Home KUPAS Antichrist: Riwayat Persaudarian Iblis dan Perempuan

Antichrist: Riwayat Persaudarian Iblis dan Perempuan

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Horor tidak selalu lahir dari kisah-kisah getir. Di dunia yang sempit ini, teror setan, sesekali, justru menyempil di cerita yang indah. Sastrawan cum kritikus film Intan Paramadhita, misalnya, melihat dongeng Sinderela sebagai cerita sadistik. Dongeng itu sadis, bagi perempuan yang tak pernah diinginkan oleh pangeran, lelaki yang punya kuasa dan harta.

Pada cerpen Intan yang berjudul Perempuan Buta Tanpa Ibu Jari, Sinderela bukanlah ‘perempuan baik-baik’, polos, tertindas. Sinderela memang cantik, tapi juga licik. Oleh narator cerpen, kakak Sinderela, ia digambarkan sebagai perempuan yang piawai memasang muka manis. Sekuntum mawar adalah hadiah favorit Sinderela bila ayahnya pulang dari bepergian. Sinderela tentu saja menginginkan sekuntum mawar, karena ia telah diberi segala kemewahan oleh sang Ayah, kata narator. Atas kebusukan sifat Sinderela ini, ia menjadi tokoh antagonis dalam cerita dan diplesetkan namanya menjadi Sindelarat.

Sindelarat yang berwajah cantik itu merupakan bencana bagi kakaknya yang berwajah jelek. Ia bukan perempuan yang diinginkan di pasar atau alun-alun. Bila ada laki-laki yang datang ke rumah, sang Ibu selalu menjejerkan kakak-kakak Larat seperti dagangan di pasar. Tapi kebanyakan lelaki lebih suka dengan perempuan macam Larat.

Jangankan pemuda pasar atau alun-alun, seorang pangeran bahkan mencari Larat habis-habisan setelah ia muncul di pesta istana lalu pergi meninggalkan sepatu kacanya. Seusai pesta, Pangeran mencari Larat seperti pendeta eksorsis yang kehilangan jimat. Ia bersumpah akan menikahi pemilik sepatu kaca lalu seluruh warga berbondong-bondong mengaku sebagai pemilik sepatu.

Kakak-kakak Larat dan sang Ibu menyembunyikan gadis bungsu itu di loteng. Mereka tak rela Larat menjadi jimat bagi pangeran dan istana. Keluarganya yang pendengki itu lebih pengin Larat menjadi karunia di sudut-sudut kerajaan yang miskin dan jentaka.

Sedang salah seorang kakak Larat, memotong ibu jari dan tumitnya sendiri agar kakinya bisa dimasukkan ke sepatu Larat yang tertinggal di istana. Ia berusaha mengelabui Pangeran, tapi gagal. Pangeran tahu dan sadar, bahwa Larat jauh lebih cantik daripada semua orang yang mengaku-aku.

Saudari Larat itu kini nyaris tanpa kaki. Meski bukan itu yang membuatnya menjadi iblis. Jauh sebelum ibu jarinya dipotong, mereka telah didemonisasi oleh dunia dan ‘dongeng indah’ yang butuh penjahat.

***

Intan Paramadhita dikenal sebagai sastrawan kritis yang kerap mendekonstruksi dan mereka ulang cerita-cerita lama. Sinderela dan sepatu kacanya adalah salah satu cerita yang ia utak-atik. Apel dan Pisau, cerpennya yang lain, merekonstruksi cerita Zulaikha, Nabi Yusuf, dan perempuan yang mengiris tangannya karena terbuai ketampanan Yusuf.

Dalam novel terbarunya Gentayangan, lebih banyak lagi sempalan cerita lama yang ia hancurkan dan bangun ulang. Itu dilakukan karena ia meyakini, cerita-cerita lama kebanyakan tidak berpihak pada perempuan.

Berbeda halnya dengan Charlotte Gainsbourg yang berperan sebagai seorang ibu dalam film Antichrist.

Nama peran Charlotte Gainsbourg tak pernah disebut dari awal sampai film berakhir. Begitu pula suaminya. Kecuali Nic, anak sepasang kekasih itu, yang tewas karena melompat keluar jendela apartemen pada prolog film. Satu hal yang terang dari lakon Charlotten Gainsbourg: ia depresi karena kematian anaknya dan lambat laun percaya bahwa perempuan secara inheren adalah makhluk yang keji.

