Home BERITA PBAK Secara Daring, UIN Bicara Moderasi Beragama dan Nasionalisme Inklusif

PBAK Secara Daring, UIN Bicara Moderasi Beragama dan Nasionalisme Inklusif

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

Lpmarena.comPada Pengenalan Budaya Akademik dan Kemahasiswaan (PBAK) 2020, UIN mengadakan sarasehan bertema Moderasi Beragama dan Nasionalisme Inklusif. Kedua materi itu disampaikan dalam acara sarasehan keislaman dan sarasehan kebangsaan (30/9). Acara digelar secara daring melalui platform Zoom karena pandemi masih berlangsung.

Alimatul Qibtiyah, Guru Besar UIN Sunan Kalijaga, menjadi pembicara dengan materi Moderasi beragama. Sementara itu, materi Nasionalisme Inklusif diisi oleh Zastrouw Al-Ngatawi, Seniman serta mantan ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia (LESBUMI).

Moderasi beragama dianggap penting karena survei membuktikan kecenderungan generasi Z berperilaku kaku terhadap agama. Survei itu dilakukan oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah. Dari 2181 responden yang tersebar di 68 kota, sepertiga responden menyatakan jihad adalah perang, orang murtad harus dibunuh, dan intoleransi bukan sebuah masalah.

“Generasi Z berada dalam posisi mengkhawatirkan terkait moderasi beragama” cemas Alimatul.

Alimatul menyatakan bahwa moderasi beragama terwujud ketika seseorang mampu memahami, menerima dan bekerja sama di tengah perbedaan. Dia mengharapkan mahasiswa baru dapat menerapkan moderasi beragama ditengah masyarakat muslim yang beragam.

Masyarakat muslim yang beragam memunculkan berbagai penafsiran terhadap Islam. Bahkan ada kelompok yang membenturkan Islam dengan nasionalisme. Nasionalisme inklusif, menurut Zastrouw, bisa menjawab masalah itu.

Zastrouw berpendapat nasionalisme harus dipahami sebagai bagian dari Islam, bukan  justru dipertentangkan. Menurutnya, mencintai Islam awal dari mencintai tanah air. Menjaga tanah air sama dengan menjaga agama islam.

“NKRI itu tempat Anda mengamalkan ajaran islam, maka menjadi sebuah kewajiban bagi Anda untuk menjaga tempat ibadah ini” jelas Zastrouw.

Nasionalisme yang inklusif, menurut Zastrouw, tumbuh dari rasa kemanusiaan dan berdasar nilai universal. Tidak ada rasa kesombongan dan keinginan untuk menindas bangsa lain didalammnya. Dia menggambarkan nasionalisme inklusif sebagai sebuah rumah. Di dalam rumah seseorang bisa melakukan pendidikan, berhubungan dengan orang tua, beristirahat, dan bergaul dengan orang lain didalamnya.

Nasionalisme inklusif bisa ditumbuhkan dengan pengamalan terhadap sila ketuhanan dan kemanusiaan dalam Pancasila.

“Sila ketuhanan itu berarti anda mengerti siapa itu Tuhan, apa itu Tuhan, apa ajaranya, dan Anda menjalankan semuanya. Sila kemanusiaan itu artinya sampean mengerti orang, ‘merasa orang’, dan mengorangkan orang.” Jelas Zastrouw.

Membuka ruang pertemuan dengan berbagai kelompok juga bisa menumbuhkan nasionalisme yang inklusif, asalkan ada proses saling memahami.

“Inklusivitas bukan konsep, tapi sikap dan perilaku,” pungkas Zastrouw.

Reporter: Fatan Asshidqi | Redaktur: Sidratul Muntaha