Home BERITA Nasib Pekerja Outsourcing dalam UU Cipta Kerja

Nasib Pekerja Outsourcing dalam UU Cipta Kerja

by lpm_arena
Print Friendly, PDF & Email

UU Cipta Kerja dalam Omnibus Law semakin mengancam posisi pekerja outsourcing. Kerentanan jadi bayang-bayang hitam yang mengintai pekerja outsourcing

Lpmarena.com Majelis Pekerja Buruh Indonesia (MPBI) DIY melakukan unjuk rasa atas disahkannya Omnibus Law, Kamis (08/10).  Mereka menyoroti klaster Cipta Kerja, yang beberapa pasalnya memantik menjamurnya pekerja outsouscing. Aksi tersebut diikuti puluhan buruh dengan mengendarai sepeda motor dari Tugu Yogyakarta menuju Kantor Gubernur DIY.

Omnibus Law Cipta Kerja dinilai banyak memuat pasal kontroversial. Ketentuan pekerja outsourcing atau alih daya menjadi salah satu pasal yang disoroti. Pasal 66 ayat (1) yang berbunyi: Hubungan kerja antara perusahaan alih daya dengan pekerja/buruh yang dipekerjakannya didasarkan pada perjanjian kerja waktu tertentu atau perjanjian kerja waktu tidak tertentu.

Pekerja outsourcing dalam Omnibus Law berbeda dengan UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003. Dalam regulasi lama, outsourcing dibatasi dan hanya untuk tenaga kerja di luar usaha pokok.

Kirnadi, Wakil Ketua DPD KSPSI Yogyakarta menjelaskan, dalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan (Permenaker), diatur lima bidang di luar usaha pokok yang bisa di-outsourcing: cleaning service, keamanan, transportasi, catering, dan jasa minyak dan gas pertambangan.

Namun, UU Cipta Kerja dalam Omnibus Law membuka kemungkinan bagi lembaga outsourcing mempekerjakan pekerja untuk berbagai tugas, termasuk pekerja lepas dan pekerja peruh waktu. Hal ini akan membuat penggunaan tenaga alih daya atau penydia jasa pekerja (pihak ke-tiga) semakin bebas.

“Dalam Omnibus Law terdapat pasal yang membuat outsourcing semakin menjamur. Kami seluruh pekerja menolak karena outsourcing pekerja dapat dilakukan seumur hidup. Tanpa batas jenis pekerjaannya,” tegas salah satu pekerja yang berorasi di depan gedung DPRD DIY.

Menjamurnya sistem outsourcing membuat pekerja dalam posisi terancam. Sebab, pasca terbitnya UU Cipta Kerja, perlindungan buruh, upah, serta kesejahteraan pekerja menjadi tanggung jawab perusahaan alih daya (pihak ke-tiga).

“Para pekerja kini tidak punya hubungan kerja dengan pekerjaan [perusahaan-red] yang dia laksanakan,” jelas Kirnadi.

Agar sistem outsourcing tak semakin bebas, ABY mendesak pemerintah untuk segera mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk membatasi UU Cipta Kerja.

Irysad Ade Irawan, juru bicara Majelis MPBI DIY. Menambahkan, bahwa dengan disahkannya UU tersebut, masa depan pekerja outsourcing berada dalam posisi rentan.

Reporter: Aulia Iqlima Vituari | Redaktur: Hedi