Lpmarena.com – Sirene ambulans terus berbunyi memenuhi ruas Jalan Malioboro – Jalan K.H Ahmad Dahlan. Tepuk tangan demonstran beberapa kali mengiringi hilir mudik ambulans, diikuti beberapa sepeda motor, dengan kecepatan tinggi. Satu per satu orang digotong menuju ambulans, dengan darah tercecer, napas yang sesak, bahkan beberapa dari mereka tidak sadarkan diri.
Suasana di Jalan Malioboro sekitar jam satu, Kamis (8/10), cukup panas. Hanya sedikit awan bergelayut di langit, menjadikan sinar matahari langsung menyentuh kulit. Tak kalah panas, situasi demontsrasi menolak Omnibus Law di depan gedung DPRD. Tembakan gas air mata, lemparan benda padat, hingga tindak represif dari aparat kepolisian mewarnai keriuhan demonstrasi.
Tiga jam sebelumnya, saya sudah berada di Bundaran UGM, titik kumpul demonstran sebelum memulai perjalanan. Beberapa orang, melalui toa, mengatur barisan di depannya untuk merapikan diri. Dari arah selatan dan timur beberapa pesepeda motor mencari tempat parkir dengan membelah barisan. Polisi berjaga di arah tenggara Bundaran UGM, satu dari mereka berbicara kepada demonstran agar tetap memakai maskernya.
Satu jam setelahnya, demonstran memulai longmars dari Bundaran UGM menuju DPRD Kota Yogyakarta. Sebagai gambaran jumlah, ketika mobil komando yang ada di ujung depan mencapai Pertigaan Jalan Soedirman, barisan belakang demonstran baru melewati perempatan Jalan C. Simanjutak dan Jalan Persatuan. Bahkan, saking padatnya, saya dan banyak dari demonstran berhamburan ke trotoar di sepanjang Jalan C. Simanjutak.
Demonstrasi di Yogyakarta, adalah satu dari sekian banyak demonstrasi yang terjadi beberapa hari belakangan di berbagai daerah di Indonesia. Tuntutan mereka sama: pencabutan Omnibus Law dan pembenahan penanganan pandemi Covid-19 oleh Negara.
***
Semua demonstran bisa diidentifikasi melalui sehelai tali plastik yang diikat di lengan mereka dengan warna beragam. Informasi itu saya dapat dari seorang yang memegang Toa. “Biar nandain kalau kita ini peserta aksi, bukan penyusup,” jelasnya.
Di pinggir keramaian, saya melihat empat orang berjalan dengan menenteng kantong kresek putih. Secara bergantian mereka menawarkan demonstran untuk membuang sampah di kantong kresek yang mereka bawa. Satu orang memungut sampah yang tercecer di sekitar kerumunan massa. Tak ada ikatan tali plastik di lengan mereka, tapi lakban berwarna merah terlihat menempel dilengan mereka. Lakban merah menandakan mereka adalah bagian dari Paramedis Jalanan Jogja.
Amri adalah salah satu dari relawan Paramedis Jalanan Jogja. Ia sendiri sebenarnya anggota Lembaga Pers Mahasiswa salah satu kampus swasta di Yogyakarta. Kejenuhan meliput aksi demonstrasi membuatnya ingin terjun langsung dan menjadi bagian nyata dari aksi. Dengan modal kemampuan medis dasar, ia memutuskan bergabung dengan paramedis jalanan.
Membersihkan jalanan dari sampah dan menawarkan kantong kresek sebagai tempat sampah sebenarnya bukan bagian kerja dari paramedis jalanan. Namun, Amri memilih melakukan itu daripada hanya menenteng kotak medis. “Seenggaknya ada kerjaan lah daripada cuma jalan” katanya.
Saya mencoba meminta keterangan lebih tentang Paramedis Jalanan Jogja pada koordinatornya. Koordinatornya akrab dipanggil Badak sebab badannya bongsor seperti “Badak”.
Badak menegaskan kelompoknya menerima siapa saja yang ingin menjadi relawan. Hal ini juga sempat diumumkan melalui akun @paramedisjalananjogja, akun resmi paramedis jalanan yang bertugas kala aksi. Selain relawan, bantuan berupa alat medis atau donasi uang juga diterima—mengingat kelompok ini berasal dari kelompok sipil tanpa didanai oleh pihak tertentu.
Beberapa hari sebelum aksi dimulai, Paramedis Jalanan Jogja mengumpulkan semua relawanya. Setelah pembacaan aksi, mereka membagi diri menjadi 5 kelompok. Setiap kelompok menyebar dari ujung terdepan barisan hingga yang paling belakang. Setiap kelompok terdiri dari 2-5 orang, di antaranya menggunakan sepeda motor untuk memudahkan mobilitas mereka.
