Home BERITA Pembangunan Tol Yogyakarta Merampas Relasi Warga dengan Tanahnya

Pembangunan Tol Yogyakarta Merampas Relasi Warga dengan Tanahnya

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.com- Beberapa tahun terakhir, data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan Yogyakarta termasuk kota dengan kesenjangan ekonomi tertinggi. Satu sisi, Yogyakarta juga masuk dalam indeks ketahanan pangan yang baik, meski kesejahteraan petani berada di bawah rata-rata. “Ini problem,” ungkap Sana Ulaili, Solidaritas Perempuan Kinasih Yogyakarta, pada diskusi virtual yang diadakan LBH Yogyakarta, Rabu (29/07).

Dalam diskusi bertajuk “Telaah Kepentingan Pembangunan Tol di Indonesia” itu, Sana banyak mengupas soal dampak ruang hidup yang ditimbulkan pembangunan tol. Ambisi pembangunan jalan bebas hambat ini dapat merampas relasi warga dengan tanahnya, yang secara sosio-kultural bertalian erat.

Sana berangkat dari sudut pandang pembangunan tol yang mengancam ketersediaan pangan serta pengaruhnya terhadap pola kehidupan masyarakat, khususnya petani. Mayoritas petani yang ada di kota adalah petani gurem. Dengan usia petani rerata di atas lima puluh tahun, dan skill yang cukup rendah.

Parahnya, data indeks tendensi konsumen DIY tahun 2019, menunjukkan Yogyakarta mengalami kenaikan tingkat konsumsi dalam masyarakat. Hal tersebut menunjukkan bahwa kota istimewa ini tak mampu mempertahankan pangan. Meski faktanya masuk dalam indeks ketahanan pangan paling baik.

“Faktanya petani kita jauh dari hidup yang layak.” Sana.

Pembangunan tol kemudian memperkeruh persoalan-persoalan yang sudah ada. Dalam hal ini perlu untuk ditelisik kembali, seberapa penting pembangunan tol yang menghubungkan Jogja dengan kota-kota besar lain.

Dengan dibangunnya jalan tol justru akan menambah ongkos distribusi serta produksi. Sedang warga pun belum tentu mendapat kemudahan akses. “Karena petani harus menyebrang, meluangkan waktu berjalan sekian kilo untuk mengakses lahannya,” lanjut Sana memberi gambaran.

Masuknya Kota Yogyakarta dalam proyek pembangunan jalan tol ini berkelindan dengan proyek Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Dari enam wilayah yang dilirik, Yogyakarta menjadi daerah di Jawa yang bakal memfasilitasi jalur transportasi. Sehingga dengan ini, kebutuhan perkembangan industri nantinya terpenuhi.

Orientasi pertumbuhan ekonomi menjadi hal yang tak sejalan dengan apa yang ada di lapangan. “Kalau mau bicara keuntungan gak ada, yang ada kerugian dalam skala besar.” tandas perempuan itu. Sebab sudah menjadi rahasia umum bahwa Indonesia sendiri masih memilki hutang yang cukup besar atas proyek tol. Sedangkan lalu lintas tol tidaklah ramai.

Kerugian tersebut malah dikuatkan dengan berbagai peraturan. Salah satunya Undah-Undang nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah untuk kepentingan Umum, yang menjadikan jalan mulus bagi bisnis skala besar. Ini pun berdampak pada hilangnya lahan pertanian pangan di Yogyakarta. Dalam rencana proyek sepanjang 22 kilometer itu, Sleman akan kehilangan kurang lebih 35 hektar lahan, Solo kehilangan 8,64 hektar.

“Yang miris lagi, kawasan pertanian yang nanti terkena jalan tol ini akan diganti di Kawasan Rawan Bencana Merapi,” ungkap Sana Ulaili mengenai okupasi lahan baru.

Pembangunan jalan tol merambah pada terjadinya konversi lahan, baik pertanian maupun non-pertanian. Ini pun disusul dengan masalah ketersediaan air hingga berpengaruh pada kerusakan lingkungan.

Dampak secara umum adalah warga kehilangan tanah penghidupan. Namun, menurutnya, yang paling signifikan terjadi pada perubahan pola kebiasaan masyarakat. Misalnya, ketika mereka tak mendapat ganti lahan pertanian yang sejenis, maka terjadi kultur pertanian sebelumnya. Jika tidak, maka petani harus banting kemudi dengan usaha lain. Atau malah menganggur dan hanya mengandalkan uang ganti rugi. Dalam kasus semacam itu, petani seringkali disiapkan untuk menjadi pelaku wirausaha.

“Ini kan konyol. Karena tradisi petani dengan tradisi pelaku usaha bisnis mikro ini sangat berbeda. Ini yang nanti berimplikasi cukup signifikan bagi sistem kehidupan kita.” kata Sana.

Paparan di atas pun didukung oleh sikap tegas Darmaningtyas selaku kepala Divisi Advokasi Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Menurutnya, “Jogja itu tidak memerlukan jalan tol.” Sempitnya jalan dan wilayah yang bakal dipasang tol itu, tidak tersisa lagi untuk menggarap lahan pertanian, selain menjadi pemukiman dan tempat usaha.

Pun dilihat dari segi karakteristik jalanan Jogja yang lambat, lalu lintas tol yang cepat justru memperlamban pertumbuhan ekonomi di sekitarnya. Tercatat lalu lintas Tol Trans Jawa juga rendah. Ini yang membuat waktu konsesi operator lama, butuh waktu hingga 40 tahun untuk menebus biaya yang telah dikeluarkan. Maka, faedah yang didapat masyarakat tidak ada, kecuali polusi udara dan mungkin kecelakaan. Begitu papar Darmaningtyas.

Kendati demikian, kesadaran ekologis masyarakat sendiri juga belum terbentuk. Sehingga belum muncul penolakan besar secara kolektif. “Saya bayangkan kalau seluruh tanah-tanah subur di Jawa itu berubah menjadi jalan tol, kemudian diikuti lahan pemukiman dan usaha. Maka sebetulnya kita akan mengalami dua bencana besar, yaitu soal krisis pangan dan krisis air baku.” terangnya.

Apapun alasannya tetap ada persoalan ekologi yang muncul. Dan persoalan ini, perlu dipahami masyarakat, seperti kondisi udara di Jogja yang semakin panas. Sebab keberadaan tol selain menyebabkan peralihan lahan menjadi pemukiman dan tempat-tempat usaha, pohon pun banyak ditebang. “Sehingga menjadikan kondisi di Jogja tidak nyaman lagi.” pungkasnya.

Reporter: Dina Tri Wijayanti | Editor: Ajid FM

Sumber gambar: Indopolitika.com