Seorang tidak dikenal, menganiaya dan memukulkan besi batangan ke kepala seorang wartawan Bernas, Fuad Muhammad Syafruddin. Hingga pada 16 Agustus 1996, ia dinyatakan meninggal dunia. Hampir seperempat abad berlalu, berulang kali berganti pemimpin, nyatanya kasus yang menodai dan merenggut kebebasan pers itu belum juga menemui titik terang.
Lpmarena.com- “Kalo memang negara sudah tidak mampu mengusut kasus Mas Udin, tolong nyatakan kalau negara tidak mampu. Jangan menggantung kasusnya seperti ini.”
Marsiyem beberapa kali mengulang perkataan tersebut saat ia turut menjadi pembicara dalam diskusi daring peringatan meninggalnya Udin yang diselenggarakan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Yogyakata, Selasa (18/8).
Pria bernama lengkap Fuad Muhammad Syafruddin itu dianiaya pria tak dikenal di halaman rumahnya pada 13 Agustus 1996. Ia dipukul, lalu dihantam kepalanya. Belum puas sampai situ pelaku lantas menyodok perutnya menggunakan besi. Udin lalu dirawat dan dioperasi di RS Bethesda Yogyakarta. Namun, karena pendarahan hebat di kepalanya, nyawa Udin pun tidak tertolong.
Sebelum meninggal, Udin bekerja sebagai wartawan di sebuah surat kabar lokal Yogyakarta, Bernas. Ia menulis beberapa liputan terakhirnya tentang pencalonan bupati Bantul masa itu yang dirasa janggal dan berkaitan erat dengan militer orde baru. Ia pun kerap mengkritik rezim saat itu, yang kerap membatasi kebebasan berpendapat.
Pembunuhan Udin 24 tahun lalu mengingatkan kembali akan cacatnya kebebasan pers di Indonesia. Meski kebebasan pers tercantum dengan jelas dalam UU No. 40 tahun 1999 Tentang Pers, berbagai tindakan pembungkaman, penganiayaan, hingga pembunuhan masih menghantui dunia pers saat ini.
“Ini adalah kewajiban negara yang harus kita tuntut. Karena kasus Udin ini, memberi kontibusi yang besar terhadap kasus kekerasan ke wartawan. Ketika melakukan kekerasan dan pelakunya tidak ditangkap, itu sama saja seperti memberi lampu hijau untuk melakukan kejahatan yang sama,” tutur Manan, Ketua AJI Indonesia.
Kasusnya yang hingga kini belum selesai, dengan berbagai kambing hitam yang ditumbalkan dalam proses panjang penyelidikannya, lagi-lagi menjadi catatan buruk keberingasan Orde Baru. Pun demikian masa Reformasi hari ini, saat presiden bersal dari warga sipil biasa, bukan dari kalangan militer. Yang dianggap akan dapat membawa angin segar bagi kebebasan pers, nyatanya masih belum terwujud.
Belum lagi, kebebasan pers semakin bolong karena adanya regulasi pemerintah yang kurang berpihak akan kebebasan pers. Seperti adanya pasal-pasal karet dalam UU ITE yang bisa menjerat pekerja pers, juga tiga pasal dalam Omnibus Law tentang pers yang akan semakin menyulitkan.
“Dari aspek legalitas, kebebasan pers kita ini memang sangat lemah karena konstitusi juga tidak mengatur soal itu dan diserahkan ke UU,” kata Manan.
Tri Wahyudi, Direktur LBH Pers, juga turut menyampaikan pendapat yang senada. Belum terungkapnya kasus Udin ini menjadi pertanda bahwa negara belum menjamin kebebasan pers. Sebab, dalam kasus ini faktanya negara belum juga jelas dalam bersikap.
“Pemerintah menyatakan akan menjamin kemerdekaan dan kebebasan pers, tapi faktanya tidak,” tutur Tri.
Marsiyem, Istri Udin, mempertanyakan tentang sikap kepolisian yang dianggap tidak jelas dalam menyelesaikan kasus ini. Terlebih, apabila pihak kepolisian masih mengaggap Iwik sebagai pelaku penganiayaan. Ia menilai sikap kepolisian salah besar, karena Iwik sudah dinyatakan idak bersalah.
“Dan saya rasa kalau dari pihak kepolisian masih terus mengklaim itu pelakunya, itupun salah besar. Karena Mas Iwik juga sudah divonis bebas karena memang tidak ada bukti,” kata Marsiyem.
Dwi Sumaji alias Iwik, merupakan seorang sopir perusahaan iklan, yang dikambinghitamkan dalam kasus pembunuhan Udin. Ia dipaksa minum minuman keras, diberi uang, juga akan dijamin kehidupan ekonominya asalkan ia mengaku sebagai pembunuh Udin. Namun akhirnya ia divonis bebas oleh Pengadilan Negeri Bantul karena tidak alat bukti sah saat penyelidikan.
Namun Polda DIY berkeyakinan kalau Iwik adalah pelakunya hingga akhirnya Iwik menggugat Kepala Kepolisian Daerah Istimewa Yogyakarta, di Pengadilan Negeri .Sleman. Hakim mengabulkan sebagian gugatannya. Iwik tidak lagi menyandang predikat tersangka.
“Sebenernya yang saya harapkan cuma kejelasan negara. Kalo masalah terungkapnya lagi, karena udah 24 tahun kayaknya sulit sekali. Jadi, harapan saya, negara mengakui kalo memang tidak bisa mengungkap kasus Mas Udin. Dan saya yakin Mas Udin benar” pungkas Marsiyem.
Lalu diskusi itu ditutup dengan menayangkan berbagai foto aksi online yang berisi kata-kata solidaritas untuk Udin. “Udin adalah sejarah. Meski badannya dimusnahkan, ia mengeraskan suaranya,” tulis seseorang dalam aksi tersebut.
Reporter: Atikah (magang) | Redaktur: Muh. Sidratul Muntaha
Sumber gambar: Republika