Keyakinan Gainsbourg timbul bukan tanpa sebab. Beberapa bulan sebelum kematian anaknya, Gainsbourg pernah menyepi di sebuah gubuk dalam hutan Eden. Hiruk-pikuk perkotaan dia hindari agar bisa fokus mengerjakan tesisnya tentang femisida, pembunuhan massal terhadap perempuan di masa lalu. Tepatnya, masa kegelapan (dark age) ketika banyak perempuan diburu dan dibakar hidup-hidup di Eropa karena dianggap penyihir.

Awalnya, Willem Defoe, yang berperan sebagai suami Chainsbourg, mengira kepala istirnya hanya mengidap kesedihan akut akibat ditinggal seorang bayi. Kesedihan itu tampak jelas ketika Chainsbourg pingsan ketika anaknya dimakamkan.

Chainsbourg tertidur di rumah sakit setelahnya selama sebulan. Keluar dari rumah sakit, ia terus menyakiti diri dan terus memaksa Defoe bersenggama. Senggama adalah adiksi yang bisa membuat Chainsbourg lupa pada kematian anaknya.

Adiksi, dalam bentuk apapun, tentu tak bisa diandalkan untuk mengalihkan rasa cemas dan depresi. Willem Defoe juga seorang terapis dan dia tahu betul akan hal itu. Defoe lantas mencoba menerapkan terapi eksposur pada istrinya, sebuah metode untuk menepis rasa takut dengan cara menyelami rasa takut yang paling dalam.

Namun, Defoe akhirnya tahu bahwa yang meliputi kepala istrinya bukan gejala depresi biasa. Ketika mereka mencoba menetap di hutan Eden, tempat yang paling ditakuti Chainsbourg, Defoe menemukan tesis dan buku catatan istrinya. Dan ia tahu istrinya tidak hanya meneliti, tapi juga mengamini subjek penelitiannya.

Chainsbourg percaya perempuan memang pantas dibakar hidup-hidup karena mereka memang penyihir, begitu pula dirinya. Dengan keyakinan itu, ia kerap menyiksa Nic. Chainsbourg, misalnya, pernah memasangkan sepatu Nic secara terbalik agar kaki bayi itu terkilir.

***

Patriarki betul-betul ada, solid dan mengakar. Sistem yang menindas perempuan itu adalah pola tingkah laku budaya yang menindas secara sistematis, dilembagakan lewat hukum dan dibeking kekuasaan negara. Ia juga berlaku hampir di semua bidang kehidupan masyarakat. Begitu yang ditulis Max Lane dalam artikelnya yang dipublikasi di Facebook, 9 Maret lalu.

Sistem itu lebih tua dari kapitalisme, karenanya ia juga bisa sangat menggigit. Karena ia sudah sangat tua, ia bukan produk sebab-akibat dari kekuasaan negara, kapitalisme atau sistem lain yang menindas di dunia kiwari. Hanya saja, penindasan perempuan semakin akut karena itu semua.

Kita bisa melihat ini semua dalam Antichrist. Film berdurasi hampir dua jam itu hanya bercerita tentang sepasang kekasih yang baru saja ditinggal mati anaknya. Tak ada negara, tak ada kapitalisme, tak ada arena penindasan apapun sebagai konteks yang lebih luas, kecuali sejarah yang diteliti Chainsbourg.

Sejarah femisida yang diteliti Chainsbourg adalah bukti penindasan perempuan yang begitu purba. Nasib perempuan sejak lama, tak pernah lebih berharga daripada properti dan penyihir. Chainsbourg mungkin merasa getir mengetahui fakta itu. Ia merasa bahwa perempuan yang dibakar hidup-hidup adalah ‘saudari’nya.

Chainsbourg mengamini sejarah begitu saja, dan mengambil alih peran saudarinya. “Perempuan yang menangis adalah perempuan yang licik,” ujarnya. Suaminya mungkin tetap ia anggap sebagai eksorsis, dan terapi yang ia jalani adalah ritual pengusir setan. Namun, iblis yang merasuki Chainsbourg tetap kukuh menjalankan perannya.

Nic, tewas karena lompat keluar jendela, sementara ‘penyihir’ Chainsbourg ternyata tahu dan membiarkan. Suaminya juga ia pukul pelirnya hingga pingsan.  Dari film itu kita tahu, dalam dunia dimana perempuan didemonisasi, surga atau kenikmatan duniawi tak pernah hadir. Sebut saja ketika penis Defoe dipukul lalu dikocok Chainsbourg. Yang keluar justru darah.

Judul Antichrist | Sutradara Lars von Trier | Penulis Naskah Lars von Trier | Pemeran Willem Defoe, Charlotte Chainsbourg | Durasi 108 Menit | Pengulas Andini Werbenjagermanjensen

Sumber gambar: Grave Reviews