Home FILM Turah: Merayakan Kekalahan dengan Tragedi

Turah: Merayakan Kekalahan dengan Tragedi

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Malam ketika Jadag diseret keluar rumah dan ditemukan tergantung di pohon pada pagi hari adalah malam ketika Turah dikalungi celurit oleh seseorang. Malam itu juga turah minggat dari kampung Tiran, sebuah perkampungan yang berdiri di atas tanah timbul dan dikelilingi oleh air laut. Tak ada listrik, juga air bersih.

Pagi itu tak satu orang pun melihat malaikat maut telah bertengger di bahunya. Ia setan marah yang selalu terlihat muram, seolah kematian tak bisa menemuinya. Dengan celana kolor hitam, penutup kepala yang lebih pantas disebut serbet, serta, seperti biasa, kaos yang disampirkan di bahu, membikin tubuhnya yang gelap karena terpanggang matahari dilihat seisi kampung. Jadag marah bukan main, dan mendakwa Pakel sebagai dalang atas teror yang dilakukan terhadap keluarganya.

Dalam kemarahannya, Jadag menunjuk-nunjuk muka juragan Darso. Dengan mata melotot serupa bisul yang segera pecah, ia menuntut keadilan sebagai pekerja yang sudah bekerja belasan tahun yang tak menghasilkan apa-apa, bahkan rumah sekali pun. Dan juragan Darso memberikan segalanya untuk Pakel, pemuda dengan gelar sarjana. Kemarahan itu berwujud pesismisme sempurna. Disaksikan seisi kampung yang bernasib sama, tak terkecuali Turah.

Turah, sebuah film bergenre drama liris yang disutradarai oleh Wicaksono Wisnu Legowo memang bukan film revolusioner semacam Guru Bangsa: Tjokroaminoto (Garin Nugroho, 2015). Tak ada bedil, bubuk mesiu, lagu Internasionale, gayang kapitalisme atau kremus ‘setan desa’. Turah berkisah tentang lelaki paruh baya biasa dan kehidupan warga kampung Tiran di daerah pesisir pantai utara, dekat dengan pelabuhan Tegalsari, Tegal. Kampung yang saban petang harus menyalakan genset, sebagai sumber peneragan kampung, dan pada siang hari suara hiburan selalu terdengar dari kampung seberang, kadang berganti suara adzan, kadang kabar duka kematian dari kampung Tiran. Ketika musim hujan datang, rumah dan kandang-kandang dipenuhi dengan ember, subgai kecil pembatas kampung yang dijejali lebih banyak lumpur daripada arus itu meluap, dan menenggelamkan kolam-kolam dengan sempurna. Saat itu pula, daun-daun pada pohon pisang dipotong hingga menyisakan batangnya saja, dipakai sebagai payung sekali pakai untuk mengurusi kolam, kandang, dan rumah-rumah bocor. Di tempat macam itulah Turah tinggal, tahun demi tahun.

Turah (Ubaidillah) tak mempunyai moral pemberontak–memakai topi bintang merah, mengumpulkan orang dan beragitasi. Bukan pula Satrio Pingit yang berkuda mengelilingi kampung dan menceramahi siapapun yang ia temui dengan narasi ketidakadilan. Turah lelaki sekaligus suami. Ia lila, tak pernah menyesal dan berontak mengantungkan hidupnya pada juragan Darso. Dalam moralitas pemberontak, bergantung dan terkekang merupakan kehidupan yang paling rendah dan hina. Inilah yang selalu disuarakan kelas menengah perkotaan: kebebasan. Tapi Turah tak hirau soal itu. ia hanya babu atas moralitasnya sendiri. Pun Turah, tak ada beban ketika juragan Darso (Yono Daryono) melalui Pakel (Rudi Iteng) meminta Turah untuk tidak lagi mengurusi pelelangan ikan, berganti mengurusi dan bertanggungjawab pada tambak dan seluruh kampung: menyalakan genset, mengisi kolam, mengurus dan menguburkan bayi yang bisa kapanpun ditemukan terapung di kolam maupun sungai pembatas kampung. Tak ada perasaan daif dalam dirinya.

