mbah Purwo masih dalam suasana gelisah. Beberapa bulan lalu, dia menerima pemberitahuan bahwa rumah tempatnya istirahat menghabiskan usia tua akan tergerus Tol Jogja-Solo. Rumah sebesar 8×10 meter itu akan jadi landasan jalan bebas hambatan.
“Lupa [informasi-red] itu kapan. Empat bulan lalu kalau tidak salah,” jelas Mbah Purwo.
Kabar tersebut sontak mengagetkannya. Mbah Purwo sempat “mogok makan” selama tiga hari. Nafsu makannya hilang. Selama itu dia malu keluar rumah karena badannya semakin kurus. Dia habis akal. Rumah peninggalan buyutnya itu akan dilindas jalan tol.
“Bingung. Sudah di sini enak-enak malah mau dipindah,” kata Mbah Purwo sambil merubah posisi tangan yang menyanggah tubuhnya.
Rumah Mbah Purwo berdiri di atas lahan yang halamannya ditanami buah. Di depan rumahnya ada enam pohon rambutan yang hanya mampu dipanjat orang dewasa. Di seberangnya lagi, terbentang persawahan milik warga lain. Pinggirannya disulam jadi kolam ikan.
Bila mengendarai motor, butuh waktu 25 menit untuk menuju rumah Mbah Purwo dari UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Secara administrasi kependudukan, rumahnya terdaftar di RT 5, RW 2, Temanggal 1, Desa Purwomartani, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman.
Desa Purwomartani jadi salah satu dari 14 desa yang dilintasi tol tersebut. Hal ini sesuai dengan Surat Keputusan Gubernur DIY Nomor: 206/KEP/2020 yang ditetapkan 10 Juli 2020 lalu, tentang Penetapan Lokasi Pembangunan Jalan Tol Solo-Yogyakarta di Daerah Istimewa Yogyakarta.
Sebenarnya, seperempat sawah Mbah Purwo ikut terdampak, tapi baginya rumahlah yang sangat berharga. Materialnya bisa diganti, namun di rumah itu Mbah Purwo mengenyam banyak hal. Dia sudah tinggal di sana sebelum Purwomartani seramai sekarang. Pemukim di desa itu kebanyakan pendatang, mereka yang bekerja di wilayah DIY dan sekitarnya.
“Sejak kecil di sini. Tidak pernah kemana-mana,” kata Mbah Purwo pendek. Semua saudaranya merantau, sementara Mbah Purwo sebagai bungsu merawat rumah itu. Dia jadi generasi ketiga yang mewarisi rumah tersebut.
Mbah Purwo lantas berkisah tentang rumahnya, yang dibangun bersama lima saudaranya. Sementara anak perempuan memasak di dapur, anak laki-laki bertugas mengangkut batu putih dari kali yang tidak jauh dari lokasi rumah itu.
“Masih ingat bagaimana sauadara laki-laki angkut-angkut batu dari kali sama bapak untuk pondasi,” ungkapnya dalam bahasa Jawa sambil tertawa.
Di rumah yang ia kenang erat dalam hidupnya, Mbah Purwo tinggal bersama salah satu anak dan cucunya. Enam anak, tujuh cucu, serta tujuh cicitnya menetap di berbagai daerah. Ada di Cilacap, Magelang dan di wilayah Bawen.
Mbah Purwo sempat ditawari untuk ikut dengan anak-anaknya meninggalkan Purwomartani. Namun, Mbah Purwo enggan pindah. Jika masih ada pilihan, dia tetap ingin tinggal di sana.
“Aku ini kalau bisa jangan sampai pergi dari desa ini,” ungkap Mbah Purwo, “kasihan sama leluhur, kalau berkunjung jadi jauh,”
Selain Mbah Purwo, puluhan KK lain di RT 5 itu juga diperkirakan terdampak jalan tol, baik rumah atau pun petakan sawahnya. “Ada sekitar 25-30-an KK rumah yang akan terdampak,” kata Suyatno, ketua RT setempat.
Namun, hitungan tepat tentang berapa luas wilayah RT-nya yang akan dilintasi jalan tol belum bisa dipastikan Suyatno. Belum ada aktifitas pematokan. Nominal ganti ruginya juga belum jelas. Pihak tol baru dua kali mendatangi warga tersebut untuk sosialisasi. Walau begitu, Suyatno menyebut bahwa semua warganya sepakat dengan proyek tersebut.
“Ini program pemerintah. Intinya, semua warga di sini sudah setuju semua,” jelas Suyatno saat ditemui ARENA di kediamannya yang tidak jauh dari rumah Mbah Purwo,(28/08).
Dalih pemerintah juga jadi alasan Mbah Purwo tak punya pilihan lain. “Kalau program pemerintah, tidak bisa menolak. Kalau menolak, katanya, ganti ruginya ditaruh di bank,” ungkap Mbah Purwo, menirukan penjelasan anaknya yang sebelumnya mengikuti rapat dengan pihak tol.
Jika rumahnya harus digusur, Mbah Purwo dengan berat hati merelokasi kenangannya itu ke kebun yang juga masih dalam wilayah Purwomartani.
”Piye maneh?” perempuan berumur uzur itu pasrah.
Reporter: Hedi | Redaktur: Sidratul Muntaha
*Liputan ini adalah kerja sama pelatihan jurnalis bersama serat.id