Setiap kelompok dilengkapi dengan peralatan medis, yang biasanya disimpan di ransel. Peralatan itu berupa kassa perban, obat merah, plester, cairan antasida, dan oksigen. Alat perlindungan diri, seperti helm, kacamata pelindung, masker hingga sarung tangan juga melekat pada tubuh mereka.
Jumlah peserta aksi demonstrasi yang membludak dibanding sebelumnya membuat tim paramedis keteteran. Badak juga tak mengira partisipasi demonstrasi akan sebanyak ini. “Waduh, sebelumnya untuk partisipasi massa kami masih abu-abu, enggak memperkirakan sama sekali bakal seramai ini,”ujarnya pada saya.
***
Sore hari, sekitar pukul tiga, demonstrasi belum juga mereda. Saya memutuskan beristirahat di samping Mall Malioboro, setelah sebelumnya ikut berdesakan dengan demonstran lain. Ambulanshilir mudik dengan suara sirene yang memenuhi jalan. Kekhawatiran melingkupi demonstran yang membopong kawannya satu persatu. Mereka berharap ambulans segera membawa kawannya untuk ditolong. Namun, keterbatasan unit membuat paramedis mengerahkan motor, dibantu dengan warga yang meminjamkan motornya dengan sukarela.
Tak lama beristirhat, suara menyerupai ledakan terdengar. Demonstran yang berada di utara tempat saya berhamburan lari ke selatan. Menyadari apa yang terjadi, saya mencoba ikut menyelamatkan diri. Namun tak berselang lama teriakan “jangan lari!”menggema, memperlambat kecepatan lari para demonstran yang sebelumnya tergopoh.
Tepat di depan saya, seorang demonstran membantu kawannya untuk mendapat pertolongan. Saya mencoba ikut merangkul, untuk memperingan bebanya. Dalam hitungan detik ambulans datang. Kami membaringkannya di bagian belakang, lalu dengan menunjukan tanda pengenal, saya meminta izin pada tim medis ikut ke PKU Muhammadiyah Kota Yogyakarta mendampingi mereka.
Napas kawan korban yang awalnya tak beraturan mulai membaik, lega karena kawannya sudah mendapat pertolongan. Sekitar 2 menit perjalanan kami sampai ke tujuan. Kesigapan petugas medis menyambut kami ketika membuka pintu belakang. Seorang langsung menyodorkan brankar, dengan hati hati mereka memindahkan korban yang sedari tadi tergeletak di ambulans. Tanpa panik, petugas itu mendorong brankar masuk ke dalam. Menyisakan saya dan satu kawan yang mengantar untuk ditanyai keterangan.
Seorang petugas, lelaki berbadan besar, memakai kaos biru gelap, menginstuksikan kami untuk duduk di sebelah pojok halaman. Dua petugas laki-laki memakai rompi, berhelm biru, dengan alat perlindungan diri lengkap mendata barang korban yang tidak ikut dibawa masuk. Tiga petugas perempuan, semuaya memakai kaos hitam, mendata nama dan darimana korban berasal. Setelah korban masuk kedalam, situasi di halaman cukup tenang.
Hampir setiap 10-15 menit ambulans dan motor kembali datang, membawa korban yang terluka. Sekitar 10 orang pendamping korban dan beberapa korban yang sudah mendapat pertolongan berada di halaman. Saya mencoba membaur. Mereka saling bercerita kenapa teman mereka sampai dibawa ambulans. Salah satunya berceloteh bagaimana botol air menghantam mukanya. Satu lagi bersungut karena batu sekepalan tangan menyasar belakang kepalanya. Batu itu menyisakan bekas jahitan 3 cm di belakang kepalanya.
“Tapi, arep sepiro wae watune, aku ra bakal kapok,” ucapnya sungguh-sungguh.
Handphone saya menunjukan sekitar jam 5 sore, kondisi baterai sudah lemah, menyisakan tiga persen. Menghindari resiko loss contact saya mengirim pesan pada kawan tentang kondisi saya. Mereka menyarankan agar segera berkumpul di tempat yang telah disepakati. Akhirnya, saya pergi dari PKU Muhammadiyah Kota meninggalkan beberapa demonstran yang bahkan belum sempat saya kenal.
Informasi terakhir saat itu, sekitar 50 korban telah dirawat. Namun, demonstrasi masih berlangsung, ambulans dan paramedis jalanan masih bekerja, kemungkinan besar jumlah korban terus bertambah. Hingga tulisan ini dibuat, belum ada data resmi berapa jumlah korban yang jatuh.
Reporter: Fatan Assidqi | Redaksi:Muh. Sidratul Muntaha Idham