Michel Foucault menggunakan istilah panopticon-menara pengawas penjara zaman dahulu, terletak persis di tengah-tengah bui, mempunyai lampu mercusuar yang terus berputar mengawasi setiap pojok penjara. Saat politisi dan aktivis berperan sebagai panocticon, Turah bertarung dengan kehidupan sesungguhnya. Ia berhadapan dengan cangkul, arit, genset, ladang, kolam, istri yang tak mau bunting sebab penghasilan suaminya hanya cukup untuk hidup berdua, tak cukup untuk seorang anak sekalipun. Turah bukan sibuk dengan janji, retorika, istilah, maupun teori.

Keputusasaan hidup inilah yang ditekankan oleh Wicaksono. Keduanya, Turah juga Jadag (Slamet Ambari), adalah keniscayaan hidup yang begitu absurd. Turah sebagai sosok yang lewat dialog dan penyikapan hidup, seolah berbisik lirih, “Hidup memang seperti ini, apa yang dapat kita lakukan selain hanya menerimanya?”.

Sementara itu, penerimaan manusia akan keamburadulan hidup, dirayakan melalui Jadag. Dari kemarahan-kemarahan ia menjadi manusia yang semakin kuat.

Abad 5 SM, di Yunani tempo dulu, ada satu tradisi yaitu: pentas tragedi. Saat tragedi dipentaskan, segala aktivitas keseharian dilepaskan, rutinitas, batas halal dan haram, bahkan sistem stratifikasi sosial dihancurkan, semboyannya, “Semua manusia adalah sama”. Dalam pentas tragedi tersebut dewa Dionysius hadir, sebagai dewa kemabukan. Barangkali, Wicaksono mementaskan tragedi lewat film Turah, dan Jadag adalah dewa Dionysius, kepalanya berkalung anggur, tangan memegang botol berisi anggur, serta dalam suasana mabuk berjalan dan berkali-kali mengumpat, “Darso keparat!”, “Darso babi!” dan “Darso anjing!”. Tanpa pengikut.

Nietzsche dalam The Birth Of Tragedy menggambarkan dua kekuatan alam yang disimbolkan oleh bangsa Yunani dalam bentuk dewa Apollo dan Dionysius. Penciptaan dua dewa ini menurut Nietzsche agar ketidakpastian dan kekacauan dalam kehidupan dapat diterima. Dewa Apollo digambarkan Schopenhauer sebagai Principium Identitatis, yaitu kemampuan mendefinisikan, memberi batas, menciptakan identitas atas dirinya sendiri. Dan Wicaksono nenempatkan karakter Turah dengan segala penerimaannya sebagai Apollo. Sementara Jadag adalah symbol dari Dionysius, wilayah dark side manusia yang berupa pemabuk, penghancuran diri sendiri yang berujung pada kematian.

Pada malam ketika Turah minggat, dan Jadag tengah diseret dan digantung, barangkali saya dan kawan yang telah merekomendasikan film Turah kepada saya, telah menertawai Turah dan membaptis Jadag atas nama dewa Dionysius. Mengiringinya dengan kidung dari penggalan puisi Elegi Malam, karya Bachrum Bunyamin:   

Titik-titik hitam menodai dinding kelabu. / Hingga nurani tak mampu, menembus tirai diri penuh debu. / Terhempus mati, terhimpit rona arena penyakit / Akibat dosa-dosa kehidupan, yang jepit-menjepit / Dalam sansai insan lemah, melangkah kontai / Mencari telaga, mencucui kalbu membersih diri / Bertarung, melawan sejuta rintangan nurani / Yang bersarang berkembangbiak dalam hati.

Turah | 2016 | Durasi: 83 menit | Sutradara: Wicaksono Wisnu Legowo | Penulis: Wicaksono Wisnu Legowo | Produksi: Fourcolours Film | Negara: Indonesia | Pemeran: Ubaidillah, Slamet Ambari, Yono Daryono, Rudi Iteng | Peresensi: Ajid F Muzakov.

Sumber gambar: liputan6.com